Selesai mandi dan berganti pakaian, Dirga turun dan berjalan menuju ruang makan, perutnya lapar sedari tadi dan minta di isi.
Dirga langsung menghenyakkan bobotnya di kursi makan dan menatap menu masakan yang di olah oleh Cahaya, mantan istrinya.
Matanya memindai sekitar mencari keberadaan Cahaya, akan tetapi tidak ia temukan, "ck, kemana sih wanita itu," gerutu Dirga yang kemudian membalik piring yang tadinya tengkurap.
"Cahayaaa!!" Dirga akhirnya berteriak memanggil mantan istrinya, dengan tergopoh gopoh Cahaya datang dan langsung menunduk.
"Ya, Tuan," jawabnya masih dengan menunduk, "temani aku makan," titahnya yang langsung di jawab gelengan oleh Cahaya.
"Kenapa?" Dirga mendesis marah karena penolakan mantan istrinya tangannya yang berada di atas meja terkepal kuat, 'karena dulu ibu anda selalu melarang saya makan bersama dengan suami saya, dan sampai saat ini saya tidak berani makan bersama anda,' sayang jawaban itu hanya terucap di dalam hati Cahaya.
"Saya masih banyak pekerjaan di dapur," akhirnya alasan itu yang ia keluarkan, Dirga berdecih tidak percaya.
"Duduk dan makan," suara Dirga yang dingin menginterupsi, "tapi, Tuan-"
Brrakk, pyyarr.
Suara meja di gebrak dan piring terlempar membuat Cahaya terjengit kaget. Namun, dirinya berusaha tetap tenang walau dalam hati dirinya benar benar ketakutan, takut jika mantan suaminya berbuat yang lebih, memukul misal, walau ia tahu itu tidak mungkin terjadi.
Cahaya tahu, suaminya tidak suka bermain tangan atau memukul dirinya. Hanya saja jika marah selalu melempar dan membanting sesuatu yang berada di dalam jangkauan tangannya.
"Bereskan," kata Dirga dingin yang kemudian melangkah ke dapur mengambil piring dan kembali duduk di kursi dimana dirinya tadi duduk. Cahaya mengambil sapu juga penyerok sampah, lalu menyapu piring mahal yang sudah terbagi menjadi beberapa bagian. Cahaya harus hati hati juga teliti, jika tidak nanti salah-salah kakinya atau kaki mantan suaminya terkena sisa pecahan kaca yang lembut.
Dirga mengambil nasi serta sayur juga lauk lalu menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur itu kedalam mulutnya, kemudian menggigit tahu yang di goreng kering sesuai kesukaannya, netranya melirik mantan istrinya yang tengah membersihkan pecahan piring itu dengan menyapunya.
Di pandanginya tubuh wanita yang menjadi mantan istrinya yang kini memakai daster panjang menutupi lututnya, tubuh itu terlihat lebih berisi dari pada beberapa tahun lalu saat wanita itu menjadi istrinya.
'Apa dia bahagia lepas dariku, apa selingkuhannya bisa membuat dia bahagia, tapi jika dia bahagia kenapa dia bekerja jadi asisten rumah tangga?' Lagi, beribu pertanyaan tertanam di tempurung kepalanya.
Dirga mulai acuh dan melanjutkan makan malamnya ketika dering ponselnya yang berada di kamarnya berbunyi, hingga beberapa detik berhenti kemudian berbunyi lagi.
Cahaya yang sedang membuang pecahan piring itu sempat melirik kearah mantan suaminya, keningnya mengkerut heran, biasanya jika ada yang menghubungi dirinya, lelaki itu langsung mengangkat nya. Tapi, kenapa ini hanya di biarkan, gumam Cahaya dalam hati yang penuh dengan rasa penasaran.
Cahaya terjengit kala dering telepon rumah berbunyi, dengan cepat ia berjalan kesana, "mbak Siti, bilang ke tuanmu kalau aku telepon. Memang lagi apa sih dia, kok telepon dari ku nggak di angkat," Cahaya langsung meletakkan gagang telepon itu di atas meja dengan posisi tengkurap tanpa bersuara, lalu menyeret kakinya menuju ruang makan di mana Dirga sudah menyelesaikan ritual makan malamnya dan sedang berdiri lalu melempar tissu yang tadi ia pakai untuk mengelap mulutnya.
"Aku sudah selesai makan, kamu kalau mau makan, makan saja kalau ngga mau terserah," ucap Dirga dingin, Cahaya langsung mengangguk.
"Nona Tiara menelepon, Tuan," kaki Dirga yang hendak melangkah menaiki anak tangga seketika terhenti, kepalanya memutar lalu matanya memincing. Ada rasa kesal saat wanita ini memanggil dirinya dengan panggilan 'Tuan'.
Dengan langkah malas, Dirga menyeret kakinya kearah ruang tamu di mana dirinya memasang telepon rumah sejak rumah ini di bangun, sedang Cahaya entah pergi kemana.
"Ada apa?" tanya Dirga dingin, "Kak, aku rindu," suara wanita yang bernama Tiara terdengar mendayu-dayu, Dirga memutar bola mata jengah.
Dirga sudah tidak fokus pada Tiara yang sedang berceloteh di seberang sana, kini netranya menangkap tingkah mencurigakan dari mantan istrinya.
Wanita itu memasukkan tangan kanannya ke kantong daster, sedang tangan kirinya melipat daster yang menghubungkan dengan kantong itu, seakan akan menutupi isi kantong daster tersebut.
"Aku lelah, aku mau istirahat dulu," Dirga segera menutup sambungan telepon itu tanpa mendengar jawaban dari seberang, melepas sandal rumahan yang ia pakai lalu berjalan berjinjit agar tidak terdengar oleh Cahaya.
Cahaya: "Iya sayang, malam ini tidak pulang,"
Penelepon:"-"
Cahaya: "besok coba kalau bisa, kalau ngga bisa nanti dikabari kapan bisa ketemunya,"
Penelepon:"-"
Cahaya: "iya, iya, maaf ya, Sayang. Jangan lupa makan dan istirahat,"
Penelepon: "-"
Cahaya: "i Love You too, and i love you more, muuacch,"
Penelepon: "-"
Sambungan telepon akhirnya terputus, Cahaya tersenyum melihat foto seseorang yang menjadi penyemangatnya ia jadikan wallpaper.
Dirga yang mendengarkan dengan menempelkan daun telinganya pada daun pintu membuat tangannya terkepal kuat, hingga buku jarinya memutih.
Ingin sekali Dirga mencaci wanita yang kini menjadi mantan istrinya, tapi harus dia tahan karena ingin mengetahui apa motif wanita ini kembali dan menjadi asisten rumah tangga di sini.
Dirga segera meninggalkan kamar pembantu yang Cahaya tempati, wanita itu memilih tidur di bawah karena dirinya kini hanya menjadi asisten rumah tangga dari seorang Dirgantara Bagaskara.
"Baru sehari, Aya, masih ada 30 hari lagi untuk membawa lelaki itu ke hadapannya," gumam Cahaya menyemangati dan meyakinkan dirinya sendiri, tangannya mengepal lalu terangkat ke udara.
"Semangat, Aya," katanya yang kemudian keluar dan membereskan sisa makanan Dirga. Cahaya sudah di beritahu Mbak Siti jika memasak untuk makan malam cukup untuk Dirga dan dirinya.
***
Di tempat lain, "jangan harap kau bisa membawa laki-laki itu kehadapannya lalu kalian kembali bersama, kau hanya milikku, Cahaya," desis lelaki yang memiliki rambut panjang dan selalu ia kuncir itu, kini menatap foto Cahaya yang ia curi kemudian ia cetak dalam ukuran besar dan ia bingai lalu dijadikan pajangan sebagai pelepas rindu, walau rasa rindu itu tetap ada untuk mantan istri adik iparnya.
Gilang Bagaskara, kakak kandung dari Dirgantara Bagaskara yang juga tergila-gila pada sosok Cahaya Prameswari, dan akan terus berbuat apa saja agar mereka, Dirga-Cahaya berpisah untuk selamanya, sehingga ia bisa memiliki Cahaya sepenuhnya.
Termasuk menjebak Cahaya agar seolah-olah pernah tidur dengan dirinya dalam satu selimut, dan Dirga percaya akan tipu muslihat yang kakaknya ciptakan itu.