DEVIAN NATHAN

1784 Kata
    Sofa berwarna putih yang terletak di dalam ruang keluarga ini, adalah teman bekerjanya selama satu minggu ke belakang. Sudah tujuh hari semenjak kepulangannya ke tanah kelahiran, ia belum bertemu dengan ibunya. Seharusnya, saat sedang kepusingan seperti ini, ibunyalah yang akan dapat membantunya.     Namun, ia sudah terbiasa. Semenjak ayahnya meninggal tujuh belas tahun silam, ia tak banyak berjumpa dengan sang ibu. Ayahnya pergi meninggalkan sebuah bisnis keluarga untuk ibunya, lantas sang ibu yang mengambil alih seluruh pekerjaan ayahnya, Termasuk bepergian ke luar kota, hanya untuk melakukan pertemuan antar rekan bisnisnya.     Layar televisi terus menyala, sebab ia ingin mencari seorang kandidat untuk dijadikan seorang unggulan di dalam perusahaan tempatnya mencari nafkah sekarang ini. Begitu pun beberapa majalah berserakan di atas meja, hanya untuk sekedar mencari informasi dari alat media cetak itu.     “Gimana aku bisa tau artis dalam negri yang lagi populer?” Karena, sejak ia menuntut ilmu di negri orang, tidak pernah sekali pun mencari kabar tentang selebriti yang berada di negrinya.     Suara langkah kaki menyendat kegiatannya, ia pun membalikan badan menuju sumber suara. Terlihat ibunya sedang berjalan menghampiri, senyuman manis pun tergambar sebagai sambutan.     “Akhirnya … mama inget rumah juga,” ujarnya setengah menyindir, akan tetapi, tersirat nada canda di sela ucap katanya. Kemudian ia bangkit berdiri, dan menghadap wanita yang sudah merampungkan ayunan kakinya.     “Duh … anak mama, kangen mama ya?” Amelia meluapkan rasa rindu dengan dekapan kedua tangan pada tubuh anaknya.     “Iya, aku kangen gosipan mama.” Tidak ada rasa canggung, meskipun usia mereka berbeda dua puluh satu tahun.     “Mama dengar kamu pulang karna dipanggil bos perusahaan otomotif.” Amelia adalah pengusaha wanita tersukses di negaranya saat ini, sehingga ia dapat mengetahui kabar tentang permasalahan yang dialami kaum ningrat. Termasuk alasan kepulangan anaknya sekarang ini, ia mendengar langsung dari pemilik perusahaan tersebut.     “Mama ga cape apa? Duduk dulu, yuk.” Christal terlebih dahulu menopangkan tubuh pada sofa bekas penumpu tubuhnya saat lalu.     Kemudian Amelia memilih tempat untuk duduk di samping anaknya. “Kamu udah makan belum?” Meskipun berbicara dengan anaknya, matanya tertuju pandang pada salah satu majalah di atas meja.     “Udah, kemarin-“     “Kamu-“ Amelia tersenyum simpul, seraya mengambil majalah yang menjadi buruan tatapannya saat lalu. “Kamu naksir sama dia?” Ia menunjuk objek dalam ucap katanya, dengan telunjuknya yang mengacung di hadapan gambar paras seorang lelaki.     “Dih, mama! Aku ga mau mikirin pacaran dulu.” Christal mendelik sebelum berkata. Ia menghela napas dalam, manakala pikirannya membayang pada sebuah pengkhianatan. Seharusnya, Amelia mengetahuinya, karena ia kerap menceritakan kisah dirinya terhadap wanita ini.     “Terus, kenapa ada majalah ini?” tanya Amelia begitu penasaran. Kali ini, ia menunjuk objek dengan meraih benda tersebut dan mengacungkannya.     “Buat proyekku tiga bulan lagi,” sahutnya penuh kejujuran.     Amelia mengungkap perasaan dengan hanya membungkam mulut. Dan berbicara dengan gerakan tubuhnya. Sebelah tangannya yang menumpu di atas lututnya, menopang dagu. Matanya memicing seraya mengarahkan pandangan pada wajah anaknya.     “Aku ajuin proposal buat bikin produk baru, itu harus ada brand ambassador-nya, ‘kan?” Christal yang mengerti bahasa tubuh itu, lekas menyahutnya.          “Wah … anak mama luar biasa sekali. Karyawan baru seperti kamu bisa langsung ajukan proposal untuk pembuatan produk baru? Mama ga pernah denger ada yang disetujui.”     “Pasti disetujui ‘lah, jabatan aku kan manager marketing,” nada bicaranya penuh tekanan, sebabnya ia sedang membanggakan diri.     “Makin susah aja buat mama ambil kamu.” Sesungguhnya, Amelia berencana untuk mengambil anaknya menjadi penerusnya. Namun, sebuah perusahaan yang lebih terpandang telah mendahuluinya.     “Mama udah pinter, ga usah aku bantuin. Buktinya, mama bisa urus usaha skincare mama sendiri.” Seperti yang dikatakan Christal, bahwa, Amelia terkenal sebagai wanita yang gigih dan mandiri. Sifat itu menurun pada anak semata wayangnya.     “Begitu kah?” Giliran Amelia yang membanggakan diri kepada anaknya, dengan menyulam senyuman simpul yang ditanggapi Christal dengan tawa kecilnya.     “Mama-“ kata Christal yang terpotong oleh ucapan ibunya.     “Jadi, Devian yang mau kamu ambil buat jadi brand ambassador di BRW otomotif?”     “Devian yang mama bilang dia, ‘kan?” Telunjuk Christal mengacung, dan mengarah pada majalah yang berada dalam genggaman ibunya.     “Ya, Devian Nathan.” Dan, Amelia menaruh benda itu pada tempat semula.     Sejenak keheningan melingkupi seisi ruang, sebabnya Christal sedang merenung. Amelia tidak ingin mengganggunya, ia pun turut membungkam mulutnya.     “Menurut mama, apa aku ga akan salah pilih?” Setelah mempertimbangkan selama dua hari ini, Christal masih belum yakin jika belum mendapat arahan dari ibunya.     “Cukup bagus, dia artis yang lagi naik daun sekarang ini.”      “Aku udah baca profile pribadinya. Dia juga lulusan Seoul University kaya aku, dan kayanya dia pinter juga. Banyak medali dia dapat dari kejuaraan pelajaran.” Setelah mengajukan proposal untuk perekrutan orang pilihan, Christal berusaha keras mencari data diri untuk kandidatnya. Ia bukan sengaja memilih Devian, yang sesungguhnya ini adalah keinginan sang atasan.        Awal mula ia merekomendasikan artis dari negara penghasil gingseng, karenanya ia memiliki banyak relasi di sana. Ketika ia menuntut ilmu pada sebuah sekolah tinggi itu, ia bertemu dengan banyak artis yang berasal dari negara tersebut.     Seoul Universitas adalah sebuah tempat menuntut ilmu yang tersohor akan popularitas terbaiknya, sehingga banyak murid yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Termasuk para selebriti.     “Itu yang mama maksud.” Dan, Amelia telah mengetahuinya sejak lama tentang data diri Devian, akan tetapi ia tidak pernah mengetahui lebih dalam tentang lelaki pemilik nama lengkap Devian Nathan ini.     “Hais … tau gitu aku ga usah nunggu mama buat nanyain ini,” ujar Christal dengan nada yang jengkel.     “Dasar nakal, kamu tunggu mama cuma buat nanyain ini?”     “Hmm … kangen juga sih,” katanya malu-malu, sehingga wajahnya berpaling tanpa berani menatap kawan berbincangnya.     Perbincangan tersendat lantaran ponsel milik Amelia berdering, menandakan seseorang sedang memanggilnya. Bergegaslah Amelia meraih tas yang tersimpan di atas sofa, tepatnya di sampingnya.     Christal memberikan waktu kepada ibunya, dengan cara kembali menatap wajah yang berada di balik sampul majalah yang sudah diletakan Amelia di atas meja.     Setelah Amelia menaruh kembali ponselnya ke dalam tas, ia menatap wajah anaknya dengan sorotan penuh penyesalan.     “Cris, maafin mama, mama ada pertemuan mendadak.”     “Oke, pergi aja, aku bisa urus semuanya sendiri.” Walaupun rasa rindu belum sepenuhnya tercurah, ia merelakan ibunya kembali meninggalkan diri.     “Kamu memang yang terbaik.” Sudut bibir Amelia tertarik manis, sebagai pelengkap ucapan puji terhadap anaknya.     Christal membalasnya hanya dengan senyuman dan lambaian tangan saja. Begitu pun dengan Amelia yang bergegas pergi tanpa berucap kata kembali.     Setelah Amelia hilang dari sekitarnya, Christal kembali dilanda kejenuhan. Pekerjaan yang sudah menjadi penyumbat isi kepalanya selama tiga hari ke belakang ini, membuat rasa frustasi menggelitik angannya.     Untuk menghibur diri, Christal berencana meninggalkan rumah. Kebetulan sekali, makanan ringan serta minuman kesukaannya sudah tidak tersedia. Begitulah caranya menghilangkan penat, dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang digemarinya.     Karena ia mampu mengendalikan kendaraan beroda empat, bahkan sudah memiliki akses resmi dari negara. Ia pun selalu menggunakan mobil milik ibunya untuk bepergian.     Beberapa saat kemudian, ia sudah tiba di tempat tujuan. Laksana sedang tersesat, selama dua puluh menit ia hanya mengelilingi tempat tersebut dan melihat-lihat barang pajangan, tanpa mengambil sesuatu yang diinginkannya.     Tiada kesengajaan ia memasuki lorong tempat penyimpanan perlengkapan bayi.     Saat itu ….     Katup matanya terbuka lebar, manakala melihat sepasang insan sedang memilih s**u untuk balita. Dengan refleks ia memutar tubuhnya, berusaha untuk menghindari insan itu.     Namun,     ‘Sial!’ Christal menggerutu di dalam benaknya.     Manakala,     “Christal!” Suara lelaki memanggil namanya.     Dengan terpaksa ia membalikan tubuhnya, kembali menghadap insan yang ingin dihindarinya. Karena perasaan sedang jengkel, ia mendelik dan membubuhkan decakan untuk menyambut orang itu.     “Ternyata bener, itu kamu!” Lelaki ini berjalan hingga mengikis jarak dengan keberadaan Christal.     “Kenapa?” sahut Christal nan menyemat nada ketus.     “Kapan kamu kembali dari Korsel?” Sebuah senyuman manis mengakhiri ucapan, wanita ini sesungguhnya sedang menyembunyikan rasa gelisah.     “Taun kadal!” Christal tak bisa mengendalikan diri, sehingga ia tidak lekang mengucap kata berduri yang disertai nada ketus.     Secara bersamaan, sepasang insan itu mengedarkan pandangan pada tubuh Christal. Tatapan tertuju dari mulai puncak kepala hingga ujung kaki Christal. Ucap pujian bergeming di dalam sanubari, setelah usai melihat penampilan wanita itu.     Barang-barang mewah nan mahal melekat pada setiap jengkal tubuh Christal, begitu pula kulit putih dan mulus pada wajahnya, ditanggapi kedua insan ini sebagai kemewahan.     “Kamu jadi lebih cantik, Chris. Apa jangan-jangan udah punya tunangan?” tanya si lelaki pemilik nama Ernest ini. Sesungguhnya ia berkata hanya untuk memancing hati wanita itu saja. Sebabnya ia masih mengagumi sosok wanita yang sedang bergerak kaku itu.     “Kenapa? Apa aku ga boleh tunangan sama orang lain?” sahut Christal.     “Aku yakin, pasti tunangan kamu anak konglomerat. Lihat deh, kamu sekarang udah melebihi standar orang kaya.” Giliran seorang wanita yang berkata, ia sengaja memanas-manasi Christal. Karenanya, ucapan suaminya telah mendobrak bendungan rasa cemburunya.     Christal enggan untuk menjawab, sebabnya ia gengsi jika mengungkapkan status diri yang masih melajang.     “Kamu diem, berarti aku bener ya?” Si wanita pemilik nama Adelia ini kembali bersuara, dan membuat Christal terpaksa menyahutnya.     “Iya, Bener! Kenapa emangnya? Ngerugiin kalian?”     “Aku ikut seneng.” Lalu, wanita ini menyemat senyuman kaku. “Ngomong-ngomong, siapa tunangan kamu?”     Siapa?     Christal tidak dapat menjawabnya, karena pertunangan yang dikatakannya adalah sebuah dusta. Ia hanya ingin menutupi kekalahannya semata, sehingga berucap tanpa mempertimbangkan dampaknya terlebih dahulu.     Namun, terlanjur diri merangkai kisah fiktif, dengan mudah ia menjawab, “Devian Nathan.” Menyebutkan nama seorang yang tersohor untuk menjadi korbannya.     Ia mengira jika Adelia dan Ernest tidak akan mengetahui siapa pemilik nama tersebut. Diketahuinya, bahwa, Adelia sejak remaja tidak pernah mengenali sosok yang terkenal seperti Devian.     Itu sebabnya ia dengan mudah merangkai dusta. Adelia dikenalnya sebagai orang yang tidak pernah mengurusi kehidupan orang lain.     “Waw, hebat banget! Beneran kamu tunangan Devian Nathan?” tanya Adelia.     Apa?!     Lagi dan lagi Christal mendapat hantaman batin dengan keterkejutan. Dari cara bicara Adelia, ia menerka jika wanita itu mengenali sosok dari pemilik nama yang disebutkannya.     “Bu-bukan tunangan, be-belum sampe tahap itu.” Pada akhirnya, ia menggali kebohongan yang lain.     “Jadi masih pacaran?” Ernest menghela napas, yang terlihat oleh istrinya seperti mewakilkan perasaan lega.     “Selamat.” Dan Adelia mengernyitkan dahinya, meresapi rona wajah Christal yang telah memucat. Ia yakin jika wanita ini sedang menahan rasa malunya. Hal itu terpicu dari pengakuan hubungan dengan tokoh publik.     Christal sudah tidak ingin memperpanjang waktu pertemuannya, sebabnya menerka, Adelia akan semakin mengorek tentang kisah percintaannya.     Sebelum diri bertambah malu, ia melambaikan tangan dan mengucap kata, “aku harus pergi, kalian lanjutin aja acara kencannya.”     Seharusnya, Christal tidak menganggap mereka sedang berkencan. Manakala keadaan memperlihatkan keranjang penumpu barang yang dibeli Adelia, berisikan perlengkapan untuk balita. . . .  Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN