4. Langkah Pertama yang Tenang

1001 Kata
Hari-hari setelah pemeriksaan mata itu berjalan dengan tenang bagi Jennah. Namun, sejak pertemuannya dengan Elio, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya — bukan dalam arti buruk, melainkan semacam rasa penasaran yang lembut, halus, dan tidak mudah diabaikan. Ia tidak menyangka, bahwa seseorang dari masa lalunya akan muncul lagi, terlebih di saat hatinya sedang hancur. Seolah waktu berputar dan mempertemukannya dengan sesuatu yang dulu ia abaikan. Siang itu, Jennah sedang memeriksa hasil sketsa desain baru di studionya ketika ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar membuatnya berhenti sejenak. Rumah Sakit St. Claire Ia mengangkat dengan nada sedikit kaget. “Dengan Jennah Aureline Varez, benar?” suara perempuan di seberang terdengar sopan. “Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?” “Dokter Elioano Cassian ingin menjadwalkan pemeriksaan lanjutan untuk Anda. Beliau khawatir kondisi mata Anda belum pulih sepenuhnya.” Jennah menatap hasil desain di mejanya, lalu menatap ke jendela. “Baiklah. Tolong jadwalkan hari Jumat sore, setelah jam kerja.” “Baik, Nona Jennah. Kami tunggu kedatangannya.” Telepon ditutup, tetapi Jennah masih menatap layar ponselnya cukup lama. "Elioano Cassian... mengingatkan aku pada masa-masa di mana segalanya terasa sederhana." Jennah berpaling menatap ke jendela yang memperlihatkan awan sore yang berwarna oranye. Ia tersenyum, dan lintasan memori masa lalu bersama Elio di perpustakaan sekolah St.Madeline memenuhi rongga hatinya seperti menyambut di musim gugur, dingin, tetapi entah kenapa ia selalu ingin kembali ke sana. ** Hari Jumat sore, langit tampak redup. Jennah datang tepat waktu. Di ruang praktik, Elio sedang menulis laporan medis ketika pintu diketuk pelan. “Masuk,” katanya sambil menutup berkas. Jennah melangkah masuk. Kali ini ia mengenakan blus putih dan celana panjang berwarna krem. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap cantik dalam kesederhanaannya. Elio tersenyum hangat. “Terima kasih sudah datang tepat waktu.” Jennah membalas dengan anggukan kecil. “Saya kira pemeriksaan sebelumnya sudah cukup. Tidak ada masalah serius, bukan?” “Benar,” jawab Elio. “Tapi saya ingin memastikan mata Anda tidak kembali tegang akibat kelelahan. Anda bekerja di bidang yang menuntut detail visual, bukan?” Jennah tersenyum samar. “Saya desainer perhiasan. Detail adalah dunia saya.” Elio menatapnya sejenak, lalu berkata lembut, “Dan dunia yang terlalu penuh detail sering kali membuat seseorang lupa untuk beristirahat.” Jennah menunduk, sedikit terkejut oleh ketepatan kalimat itu. Ia tahu, Elio tidak hanya berbicara tentang mata. Selama pemeriksaan, suasana di antara mereka begitu tenang. Elio bekerja dengan hati-hati, dan setiap gerakannya mencerminkan profesionalisme serta kelembutan. Setelah selesai, Elio berkata, “Kondisi matamu jauh lebih baik, Jennah.” “Syukurlah,” jawab Jennah pelan. “Saya sempat khawatir.” Elio menutup alat pemeriksa, lalu menatapnya. “Kekhawatiran itu tanda bahwa kamu mulai peduli pada dirimu sendiri.” Jennah terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi terasa menyentuh. Ia mengalihkan pandangan ke jendela ruangan. “Kadang, saya pikir tidak ada yang perlu saya pedulikan lagi,” ujarnya jujur. “Pekerjaan cukup menyita waktu. Selain itu… tidak banyak yang tersisa untuk dipedulikan.” Elio menatapnya lama. “Aku ingat dulu kamu juga berbicara seperti itu, waktu di klub buku. Tapi saat itu kamu tetap membaca kisah cinta klasik dan percaya bahwa cinta sejati pasti datang.” Jennah menoleh cepat. “Kau masih ingat hal itu?” “Tentu,” jawab Elio tenang. “Aku ingat semuanya. Bahkan bagaimana kamu membaca Pride and Prejudice dengan ekspresi bingung, lalu berkata kalau Darcy terlalu rumit untuk dicintai.” Jennah tertawa kecil, kali ini tulus. “Aku bahkan lupa pernah mengatakan itu.” “Aku tidak,” balas Elio sambil tersenyum. Untuk sesaat, keheningan melingkupi mereka. Tapi bukan keheningan yang canggung — melainkan yang lembut, seolah dua orang sedang mengenang musim yang sama dari masa lalu. Sebelum Jennah pergi, Elio berkata, “Aku ingin memastikan kamu tidak bekerja terlalu lama di depan komputer. Boleh aku kirimkan tips relaksasi mata dan beberapa panduan istirahat visual lewat pesan pribadi?” Jennah tampak ragu sejenak. “Kau serius?” Elio mengangguk. “Sebagai doktermu, tentu saja.” Jennah akhirnya tersenyum tipis. “Baiklah, kirim saja.” Ia beranjak pergi, tapi sebelum melangkah keluar, Elio berkata pelan, “Jennah.” Jennah menoleh. “Kau tidak harus terburu-buru sembuh dari semua hal,” Elio berkata. “Kadang, perlahan itu juga bentuk keberanian.” Jennah menatapnya lama. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat dadanya hangat. “Terima kasih, Dokter Cassian.” “Cukup panggil aku Elio,” balasnya dengan senyum lembut. ** Jennah baru saja keluar dari rumah sakit ketika Seraphine menelepon. Mobil SUV hitam yang elegan berhenti tepat di hadapan Jennah, ponselnya pun berhenti berdering ketika pintu SUV terbuka memperlihatkan Seraphine yang duduk di salah satu kursi di dalam mobil. “Sudah selesai? Bagaimana, dokternya masih seperti yang kamu ceritakan waktu SMA?” Jennah menghela napas kecil. “Dia… berubah. Tapi tetap punya aura yang sama.” “Aura pria tenang tapi berbahaya?” Seraphine tertawa renyah. “Tidak, bukan begitu,” jawab Jennah cepat. “Dia… hangat. Tapi caranya tenang, tidak memaksa. Seolah tahu kapan harus bicara dan kapan diam.” “Kedengarannya kamu mulai memperhatikan,” balas Seraphine cepat. Jennah tersenyum samar. “Aku hanya menghargai seseorang yang tahu caranya memperlakukan orang lain dengan tenang. Itu saja.” “Jennah, hati-hati. Kadang, cinta datang dengan langkah paling lembut.” Jennah tidak menjawab. Ia hanya menatap jalanan yang mulai gelap dari balik jendela mobil. Dalam pikirannya, wajah Elio terlintas samar — dengan tatapan teduh dan suara lembut yang sulit ia lupakan. ** Malam itu, di apartemennya, Jennah menerima pesan dari nomor tak dikenal. Ia baru saja selesai mandi air hangat. Hari ini, ia menyelesaikan deadline seorang klien lamanya lebih cepat satu hari. Elioano Cassian: Ini panduan relaksasi mata seperti yang kujanjikan. Tapi ada syaratnya.” Jennah: Syarat?” Elioano Cassian: Kau harus janji akan istirahat, bukan hanya untuk matamu, tapi untuk hatimu juga.” Jennah menatap layar ponselnya lama. Senyumnya muncul perlahan — tipis, tapi nyata. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa diperhatikan… bukan sebagai kewajiban, tapi karena seseorang benar-benar ingin tahu kabarnya. "Mungkin, perlahan… inilah awalnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN