Bagian 4

1374 Kata
"Udah mau balik, Al?" Tanya Dinda yang baru saja keluar dari kamar mandi, ke melihat Al tengah menenteng jaket hitam miliknya dan bangkit dari sofa. Al menoleh lalu mengangguk pelan. "Iyah, thanks buat hari ini. Dan selamat kembali bekerja." Sahut Al dengan santai, nampak saat ini kondisinya sudah sedikit membaik walaupun hatinya mungkin masih terasa sakit akibat pengkhianatan cinta yang ia alami hari ini. "Kayaknya Irish juga ada masalah tuh," cetus Dinda tiba-tiba, ia berjalan kembali menuju meja kerjanya lalu duduk di kursi kebesarannya. "Coba Lo tanya." Sambungnya dengan santai. "Gue juga ngerasa gitu, tadi di telpon katanya dia mau curhat. Tapi sampe sini gak curhat apa-apa. Gegara gue kali ya," ucap Al sedikit merasa bersalah. Mungkin Irish tidak enak hati menceritakan masalahnya pada mereka karena Al tengah di Landa putus cinta yang mendalam. "Iyalah gara-gara Lo. Tadi pas gue tanya, alasannya habis di bentak sama bosnya. Gara-gara dia komplen gak mau di tugasin di luar ruangan." Adu Dinda pada Al. Al menatap Dinda tak percaya, ia mengerutkan keningnya lalu membuka mulutnya. "Bukannya Irish paling suka ya, kalo di suruh tugas di luar? Dia bilang biar gak suntuk di kantor ngurusin naskah milik para penulis. Terlebih lagi, ia di tugasin buat kerja sosial bagiin sembako buat orang gak mampu di bulan ulang tahun perusahaan. Kenapa sekarang gitu?" Tanya Al secara beruntun. Dinda yang mendapatkan serangan banyak pertanyaan hanya menggidikkan bahunya tak tahu. Itu juga yang saat ini tengah berada di kepalanya, Irish bukan tipe orang seperti itu. "Lo susulin aja dia, dia kalo sama Lo kan terbuka banget. Kali aja mau ngaku apa masalahnya yang sebenarnya." Tutur Dinda yang langsung di angguki oleh Al. "Dan kalau seandainya alasan Irish itu benar? Apa yang bakal Lo lakuin?" Lanjutnya dengan penasaran. "Ya gue bakal abisin si Reza. Berani-beraninya bentak Irish." Jawab Al dengan santai. Dinda yang mendengar hal itu hanya bisa tersenyum kecil, membayangkan Al bertemu dengan Reza saja sudah sukses membuatnya ingin tertawa, bagaimana jika mereka memang bertemu secara langsung dan bertengkar. Pasti akan seru. Btw, Reza adalah atasan Irish, dan mereka satu angkatan waktu SMA. Reza dan Al tak pernah akur, mereka pernah merebutkan gadis yang sama hingga kuliah. Walaupun mereka musuh bebuyutan, Dinda tetap saja menganggap bahwa ke dua nya sangat lucu saat tengah berdebat atau bertengkar, terlihat sangat kiyowo. "Ya udah, gue cabut!" Pamit Al dan Dinda hanya mengangguk pelan, membiarkan sahabatnya tersebut keluar dari base cam nya. Di sisi lain, Irish saat ini tengah berada di pinggir danau, tempat yang sangat sepi, sejuk dan juga gelap. Hanya ada lampu jalan menerangi pinggir danau yang berada di pinggir jalan tersebut. Ia tidak takut berada di sini, di dekat sini ada pos polisi yang berjaga, kalau ada yang berbuat jahat, ia hanya tinggal berteriak sekeras mungkin, para polisi tersebut pasti akan mendengarnya dan datang menyelamatkannya. Ia menyenderkan punggungnya di pintu mobil, rasanya lelah, kecewa dan juga lemas. Bayangan mengenai kejadian tadi siang masih terngiang di kepalanya. Adnan memutuskan hubungan mereka dengan alasan yang benar-benar sangat sepele. Kulitnya menggelap. Wah! Irish tak habis pikir dengan hal itu. Tak terasa, air matanya langsung menetes dengan deras, Isak tangis mulai terdengar, kakinya yang bergetar mulai merosot turun hingga terduduk di tanah yang lembab. Ia tak peduli dengan pakaiannya yang akan kotor jika duduk di sini, yang ia pedulikan saat ini adalah bagaimana caranya ia memperbaiki hatinya yang telah retak. Memperbaiki rasa percaya dirinya yang hampir hilang karena perbuatan Adnan. Sejak dari kecil, Irish selalu bermasalah dengan rasa kepercayaan dirinya, ia yang memiliki tubuh birisi di anggap orang lain tidak menarik, wajah yang di komentari tidak cantik dan lain-lain. Semua orang mengomentari anggota tubuhnya yang tidak sempurna. Bahkan sedari dulu, banyak cowok yang menjauhinya bahkan menolaknya hanya karena tubuhnya yang berisi. Atau kalau tidak, mereka bermasalah dengan wajahnya yang tidak cantik. "Gue harus se good looking apa supaya di cintai sama seseorang?" Gumamnya dengan pelan di sela-sela Isak tangisnya yang memilukan. Suara derap langkah terdengar, Irish menghentikan tangisannya, rasa takut mulai bersarang pada dirinya, haruskah ia berteriak sekarang juga? Langkah itu semakin mendekat dan mendekatinya, dari bawah ia bisa melihat sepasang kaki berhenti tepat di hadapannya. perlahan ia mendongak, menatap siapa yang baru saja datang. "Cengeng." Komentar Al saat melihat sahabatnya menangis di tengah kegelapan dan sendirian. "Al," seru Irish dengan nada suara yang gemetar. Dengan mengindahkan rasa gengsi, ia dengan cepat bangkit dari duduknya di tanah dan memeluk Al dengan sangat erat lalu kembali mulai terisak pilu. Al membalas pelukan Irish dengan erat, ia tahu, kebanyakan para wanita melampiaskan rasa sedihnya dengan cara menangis, tidak seperti dirinya yang menyakiti dirinya sendiri. Al diam, terus mengelus punggung Irish dengan lembut agar gadis itu tenang sebelum akhirnya ia sanggup menceritakan semua masalahnya. Sangat mudah bagi Al untuk menemukan keberadaan Irish, kalau gadis itu ada masalah, pasti larinya ke tempat ini. Bahkan kadang, mereka ketemuan di sini untuk menceritakan masalah masing-masing. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk duduk di bagasi mobil Irish yang sengaja di buka. Mereka berdua duduk bersampingan sembari menatap ke arah jalanan, semakin larut, semakin sepi pula kendaraan yang berlalu lalang, hanya ada beberapa, dan yang paling banyak adalah kendaraan berat. Perlahan, Al memegang salah satu tangan Irish, memberinya sebuah kenyamanan sekaligus kehangatan. Mereka saling menatap lalu seulas senyum tercetak jelas di bibir Al. Irish yang melihatnya ikut tersenyum kecil, ia menarik nafasnya dengan perlahan lalu membuangnya dengan berat. Ia sudah siap untuk bercerita. "Gue sama Adnan udah putus." Terang Irish dengan pilu. "Sejak kapan?" "Hari ini," "Lah? Samaan kita. Emang ya, kalo sahabat itu apa-apa selalu aja barengan. Sampe putus aja barengan." Kekeh Al. "Dia gak selingkuhin Lo, kan?" Tanya Al  dengan serius, jika memang itu alasannya, maka esok hari ia akan mencari Adnan dan memukulinya sampe babak belur. "Gak tahu, yang pasti alasan gue sama dia putus bukan karena itu." "Terus, karena apa?" "Kulit gue gelap." Jelas Irish dan Al yang mendengar nya membuka mulutnya dengan lebar. Apa? Ia tak salah mendengar? "Apa? Coba ulangi lagi." Pinta Al. "Karena kulit gue lebih gelap dari kulitnya Cantika." "Gila!" Komen Al secara spontan. Irish menatap serius ke arah Al, dan di balas oleh pria itu dengan ramah. "Gue harus secantik apa supaya di cintai oleh orang lain?" Tanya Irish dengan sendu, air matanya tanpa sengaja menetes. Al menggeleng pelan, ia merengkuh tubuh Irish ke dalam pelukannya. "Lo cantik, cantik banget." "Enggak, gue gak cantik." "Menurut gue, Lo itu cantik. Dengerin gue ngomong," Al melepaskan pelukannya, menatap Irish dengan serius. Ke dua tangannya menangkup wajah cantik sahabatnya lalu melanjutkan kalimatnya yang terjeda. "Wanita adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna." "Tapi gue enggak," "Siapa yang ngajarin Lo gak bersyukur? Lo cantik dengan segala kekurangan dan kelebihan yang Lo miliki. Lo sempurna tanpa cacat sedikitpun." "Ingat, saat Lo merasa berada di titik paling rendah, jangan lihat orang yang berada di atas Lo, itu cuma bisa bikin Lo makin gak bersyukur dan terus aja insecure. Coba Lo lihat orang yang berada di bawah Lo, mereka yang gak di kasih Tuhan kesempurnaan fisik, tapi mereka terus aja semangat. Sedangkan Lo? Di kasih anggota tubuh yang lengkap, tapi tetep insecure." "Cuma cowok g****k yang ninggalin Lo, percaya sama gue. Seorang wanita, akan menjadi ratu di mata cowok yang tepat. Kalo Adnan nilai Lo gak cantik, kulit Lo gelap dan bla bla bla, berarti dia bukan yang terbaik buat Lo. Karena orang yang terbaik buat Lo adalah, seseorang yang bisa menerima Lo apa adanya, menganggap Lo itu sempurna dan luar biasa." "Al," "Percaya sama gue, suatu saat nanti, Lo bakal nemuin cowok yang tepat." "Gue pengen punya cowok kayak Lo, udah ganteng, baik, kaya raya, gak mandang fisik lagi." Kekeh Irish yang langsung di Sahuti Al dengan suara tawanya pelan. Memang benar, dia adalah pria yang sempurna. Saat Al sudah mencintai satu orang gadis, ia tak pernah melihat dari fisik atau materi gadis itu. Bahkan saat kuliah, Al pernah memacari seorang gadis yang menjadi bahan Bullyan teman kuliahnya karena memiliki tubuh gempal. Sayangnya, mereka harus putus karena gadis itu harus kuliah di luar negeri, LDR adalah salah satu rintangan terberat dalam menjalin hubungan. "Gue juga pengen punya istri kayak Lo, perhatian. Sayang sama pasangan, gak neko-neko, baik, cantik, pinter. Gak matre, dan sempurna." "Kita nikah aja ayok!" Ajak Irish yang langsung di iringi dengan suara gelak tawa keras oleh ke duanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN