Pertemuan Dua Keluarga

1308 Kata
"Zieeeel!" teriakan Papa Ziel —Azka Kusuma, dari bawah tangga. "Kenapa sih, Pak, harus teriak-teriak gitu?" tanya sang istri yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Wanita keturunan Jawa itu tampak terlihat anggun dan cantik dengan kebaya modern yang dipadu dengan kain batik. Panggilan sayang yang ia berikan pada suaminya adalah dengan menyebut 'bapak', meski sang putra memanggilnya dengan sebutan papa. Wanita itu memang sengaja karena bagi Sita, panggilan 'papa' tidak cocok untuk mulutnya yang terbiasa hidup dan besar di lingkungan Jawa. Azka berjalan menghampiri istrinya dan ikut duduk. Sang Ayah —Tuan Rifki Kusuma, tengah menikmati teh hangat yang baru saja dibawa asisten rumah tangga. "Bi Sumi!" panggil Tuan Rifki ketika melihat wanita setengah baya itu hendak kembali ke dapur, spontan menghentikan langkahnya. "Iya, Tuan Besar!" jawab Bi Sumi sambil mengangguk. "Tolong panggil, Mas Ziel. Bilang agar segera turun," perintah pria tua itu. "Baik, Tuan." Bi Sumi setengah menunduk kemudian berjalan menuju tangga. "Apa keputusan kita ini sudah tepat, Pah?" tanya Sita pada sang mertua. "Kamu enggak usah khawatir, Sita. Kita lihat saja seberapa berpengaruhnya cucu Harsa membuat anakmu itu mengubah sikap buruknya," jawab Tuan Rifki. "Buruk yang seperti apa to', Pah?" tanyanya lagi. "Bu, memainkan perasaan perempuan itu apakah bukan sikap yang buruk? Ibu ini bagaimana!" Kali ini sang suami yang menimpali. "Lantas, apakah dengan kita memainkan perasaan dia sekarang, bukannya itu rencana buruk juga?" "Rencana kita yang mana?" "Ya, berpura-pura menjodohkan Ziel dengan Evelyn, apa berita itu tidak membebani dia, Pak?" "Ibu ini terlalu lembek. Apa Ibu enggak kenal siapa Ziel? Mana ada dalam cerita anakmu itu terbebani hidupnya." "Ya, tapi apa kita harus sejauh ini?" "Sita .... Kita mengharapkan perubahan pada Ziel agar tidak bermain-main lagi dengan anak gadis orang. Dan cara inilah yang Papa rasa merupakan jalan yang terbaik." "Tapi Pah, maaf, Ziel itu masih muda. Jadi, apa tidak kita maklumi hal itu sebagai sebuah kenakalan remaja saja?" ucap Sita bersikukuh. "Itulah mengapa kita merencanakan ini, agar kenakalan remajanya tidak berlanjut hingga ia dewasa. Apalagi sekarang ia sudah lulus SMA dan akan melanjutkan pendidikan kuliahnya. Lingkungan yang baru jangan sampai membuat ia semakin menjadi." Tuan Rifki memberi penjelasan yang menurutnya alasan penting di balik rencana perjodohan ini. "Lagipula kita akan memberikan batas waktu. Jika hal ini tidak berhasil maka kita menyerahkan hasil perjodohan ini pada keduanya." Masih memberikan penjelasan dan berharap sang menantu mengerti dan juga paham. Pria tua itu sadar bahwa Sita hanya merasakan khawatir terhadap sang putra. Meski selama ini ia tidak pernah memanjakan Ziel, yang merupakan putra tunggal keluarga Kusuma, tetapi perasaan khawatir yang dirasakan oleh Sita adalah sesuatu hal yang wajar adanya. Sita tampak merenungi perkataan sang mertua. Bila dipikir baik-baik, menurutnya tidak ada hal yang salah dengan rencana dari mertua dan suaminya itu. "Ya sudah, semoga ini memang rencana terbaik untuk Ziel." Akhirnya wanita ayu itu mengakhiri kegalauannya selama ini. Karena memang sejak awal, rencana yang Tuan Rifki utarakan, membuat Sita terus kepikiran dan merasakan gelisah. Namun kini, ia menyetujui semua itu. Dalam hati ia tanamkan, ini demi kebaikan sang putra. "Ziel, lama banget kamu!" seru Azka, ketika melihat sang putra turun. Lelaki itu tampak terlihat ogah-ogahan. Jelas terlihat ia masih belum bisa menerima perjodohan itu. "Apa kita tetap pada rencana Kakek?" tanyanya sambil menghampiri ke arah kedua orang tuanya. "Iya!" sahut Kakek Ziel, yang telah bangkit berdiri. "Yuk, jalan. Nanti keburu siang!" ucap pria tua itu. Azka dan Sita pun ikut berdiri, dan mengikuti langkah Tuan Rifki yang telah berjalan menuju pintu. "Kakek semangat banget deh!" seru Ziel yang melihat sang kakek berjalan duluan. "Ya jelas semangat dong, mau ketemu calon cucu menantu!" sahut Tuan Rifki dengan nada sedikit usil. Pria tua itu menyadari jika sang cucu akan kesal menerima ucapannya, dan memang itulah yang diharapkan. "Ish! Sumpah aku pingin kabur aja deh dari rumah!" cerutu Ziel. "Silakan, Ziel. Pintu selalu terbuka," sahut Tuan Rifki tersenyum. Keempatnya bergegas menuju ke kediaman keluarga Narendra. Dua mobil yang mereka kendarai dengan Ziel yang membawa mobil sport-nya sendiri. Tidak sampai satu jam mereka pun tiba. Terlihat seorang pria dan wanita dewasa tengah berdiri di depan pintu depan rumah mewah dengan banyak pohon tumbuh di halaman, yang membuat kediaman itu nampak asri dan segar. Hal itu ternyata membuat decak kagum pada diri Sita. "Serasa pulang ke kampung!" seru wanita itu. "Coba rumah kita direnovasi seperti ini, Pak!" pintanya pada sang suami. "Enggak ada bedanya dong, Bu, kalau rumah kita berkonsep seperti ini. Kita enggak ada nuansa lagi kalau pulang ke Yogya." "Oh iya, bener juga, Pak. Ibu lupa," ucapnya terkekeh. "Ayo, turun!" seru Tuan Rifki yang duduk di bangku depan. Ketiganya turun setelah dibantu dibukakan pintu oleh supir dan juga si pemilik rumah, Dirga Narendra, putra sulung keluarga Narendra. "Selamat siang, Pak Rifki dan Pak Azka, dan juga Ibu Sita. Selamat datang di kediaman kami." Sapaan dan salam pembuka yang diucapkan oleh Dirga mendapatkan sambutan hangat dari keluarga Kusuma. Semuanya saling berjabat tangan dan berpelukan. Amelia Sarawijaya —istri Dirga, memeluk hangat Sita —ibu Ziel. "Udah lama enggak main ke sini lagi, Mbak!" tanya Amelia. "Iya, maaf, Jeng. Enggak dapat ijin dari bapaknya Ziel kalau enggak bareng sama beliau." "Ya iyalah, serasa gadis saja. Masa udah punya suami, suaminya ditinggal!" sahut Tuan Azka menimpali ucapan sang istri. "Gimana enggak ditinggal, 'wong' suaminya sibuk melulu di kantor," ucap Sita tak mau kalah. "Shut! Ini kok urusan rumah tangga malah dibawa-bawa ke rumah orang sih, malu-maluin aja!" seru Ziel, yang tampak jengah melihat perdebatan kedua orang tuanya. Semuanya terkejut, sedetik kemudian mereka tertawa. "Apakah ini Ziel, putra tampan kalian?" tanya Dirga dengan sisa tawa yang masih tampak di wajahnya. "Eh, iya, Om. Aku Ziel, Ziel Nata Kusuma." Lelaki muda itu menjabat tangan Dirga sambil menundukkan setengah tubuh demi menghormati lelaki dewasa di depannya. Yang ia yakini, bahwa pria itu adalah Ayah Evelyn. "Wah, kamu sudah besar ternyata. Malah badanmu sudah melebihi tinggi ayahmu, Ziel!" seru Dirga sambil menepuk bahu Ziel. "Iya, Om," ucap Ziel tersenyum. "Ayo, masuk, masuk! Kita lanjutkan ngobrolnya di dalam," ajak Dirga mempersilakan masuk. *** "Harsa!" "Rifki!" "Sahabat lamaku!" Ucapan kompak keluar dari mulut kedua pria tua di depan dua anggota keluarga. Tuan Harsa dan Tuan Rifki saling berpelukan. Mereka larut dalam kerinduan sebagai sepasang sahabat. "Mana Lingga, istrimu?" tanya Tuan Harsa yang tidak melihat istri sahabatnya itu bersama mereka. "Lingga sedang sakit. Meskipun sakit biasa, tetapi aku tidak tega mengajaknya kemari. Khawatir lelah di perjalanan." "Jadi, dimana dia?" tanya Nyonya Ninta, istri Tuan Harsa. "Di Yogya, Nin!" sahut Tuan Rifki. "Oh, sayang sekali." "Ya, kalau bukan sesuatu hal yang penting, aku juga sesungguhnya tidak tega meninggalkannya, Harsa." "Tentu saja, mana mungkin kita tega meninggalkan istri sendiri yang tengah sakit." "Ayo, kita cerita sambil duduk. Sudah tua enggak kuat berdiri lama-lama," ucap Tuan Harsa terkekeh. "Jadi, ini 'kah cucumu yang bernama Ziel?" tanya Tuan Harsa pada sahabatnya dan memandang wajah Ziel. "Iya, ini cucuku! Tampan tidak?" sahut kakek Ziel. "Ya, sangat tampan!" sahut Tuan Harsa memuji Ziel. Yang dipuji senyum-senyum malu. "Tapi kamu jangan tertipu dengan wajahnya, Harsa. Dia anak nakal, dan aku harap kamu bisa tahan dengan sikapnya." "Kakek!" seru Ziel, menatap sang kakek tidak suka. "Benarkah?" sahut Tuan Harsa tersenyum. "Sepertinya ini akan seru Dirga," ucapnya menatap sang putra. "Apanya yang seru, Yah?" tanya Amelia pada sang mertua. "Kita memiliki cucu yang luar biasa, haha," sahut Tuan Harsa tertawa. Amelia masih belum mengerti dengan ucapan mertuanya tersebut. "Rifki, kamu juga nanti jangan tertipu oleh wajah cucuku yah, wajahnya tidak secantik sikapnya," ucapnya tertawa. "Opah!" teriak seorang gadis. Semua orang yang ada dalam ruangan itu, sontak memalingkan wajah mencari sosok bersuara tadi. Terlihat seorang gadis berdiri di tengah-tengah tangga penghubung lantai bawah dan atas. Gadis itu tampak sangat cantik dengan gaun pendek selutut berwarna pink cerah dengan rambut hitam panjang yang ia biarkan tergerai dengan sedikit modifikasi, hasil dandanan dari sang tante —Nancy, yang berdiri juga di belakang bersama Juna —suaminya. "Evelyn!" seru Ziel, terkejut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN