“Aku mau menikah lagi..” Fathir bicara dengan tatapan serius.
Shanum hanya diam.. Ia tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Ke-kenapa?” Ia menatap suaminya. Tubuhnya gemetar dan langsung ambruk ke lantai.
“Kita sudah lima tahun menikah, dan kamu belum bisa memberikan keturunan..” Fathir dengan dinginnya bicara hal yang menohok hatinya.
Ada luka tak terlihat yang membuat Shanum begitu sakit. Namun, rasa sakit itu tak bisa ia obati. Entah apa obatnya.
Bisakah ia menerima kenyataan itu? Kuatkah aku dimadu?
Air mata mulai mengalir di pipinya.
“Bagaimana kalau aku tidak menerimanya?” Shanum menguatkan dirinya.
“Kamu tidak ada hak untuk itu. Kecuali, kamu memberikanku keturunan..” Fathir keluar dari kamar tidur mereka.
Reaksi Fathir begitu dingin. Shanum tak percaya, suami yang sudah menikahinya selama lima tahun ini bisa sejahat itu.
Kepergian Fathir dari kamar tidurnya hanya menyisakan air mata. Shanum menangis dan menangis. Bagaimana mungkin ini terjadi padanya? Dan, soal anak.. Apakah ini adil untuknya? Ia bahkan tidak tahu kenapa sampai ia tak juga kunjung mengandung. Apa semua ini salahnya?
Ia menangis sepuasnya.
Ingatannya kembali pada masa satu tahun ke belakang. Fathir lebih sering pulang malam atau dinas ke luar kota.
Selain itu, akhir akhir ini, ia akui kalau Fathir sering marah marah tidak jelas. Ternyata, ini jawabannya.
Apa perempuan lain itu sudah hadir setahun terakhir ini? Siapa perempuan yang akan Fathir nikahi? Atau malah mereka sudah menikah?
Suaminya itu mengemban jabatan bergengsi sebagai Deputi Bidang Industri dan Investasi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jadi, Fathir memang sibuk. Tapi, Shanum tidak menyangka dibalik kesibukannya itu, membuatnya memiliki kesempatan untuk menemui perempuan lain.
Setelah mencoba meredakan tangisnya, Shanum keluar dari kamar tidur. Ia melihat Fathir dengan santainya sedang menonton televisi, seperti tidak ada apapun yang terjadi.
Ia menghampiri suaminya, lalu duduk di hadapannya, "Siapa perempuan itu?"
"Kamu tidak perlu tahu.. Itu bukan urusanmu...?" Fathir menjawabnya dengan tegas.
"Apa kamu sungguh akan menikahinya dan mengabaikan pendapat dan perasaanku?" Shanum bicara perlahan.
Fathir menatapnya, "Dia hamil. Ada darah dagingku di perutnya. Perempuan itu mengandung anakku.. Aku akan menikahinya.."
Shanum lagi lagi menangis... Air mata kembali turun di pipinya..
Suasana sunyi dan senyap, tidak ada kata kata keluar dari mulut keduanya. Hanya tangis Shanum yang mengisi kesunyian itu.
Fathir tidak berupaya apapun untuk meredakannya.
"Sejak kapan kamu berhubungan dengannya?" Shanum memberanikan diri untuk kembali bertanya.
"Kamu tidak perlu tahu.." Fathir lagi lagi tidak menjawab pertanyaan Shanum.
"Apa kamu akan meninggalkanku dan tinggal bersama perempuan itu?" Shanum kembali bertanya. "Kalau memang seperti itu, kenapa kamu tidak menceraikanku saja?"
"Aku akan memberikanmu kesempatan satu tahun lagi untuk bisa memberikanku keturunan.." Fathir dengan jahatnya menjawab pertanyaannya.
"Kenapa kamu pikir kalau aku akan mau menerima ini semua?" Shanum menatap suaminya. Ada rasa sakit yang menyayat hati sehingga membuatnya begitu sedih.
Fathir menjawab dengan sinis, "Aku tahu kamu akan menerimanya.. Kamu akan pergi kemana lagi kalau tanpa aku di sisimu..?"
"Keluargamu sudah kehilangan segalanya. Ayah dan ibumu pergi tanpa meninggalkan sepeserpun untukmu. Kamu bukan lagi Shanum Jingga Maheswari yang dulu. Tidak ada lagi kekayaan orangtuamu yang memberikan segalanya untukmu. Hanya ada aku yang bisa memenuhi semua kebutuhanmu.." Fathir menjelaskan dengan gamblang.
Kenyataan yang membuat Shanum makin merasa sakit. Fathir benar.. Ia hendak pergi kemana lagi di dunia ini kalau tanpa suaminya..?
Meninggalnya ayah dan ibu membuatnya merasakan kepedihan luar biasa, dan waktu itu, hanya Fathir yang membantunya bangkit. Lelaki ini, penyelamatnya..
Tapi, kenapa sekarang bisa berubah menjadi sejahat ini?
Shanum berdiri dari kursinya, ia sangat sedih sekali.. Air mata seakan tak berhenti mengalir..
Apa yang terjadi dengan hidupnya? Kenapa menjadi seperti ini?
Ayah, ibu, aku kangen sekali..
Shanum memutuskan untuk berganti pakaian dan mencuci muka. Tanpa memoleskan make up, ia pergi dari rumah tanpa bicara sepatah katapun pada Fathir. Suaminya itu juga seperti tak ingin tahu.
Ia memesan taksi online untuk pergi mengunjungi makam ayah dan ibunya. Shanum ingin mencurahkan isi hatinya, hanya ayah dan ibunya yang mungkin bisa memahami perasaannya.
***
Keenan Rasyid sedang berada di makam ayahnya, Abdullah Rasyid. Ia berdiri menatap makam dari sosok yang begitu ia idolakan itu. Ayahnya adalah role model dalam hidupnya.
Marsekal TNI Abdullah Rasyid adalah Panglima TNI periode 2007 hingga 2011. Setelah pensiun, sang ayah menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2012 hingga 2017.
Tahun 2018 menjadi akhir dari karir ayahnya karena sang ayah ingin menikmati waktu bersama keluarga. Apalagi saat itu, kakaknya, Mahreen Rasyid, baru saja melahirkan seorang putri yang cantik. Ayah selalu merindukan cucunya itu dan memutuskan untuk fokus pada keluarga.
Sejak itu, Keenan lebih aktif berdiskusi mengenai karir politiknya dengan sang ayah. Hingga membawanya ke titik sekarang ini. Keenan Rasyid menjadi salah satu pengusaha dan politisi termuda yang memiliki karir cemerlang. Bahkan digadang gadang bakal menjadi calon presiden di Pemilu mendatang. Tapi, ia tidak berharap itu terjadi dalam waktu dekat. Semua juga berproses.
"Ayah.. Mulai besok aku mengemban tugas baru.. Presiden memberikanku amanah sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Berkat masukan dan didikan ayah, aku bisa sampai di titik ini.." Keenan menggumam sendiri.
"Aku berharap, bisa kuat menjalani semua ini. Seperti yang ayah bilang, kalau aku harus bisa menghadapi banyak halangan dan rintangan. Dan, aku akan sekuat tenaga berupaya untuk tetap berdiri tegak.." Keenan menarik nafas panjang.
Keenan pun mulai mendoakan ayahnya. Ia memejamkan matanya. Kemudian menyiram makam ayahnya dengan air di botol yang ia bawa dan menaburinya dengan bunga.
Saat hendak beranjak pergi, ia mendengar isak tangis yang membuatnya memalingkan muka. Tangis yang memilukan hatinya.
Kawasan pemakaman ini adalah Taman Makam Bahagia atau TMB yang merupakan taman pemakaman khusus untuk anggota TNI dan keluarganya. Jadi, siapapun yang dimakamkan di sini pasti keluarga besar Tentara Nasional Indonesia.
Keenan mendekati arah isak tangis tersebut. Langkahnya terhenti.. Dari nama yang tercantum di makam, ia langsung tahu siapa perempuan itu. Keenan langsung merasakan jantungnya berdebar sangat kencang..
Apa ia akan kembali bertemu dengan cinta pertamanya?
Nama yang tercantum dalam makam itu adalah Jenderal TNI Ilyas Maheswara dan istrinya Jenar Tsurayya. Keenan tidak akan pernah melupakan nama orangtua dari perempuan yang sangat ia cintai dan membuatnya tidak pernah menikah sampai saat ini.
Ia pun dengan berani memanggilnya secara perlahan, "Jingga.."
Perempuan itu menoleh.. Iya benar, dugaannya tidak salah. Cinta pertamanya ada di hadapannya, Shanum Jingga Maheswari. Nama yang selalu terngiang di benaknya dan tidak pernah bisa ia lupakan..
Dulu, Jenderal TNI Ilyas Maheswara dan ayahnya Marsekal TNI Abdullah Rasyid menjadi saingan untuk mendapatkan tampuk kepemimpinan menjadi seorang Panglima TNI. Jabatan bergengsi dan menjadi bukti keberhasilan karier sebagai seorang tentara.
Ayahnya akan meraih jabatan tertinggi dalam karier tentaranya. Keenan tahu, ia tak boleh mengecewakan ayahnya. Hingga, ia tak bisa membiarkan perasaannya berlanjut, karena ini soal politik. Ayahnya tidak ingin ia dekat dengan anak dari saingannya.
Keenan dan Jingga tetap berteman. Namun, rasa cinta itu hanya bisa ia simpan di hatinya.
"Kee.. Nan.." Jingga menghapus air matanya. Keenan melihat kalau mata Jingga merah dan bengkak.
"Kamu kenapa menangis seperti itu?" Keenan bertanya dengan lembut.
"Aku.. Kangen.. Ayah dan ibu.." Jingga dengan cepat menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya.
Saat itu, Keenan melihat ada cincin di jari manis Jingga. Ia tahu, sejak lima tahun lalu Jingga telah menikah. Itu sebabnya, hidupnya ia fokuskan untuk menjalani karirnya.
Tapi, melihat kembali cinta pertamanya, dengan cincin di jari manisnya. Hatinya kembali tersayat. Sedih sekali rasanya.
Apalagi, Jingga menangis di hadapannya. Perempuan ini masih sama cantiknya seperti dulu. Meski tanpa pulasan make up dan pakaian yang tidak berlebihan.
Oh.. Hatiku! Sampai kapan cinta ini bertahan.. Sakit sekali rasanya.. Keenan tanpa sadar mengusap dadanya.
"Aku juga baru mengunjungi makam ayahku.." Keenan menghampirinya.
"Om Abdullah su-sudah meninggal?" mata Jingga menatapnya dengan lembut.
Oh, mata yang indah sekali..
"Iya, setahun lalu.." Keenan menjawabnya.
"Apa boleh aku mendoakannya?" Jingga bertanya padanya.
"Tentu saja.." Keenan tersenyum. "Tapi sebelumnya, biarkan aku mendoakan om Ilyas dan Tante Jenar."
Jingga hanya mengangguk.
Keenan pun mendekat ke makam keduanya dan berdoa. Ia memejamkan matanya.
Setelah selesai, ia mengajak Jingga ke makam ayahnya.
"Om Abdullah, maafkan saya tidak tahu kalau om sudah tidak ada. Jadi, baru berziarah sekarang.." Jingga bergumam dan menyiramkan air di botol kecil yang ia pegang. Lalu menaburi makam tersebut dengan bunga.
Perempuan cantik itu memejamkan matanya dan berdoa.
Keenan memperhatikannya. Jingga tidak berubah. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah alami.. Pipinya juga memerah, mungkin karena panas matahari.
Tiba tiba, Keenan melihat, air mata kembali menetes di pipi Jingga. Secara reflek, ia mendekat dan menghapusnya, "Jangan menangis Jingga.."
Jingga membuka matanya, lalu sesegrukan dengan keras. "Apa salahku? Apa salahku?"
Perempuan itu meluapkan emosinya. Tiba tiba saja berbicara sambil menangis.
Keenan begitu kaget, hingga ia otomatis memeluknya, "Ka-kamu kenapa?"
Jingga terus menangis di dadanya. Makin lama makin keras. Keenan mengelus punggungnya dan mencoba menenangkannya.
"Apa kamu mau cerita? Apa yang terjadi?" Keenan mencoba bertanya.
"Aku, aku. Hidupku.. Seperti tidak lagi berarti.. Keenan.. Aku sedih sekali.. Aku sendirian di muka bumi ini.." Jingga dengan terbata terus berbicara tidak jelas.
"Ka-kamu tidak sendiri.. Banyak temanmu bukan? Lalu.. Mmm.. Suamimu?" Keenan dengan hati hati berbicara.
Jingga melepaskan diri dari pelukannya. Perempuan cantik itu menunduk dan memainkan bebatuan dengan kakinya.
"Sejak ayah dan ibu tidak ada, semua seperti menjauh.. Kepergian ayah dan ibu yang mendadak, membuatku kehilangan segalanya.." Jingga berbicara dengan pelan.
"Ka-kamu juga menghilang.." Jingga mengangkat kepalanya. Tapi kemudian membalikkan tubuhnya.
"Ma-maafkan aku.. Tapi, sekarang ini, kalau kamu mau, aku tidak akan menghilang dari hadapanmu.." Keenan menarik tangan Jingga agar kembali berbalik menghadap ke arahnya.
"Ah, sudahlah.. Aku dan hidupku, mungkin ini jalannya.." Jingga menarik nafas panjang, dan mencoba menyunggingkan senyum.
Keenan terus memperhatikan kalau kulit wajah Jingga merah terkena sengatan sinar matahari.. Tapi, tetap begitu cantik di matanya.
Ada rasa sayang tak terhingga yang mengisi relung hatinya. Ia ikut merasakan kesedihan yang tak terkira. Hatinya seperti terluka..
Jingga, aku bisa melindungimu, aku bisa menjagamu, aku bisa menemanimu. Andai saja kamu milikku..
Ia pun mendekat dan memeluknya. Bahkan, tanpa berpikir panjang, ia mencium bibir Jingga dengan lembut.