Wanita Seharga 1 Miliar

1106 Kata
"Dia salah satu pegawaiku." Jessica mendekati Jelita yang sudah mengangguk sembari memberi sapaan selamat malam. Jessica tak membalas, tapi justru ajukan pertanyaan pada calon tunangannya. "Apa yang dia lakukan di sini, Wira?" Dari nada bicara Jessica yang keras, Wira bisa pastikan kalau gadis kaya–putri teman ibunya itu akan sangat marah bila jawabannya tidak sesuai. "Dia yang mengantar dokumen untukku," jawab Wira, tapi kemudian segera alihkan pembicaraan. "Bagaimana denganmu? Kenapa kamu ke sini? Ada apa?" Wira tahu kalau Jessica adalah tipe gadis manja yang akan mendapatkan apa pun yang diinginkannya, bahkan dengan segala cara. Wira tetap berusaha menyikapi dengan menunjukkan sikap tenang. Tak ingin Jessica tahu soal apa yang tadi dilakukannya pada Jelita. Mendengar pertanyaan Wira, Jessica tak segera menjawab. Ia terus memperhatikan Wira dengan seksama. Membuat Wira tahu kalau Jessica pasti mulai mencurigainya. "Sayang, ada apa ini? I know something wrong. Just tell me," rentetan pertanyaan dari Jessica, sengaja dengan bahasa Inggris, berharap Jelita tak mengerti. Jessica sempat memberi penilaian dari cara berpakaian Jelita yang dilihatnya seperti gadis biasa dan masih polos. "Tidak ada apa-apa. Aku harus mengantar dia pulang. Sudah malam," sahut Wira, lalu mendekati Jelita. "Ayo kita pergi sekarang!” perintahnya pada Jelita. "No, wait! Tunggu!" pinta Jessica, menahan lengan Wira. "Kamu ...." "Apa? Aku kenapa?" Sebenarnya Wira sudah curiga dengan apa yang dilakukan Jessica, tapi ia ingin membiarkan wanita itu yang mengatakannya sendiri. Lagi pula Wira bukanlah orang bodoh, ia bisa membedakan antara hasrat normal dengan hasrat yang muncul karena obat perangsang. Meskipun Wira tidak mau secara langsung menuduh, tapi alibi yang paling kuat memberikan obat semacam itu, hanyalah Jessica, satu-satunya orang yang paling dekat dengan rentang waktu bekerjanya obat itu. "Apa kamu dan dia …?” Ucapan itu terjeda, Jessica merasa tak sanggup melanjutkan pertanyaannya, terlebih setelah menatap Jelita, gadis muda itu jelas-jelas seperti habis menangis dan pakaiannya pun terlihat kusut. "Kita bicara nanti! Sekarang, aku akan mengantar dia pulang dulu. Nggak enak sama orang tuanya." Wira beri kode pada Jelita agar segera melangkah, menjauhi situasi ini juga. Wira sudah tahu banyak tentang watak keras Jessica, jadi tak ingin libatkan Jelita dalam pembicaraan yang justru akan membuat Jelita semakin terguncang. "Tapi Wira, jawab dulu, apa kamu dan dia sudah melakukanny?!" tuntut Jessica lantang, dengan menarik lengan Wira agar kembali menghadapnya. "Lakukan apa? Aku hanya mau antar dia pulang," sahut Wira dengan jawaban sama, masih menutupi yang sebenarnya terjadi dari Jessica. "Wira!" panggilan Jessica bergetar, merasakan kalau Wira seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Wira pun menoleh. "Apa?" sahutnya dingin. "Katakan saja kalau kamu dan gadis itu sudah melakukan–" "Iya! Dan, itu semua karena kamu!" Wira membentak cukup keras. Terdengar lantang penuh penekanan. "Akui saja, kamu yang sudah memasukan sesuatu ke dalam minumanku tadi, kan?" "Ti-tidak, minuman apa? A-ku sama sekali enggak ngerti maksud kamu." Jessica masih terdengar gugup meski coba menutupinya. "Jangan bohong, Jess! Aku tidak bodoh!" Wira menghela napas kasar, baru kemudian melanjutkan. Ia sudah tahu jika memang akan sulit bicara dengan Jessica yang keras kepala, tapi Wira bisa memanfaatkan situasi saat ini untuk menekan wanita itu. "Sekarang, aku bisa menggunakan rencanamu yang gagal ini untuk membatalkan rencana pertunangan kita. Selamat malam, Jessica Tanujaya!" Tanpa menunggu jawaban wanita itu, Wira beranjak pergi. Reputasi sebagai atasan yang tegas dan arogan itu, benar-benar nyata terlihat oleh Jelita meskipun pria itu berhadapan dengan seorang wanita yang derajatnya sama sepertinya. Saat Wira memintanya keluar, Jelita seperti tak punya pilihan selain menuruti. Rencana pulang sendiri dengan memesan ojek online pun terpaksa dibatalkan. Tidak akan mungkin baginya menyanggah perintah dari seorang Wira, pikirnya. Sebelum pergi, Jelita sempat melihat ke dalam apartemen sesaat sebelum Wira membanting pintu hingga menutup. Namun, Jelita masih bisa melihat Jessica yang tengah menangis frustasi. Tak jauh beda dengan dirinya beberapa menit lalu dan sampai sekarang pun masih menyisakan kesedihan mendalam di hatinya. Setibanya di dalam mobil, Wira tidak lantas melajukan mobil meski mesin sudah dinyalakan. Pria dengan postur tubuh tinggi tegap dan berwajah dingin itu, ingin membuka obrolan dengan Jelita terlebih dahulu sebelum menggerakkan mobil menuju keluar area gedung. "Apa masih sakit?" tanyanya lirih, tunjukkan perhatian, meskipun ekspresinya masih kaku. Bahkan, tak sekalipun ia menatap ke arah lawan bicara yang sudah dinodainya. Jelita juga masih tidak sanggup berkata banyak, hanya sebuah anggukan dengan air mata tertahan yang ia berikan sebagai jawaban. Pikiran Jelita telah dipenuhi dengan segala kemungkinan terjadi bila ia pulang bersama laki-laki, terlebih pria itu telah merenggut keperawanannya. Pria yang bahkan tak pernah ia cintai. "Maafkan aku." Entah berapa kali Wira mengungkapkan penyesalannya itu pada Jelita. "Bagaimana kamu menjelaskan ke orang tuamu soal kejadian malam ini?" Jelita masih menahan isak tangis. Coba menguatkan diri meski gadis itu tahu bahwa sangat sulit berpura-pura kuat karena dirinya begitu rapuh saat ini. "Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, saya hanya tinggal dengan ibu saja." Wira sontak menoleh, dua tangan di atas kemudi juga spontan bergerak-gerak gusar. Rasa bersalah semakin menyelimuti hatinya. “Sekarang katakan di mana rumahmu?" Wira jadi salah tingkah, mengalihkan pembicaraan ke tujuan utamanya mengantar Jelita. "Tidak jauh dari sini. Kampung di belakang gedung ini. Sebenarnya dekat, cuma harus berputar dulu karena naik mobil." "Ok, tunjuk saja arahnya!" perintah Wira yang langsung melajukan mobil model MPV ber CC besar itu ke arah jalanan ibukota yang sedang ramai lancar. "Jelita," panggil Wira setelah deheman sekali. "Apa yang akan kamu katakan pada ibumu nanti?" tanyanya sebagai awalan obrolan. Jelita menggeleng, bersambut ucapan, "Saya tidak tahu, Pak." "Bisa kamu lakukan sesuatu?" "Apa itu, Pak?" Jelita masih tak berani menatap atasannya meski Wira sesekali melihat ke arahnya. Wanita mana yang tak akan lemas, bila berada di posisi Jelita ini, tapi orang itu adalah Wira, jadi Jelita masih tak bisa berontak lebih jauh. "Saya akan transfer uang 1 miliar itu sekarang juga, asalkan kamu jangan katakan pada siapa pun soal kejadian malam ini, bahkan kepada ibumu!” tawar Wira dengan serius. Tatapan mata pria itu begitu tajam menatap wajah Jelita. Derai air mata itu kembali menggenang di kedua mata Jelita. Bukan soal jumlah uang tersebut, tapi mendengar Wira mengatakan hal itu membuat hati Jelita bagai teriris sembilu, perih, dan sakitnya tak dapat digambarkan. Jelita pun menganggap jika harga dirinya begitu rendah di mata Wira, apalagi atasan itu berniat menutup mulutnya dengan sejumlah uang demi menjaga rahasianya. Namun, Jelita merasa tak ada pilihan lain. Lebih baik mengiyakan, menolak pun tidak akan bisa karena Wira pasti akan terus menekannya. "Baiklah,” jawab Jelita meskipun sebelumnya dipenuhi keraguan. Setelah Jelita keluar dari mobil, Wira pun memperhatikan langkah gadis itu sampai masuk ke dalam rumah dan menghilang dari pandangannya. "Kamu hanya wanita 1 miliar, Jelita!" Pria itu menarik sebelah sudut bibirnya. Senyum itu terlihat angkuh. Merasa puas akan kemenangannya karena ia berhasil membungkam Jelita dengan kekuatan uang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN