Langit sore tampak lembut, tapi Jennah merasa seolah warna-warna itu mengejeknya—terlalu cerah untuk hati yang sedang berantakan.
Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut cokelat gelapnya yang disanggul rapi. Gaun biru pastel yang ia kenakan tampak elegan dan sederhana, tapi matanya kosong.
Di meja rias, layar ponselnya bergetar. Nama Seraphine tertera di layar ponselnya, Jennah menekan tombol hijau dan suara Seraphine pun terdengar.
“Jadi kamu pasti mau datang?” suara sahabatnya terdengar di ujung sana, lembut tapi penuh kekhawatiran.
Jennah menarik napas dalam. “Iya. Kalau aku tidak datang, orang-orang justru akan bilang aku belum move on. Aku sudah cukup kenyang dengan gosip.”
“Jenn, kamu tidak harus membuktikan apa pun ke mereka. Aku baru buka grup alumni, mereka sibuk bahas betapa ‘perfect couple’-nya Nathan dan istrinya. Gila, mereka seolah lupa bagaimana dulu kamu kejar dia.”
Jennah tersenyum tipis. “Sudahlah, Sera. Mereka cuma ingat yang indah, bukan yang sakit.”
Ia mencoba terdengar tenang, meski dadanya sesak.
“Kamu masih bisa memilih untuk tidak pergi. Aku bisa nyusul, pura-pura ajak kamu ke acara lain.”
Jennah tertawa kecil. “Kamu itu artis, Sera. Kalau kamu datang, malah bikin semua orang heboh. Aku mau datang diam-diam saja. Aku cuma… ingin lihat dengan mataku sendiri.”
“Kamu masih mencintainya, ya?”
Jennah diam lama. Suaranya akhirnya keluar lirih, “Entahlah. Mungkin aku cuma belum belajar benar-benar melepaskan.”
Seraphine menghela napas dari seberang sana, Jennah tersenyum menyadari bahwa sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkannya.
"Sudahlah... tidak perlu khawatir denganku. Syutinglah dengan tenang, buat aku bangga jadi sahabatmu." Jennah berusaha terdengat kuat dan sedikit mengurangi kecemasan Seraphine.
"Ya ya.... Aku tahu kau selalu begini. Tunggu aku pulang, aku akan menghiburmu dan memanjakanmu dengan baik." Seraphine terdengar bersemangat membuat Jennah sedikit bisa mengurangi ketegangannya.
**
Lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom hotel bintang lima itu. Musik jazz lembut mengalun, wangi bunga mawar putih memenuhi udara. Jennah melangkah pelan, memegang undangan putih gading yang kini terasa berat di tangannya.
Beberapa wajah familiar menyapanya dengan senyum setengah basa-basi.
“Jennah! Lama tidak ketemu. Wah, kamu makin cantik aja.”
“Eh, kamu dateng sendirian?”
“Kamu tahu nggak, Nathan katanya pesan cincin pernikahannya dari desainer terkenal, mirip gaya desainmu, ya?”
Jennah hanya tersenyum kaku.
“Iya, mungkin seleranya masih sama,” jawabnya singkat.
Dalam hati ia tertawa getir—ya, karena memang aku yang buat.
Dari jauh, Jennah melihat Nathan berdiri di pelaminan. Senyumnya lebar. Di sampingnya, pengantin wanita terlihat anggun dengan gaun renda putih. Jennah menatap keduanya lama, sebelum akhirnya membalikkan badan dan meneguk champagne pelan.
Kalau saja waktu bisa mundur, pikirnya, aku akan memilih untuk tidak jatuh cinta padanya.
Jennah keluar ke taman hotel. Udara dingin menyambutnya. Lampu-lampu taman berpendar lembut di antara dedaunan. Ia duduk di bangku batu, menatap langit senja yang mulai gelap.
Air mata jatuh tanpa ia sadari.
Tak ada isakan. Tak ada suara. Hanya tangisan tenang dari hati yang letih.
“Kamu selalu kuat, Jennah,” gumamnya untuk diri sendiri. “Tapi bahkan bunga paling kuat pun bisa layu.”
Tak jauh dari sana, Elio sedang memperhatikan Jennah diam-diam.
Dari posisi di dekat koridor kaca, ia memperhatikan Jennah duduk sendirian. Ia mengenalnya dari foto yang pernah dikirim Nathan saat memesan cincin dulu—Jennah tampak fokus di meja kerjanya, tangan memegang sketsa desain dengan cahaya lembut menyinari wajahnya.
Kini perempuan itu terlihat rapuh, jauh dari bayangan profesional yang anggun.
Elio hendak melangkah, tapi langkahnya terhenti.
“Tidak sekarang,” gumamnya pelan. “Dia butuh ruang untuk menata dirinya dulu.”
Elio menatap lama sebelum akhirnya pergi.
Tapi bayangan Jennah di bawah cahaya taman itu menancap kuat dalam ingatannya.
**
Keesokan harinya, Jennah duduk di kafe langganannya bersama Seraphine yang baru tiba dari Singapura.
Sahabatnya itu mengenakan kacamata hitam besar, tapi auranya tetap mencuri perhatian seluruh ruangan.
"Kamu yakin mau duduk di sini? Kita bisa pindah ke ruang VIP." Jennah menawarkan ketika Seraphine akan duduk di kursi di hadapannya. Ia tidak ingin menimbulkan gosip yang tidak penting lagi seperti yang terakhir kali. Salah satu artikel hiburan menerbitkan gosip tidak sedap tentang Seraphine yang mengatakan kalau dia menyukai wanita.
Bukan tanpa alasan, Serpahine memang selalu terlihat bersama Jennah. Pihak manajemen Seraphine sangat marah, dan menuntut pihak yang menerbitkan gosip yang mencemarkan nama baik artisnya itu.
"Kamu masih trauma sama gosip yang kemarin?" Serpahine menembak dengan senyum khasnya. Jennah tersenyum lembut lalu memutar mata. Ia pun memutuskan untuk tidak bertanya lagi tentang topik pindah tempat.
“Jadi, bagaimana resepsinya?” tanya Seraphine, meneguk latte-nya.
Jennah tersenyum datar. “Indah. Seperti dongeng. Cuma aku lupa, aku bukan pemeran utama di cerita itu.”
Seraphine menghela napas panjang. “Aku sumpah, kamu satu-satunya orang yang bisa bicara sesakit itu dengan nada sehalus itu.”
Jennah tertawa pelan. “Mungkin aku sudah kebal.”
“Atau mungkin kamu terlalu sering pura-pura bahagia,” balas Celes cepat.
Jennah tak menjawab. Ia menatap jendela kafe yang menampilkan bayangan dirinya sendiri.
Ada keheningan yang sulit dijelaskan—antara ingin percaya bahwa cinta akan datang lagi, tapi juga takut untuk berharap.
"Bagaimana Drake?" Seraphine mengalihkan pembicaraan ke topik yang sudah lama tidak Jennah pikirkan. Ia mengangkat kedua alisnya.
"Kami berpisah baik-baik. Anggap saja tiga tahun itu aku sedang menjaga jodoh orang lain dengan terhormat." Tidak ada perasaan apapun yang Jennah rasakan ketika mengatakan itu, ia hanya merasa kosong.
"Aku tidak bisa bilang Drake pria yang baik, tapi aku tahu ada situasi khusus di antara kalian yang mengharuskan kalian berdua harus terikat selama tiga tahun itu. Tapi, aku senang kau akhirnya bisa mengakhirinya." Tatapan Serpahine menyiratkan kekhawatiran dan empati. Dia satu-satunya orang yang tahu tentang pernikahan Jennah dan Drake.
Jennah menatap cangkirnya tanpa berkedip, tatapannya setengah kosong.
"Kau tahu, Sera, hari di mana aku bercerai dengan Damian, cinta pertamanya datang membawa buket bunga mawar merah yang besar. Aku masih ingat wangi bunga itu, harum, tetapi entah kenapa menusuk hatiku." Jennah berkedip untuk mengusir kilasan masa lalu, hari di mana ia berdiri di depan biro sipil sambil memegang surat cerai di tangannya.
"Kau... sakit hati karena Drake tidak mencintaimu?" Seraphine bertanya dengan nada hati-hati.
Jennah menggeleng.
"Bukan, bukan itu. Aku tidak pernah jatuh cinta dengan Drake. Aku iri, dengan dia yang memiliki seseorang yang bersedia menunggu dan memulai kembali cinta baru yang nyata."
Sementara itu, di luar sana, seseorang bernama Elioano Cassian, sedang menatap laporan pasien barunya di rumah sakit.
Nama itu membuatnya berhenti sesaat.
“Jennah Aureline Varez,” bisiknya. “Jadi kita akan bertemu lagi.”
Elio membaca data Jennah di ruangannya, menyadari kalau pasien yang dijadwalkan untuk pemeriksaan mata minggu depan adalah wanita yang semalam duduk sendirian di taman pesta pernikahan Nathan.
“Kau menangis malam itu,” gumam Elio pelan, “dan entah kenapa… aku ingin tahu alasannya.”