Bab 2. Pranikah Brayen dan Sheline

1005 Kata
Selang 3 hari Sheline dan Brayen dikumpulkan tepat di rumah utama untuk bertemu dengan pengacara. Hanya saja tatapan keduanya tampak amarah dipenuhi kebencian satu sama lain. Tatapan sinis mereka bagaikan dua ekor singa yang sedang memperebutkan wilayah kekuasaannya masing-masing tanpa ada yang boleh melewati batasannya. "Jadi bagaimana, Tuan Brayen? Nona Sheline? Apakah kalian sudah bersedia menikah sesuai dengan isi perjanjian yang tertulis?" tanya sang pengacara menatap mereka secara bergantian sambil tersenyum. Dengan berat hati Sheline menerima pernikahan itu bukan tanpa alasan. Selain dia ingin membalas budi atas semua kebaikan Yetta dan Deon. Gadis itu pun sebenarnya sedang menyusun misi besar yang harus ditaklukkan bersama orang tua Brayen. "Oke, saya setuju dengan pernikahan ini, tapi ingat! Saya terpaksa menerimanya, bukan semata-mata saya mau sama dia!" sindir Brayen. "Iyuuhh ... aku juga ogah kali! Ini semua aku lakuin karena balas budiku pada orang tuamu. Lagian juga lebih baik aku menikah dengan kambing, daripada sama kucing kampung yang doyan ka*win!" Sheline membalas sindiran Brayen jauh lebih pedas "Kau!" Brayen berusaha menahan amarahnya di depan pengacara keluarga. Rasanya dia ingin mencekik leher gadis itu hingga hilang dari muka bumi ini. "Brayen, cukup. Jangan buat Papa dan Mama malu atas sikapmu. Ingat, kamu itu jauh lebih dewasa dari Sheline. Jadi sudah seharusnya kamu mengalah, apalagi kalian akan menikah," ucap Deon. "Mengalah Papa bilang? Cihhh, Jangan harap! Brayen akan membuat pernikahan yang seharusnya bahagia menjadi penuh penderitaan buat dia!" ancam Brayen. Manik mata memerah dipenuhi amarah membuat Sheline tidak gentar atas perkataannya. Tak peduli dengan keadaan sekitar Sheline malah semakin menantang Brayen, sehingga semuanya syok melihat perdebatan panas mereka. "Ohh, ya? Terus aku peduli gitu? Sorry, ye! Kalau kamu bisa membuat pernikahan ini menjadi sebuah penderitaan untukku. Aku juga bisa membuat rumah tangga ini menjadi neraka untukmu. Gimana, impas?" "Kau---" "Hentikan, Brayen, Sheline! Kalian ini apa-apaan sih, apa kalian nggak malu di sini ada pengacara!" bentak Yetta yang tidak enak setelah melihat reaksi wajah syok sang pengacara. "Ti-tidak apa-apa, Nyonya Yetta. Saya paham mereka masih butuh waktu untuk menerima pernikahan yang mendadak ini," jawab sang pengacara tersenyum kecil. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Lantas bagaimana selanjutnya?" tanya Deon berusaha memecahkan suasana yang sedang meradang. "Sebelum pernikahan dilangsungkan mereka harus menandatangani berkas penting ini." Sang pengacara membuka berkas yang sudah dipersiapkan, "Pertanda kalau mereka sudah setuju." "Baiklah, kalian tandatangani berkas sesuai arahan pengacara karena pernikahan akan dilangsungkan bulan depan!" Jantung Sheline langsung berdetak kencang ketika hidupnya sebentar lagi akan berakhir di dalam penjara yang mengatasnamakan pernikahan. "Tunggu! Sebelum pernikahan dilaksanakan aku akan ingin mengajukan syarat pranikah yang harus disepakati kedua pihak!" Lagi-lagi perkataan Brayen semakin membuat jantung Sheline berlari kencang. Tak menyangka calon suaminya bisa mengajukan syarat, sementara dua sudah berusaha menerima keadaan sebagai takdir yang tidak diinginkan. "Apa maksudmu segala mengajukan pranikah, hahh? Kamu kira aku senang menjalani pernikahan konyol ini? Tidak sama sekali! Kalau bukan karena mendiang orang tuaku maka aku tidak akan sudi melakukan hal gila yang sangat memalukan sepanjang hidupku ini!" hardik Sheline. Melihat suasana semakin panas Yetta segera menanyakan kepada sang anak prihal syarat tersebut, "Katakan apa syaratnya kami tidak punya banyak waktu!" Brayen kembali melihat wajah kedua orang tuanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara kasar. "Syarat pertama gadis itu tidak boleh mencampuri segala urusan saya dengan kedua istri saya, begitu juga sebaliknya. Syarat kedu---" Sheline yang tidak ingin kalah dengan Brayen pun langsung mengajukan banding. Dia harus mempertahankan harga dirinya yang tidak boleh terlihat rendah di mata sang pria. Enak saja Brayen bisa mengajukan persyaratan, sementara dia hanya menerimanya begitu. Oh, tentu tidak bisa. Sheline harus satu langkah lebih maju dibandingkan pria menyebalkan itu. "Aku mau punya kamar sendiri dan dia tidak boleh masuk ke dalam kamarku atau kontak fisik denganku tanpa didasari oleh cinta!" Kali ini Brayen setuju tanpa membantahnya. Dia kembali melanjutkan syarat berikutnya bersamaan dengan pengacara yang mencatat semua perjanjian di buku. "Terakhir aku ingin pernikahan ini dirahasiakan dari publik. Aku tidak mau nama baik yang sudah dibangun dari nol tercemar begitu saja hanya karena memiliki tiga istri!" tutur Brayen. "Oke, kalau begitu aku juga punya syarat terakhir yang akan aku katakan setelah kita resmi menikah!" Semuanya langsung refleks menoleh ke arah Sheline. Gadis itu terlihat licik telah mempermainkan rasa penasaran mereka semua. Cuma apa boleh buat. Mereka tidak bisa memaksakan kehendak Sheline untuk mengatakannya sekarang. Yetta dan Deon segera meminta pengacara untuk membuatkan surat perjanjian yang akan mereka tanda tangani tepat di saat janji suci terucap dan tanpa sepengetahuan semua orang. Hanya sang pendeta yang akan menjadi saksi bisu pranikah tersebut. Setelah selesai semuanya Brayen langsung pergi meninggalkan rumah utama dalam keadaan emosi. Dia berjanji untuk tidak akan pernah mencintai Sheline sebagaimana mencintai kedua istrinya. "Jika bukan karena orang tuaku, aku tidak akan pernah sudi melakukan hal konyol ini. Bagiku hanya Erika dan Ketty, istri yang sangat aku cintai. Sementara Sheline? Dia cuma gadis pembawa si*al di dalam hidupku. Aku bersumpah akan menjadikan Sheline sebagai istri pajangan yang tidak pernah aku sentuh!" *** Kini tibalah hari di mana pernikahan Brayen dan Sheline dilangsungkan. Sebuah gedung mewah yang tertutup akan menjadi saksi bisu janji suci mereka berdua. Semua alat komunikasi milik para tamu dipasangkan seperti tempat khusus yang akan dilepas kembali setelah keluar dari gedung acara. Pernikahan ini hany mengundang para tamu kurang lebih sekitar 500 orang saja. Semua nama mereka tertulis jelas di buku undangan, seandainya ada kebocoran berita yang tidak menyenangkan pasti akan mudah menemukan siapa dalangnya. Gedung pernikahan telah desain dengan warna yang mendominasi putih bercampur keemasan, sehingga membuat acara sakral tersebut terlihat lebih elegan dan terkesan mewah. Janji suci Brayen dan Sheline telah di mulai. Semua hadiri berdiri untuk menyaksikan kedua mempelai saling mengucapkan janji sesuai arahan dari sang pendeta. Setelah janji terucap sang pendeta meminta keduanya untuk melakukan tukar cincin dalam keadaan saling menatap sinis. Namun mereka harus tetap tersenyum di depan banyak orang untuk menutup apa yang sebenarnya terjadi. Ketika mereka ingin menyatukan bibir, telinga Sheline mendengar bisikan maut yang sangat menusuk jantung. "Jangan pernah berharap jika pernikahan ini akan mendatangkan kebahagiaan. Ingat batasanmu! Kau hanya akan menjadi istri pajangan, bukan sungguhan!" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN