》satu《

2250 Kata
"Aku akan menjamin keselamatanmu hingga tiba saatnya nanti!" - Virali Reynard 》》⭐《《 Meluruskan kaki lalu merentangkan kedua tangan ke atas hingga menyentuh bagian atap mobil. Desahan nafas panjang lolos dari bibir merahku. Akibat meringkuk di sofa semalaman membuat badanku terasa pegal apalagi ini adalah hari pertamaku kedatangan tamu bulanan. Badan pegal dan perut kram. Lengkap sudah penderitaanku hari ini. Aku terus mengeluh membuat pandangan mata Om Ali tertuju ke arahku. Tak lama kemudian Om Ali membelokkan setir kemudinya dan memarkir mobilnya di depan apotek. "Cepat turun. Belilah obat yang kamu butuhkan!" perintah Om Ali tidak bisa diganggu gugat. Ia lalu menyodorkan selembar uang 100ribu ke arahku. Aku menoleh dan menatap benda berwarna merah itu dengan mata berbinar. Benda itu mampu membuat rasa sakitku sedikit menghilang. "Oke!" sahutku sambil meraih uang itu dan bergegas keluar dari mobil. Masuk ke dalam apotek, membeli apa aja yang sekiranya aku perlukan. Nggak sampai sepuluh menit, aku udah kembali lalu masuk kedalam mobil. Menatap sebentar wajah datar Om Ali sebelum meneguk minuman pereda nyeri yang baru aja aku beli. Om Ali mulai menginjak pedal gas mobilnya dan mobil melaju sedikit kencang. Minuman digenggaman tanganku tandas dalam beberapa detik. "Kok buru-buru sih, Om?" protesku. "Kau membuang waktuku 5 menit!" jawabnya ringan dan tangan kirinya bergerak memindah perseneling mobil. Aku berdecak sebal. 5 menit aja diributin. "Masih untung 5 menit coba kalo 5 jam, 5 bulan atau 5 tahun. Bisa tambah tua tuh muka." Seperti biasanya, Om Ali nggak merespon sama sekali. Sepertinya telinganya udah kebal dengan omelanku. Setelah itu nggak ada lagi obrolan antara aku dan Om Ali. Kejadian seperti ini terjadi setiap harinya. Aku sempet protes kenapa bukan supir aja yang mengantar jemputku ke sekolah karena bersama Om Ali sama halnya diantar supir. Om Ali sama sekali nggak ada niatan mengajakku ngobrol. Dan aku bosan dengan jawaban Om Ali. Om Ali selalu bilang kalau aku akan lebih aman saat bersamanya. "Nanti pulang sekolah tunggu aku. Jangan keluar dari pagar sekolah. Tetap di dalam!" pesan Om Ali saat mobil sudah berhenti di depan gerbang sekolah. Aku mengangguk lantas keluar dari mobil. Berdiri di sisi badan mobil, menunggu Om Ali pergi. Tapi lama menunggu, Om Ali tetap berada di tempatnya. "Kenapa masih berdiri di situ? Cepat masuk!" "Iya, iya!" jawabku kesal. 》》》》》 Saat ini aku udah duduk dikelas 12. UNBK tinggal hitungan bulan dan otomatis jam pelajaran juga bertambah. Kepalaku refleks menunduk saat merasakan ada benda yang nyasar ke pundak. Ada gumpalan kertas kecil jatuh dibawah kakiku. "Sst! Sst!" Aku menoleh kebelakang dan mendapati cengiran di wajah Nicholl. "Apaan?" tanyaku setengah berbisik. "Pulang bareng gue!" "Apa?" seruku karena sama sekali nggak bisa mendengar suara Nick. "Pulang-bareng-gue!" Nick menggerakan jari telunjuk dan jari tengahnya, menjalankan diatas meja lalu meletakkan kedua jari itu ke dadanya. "Bareng lo?" tanyaku memastikan. "Liat ntar!" tambahku lalu kembali menatap kedepan. Memperhatikan seorang guru yang sedang menulis di papan tulis. Senggolan dilengan kananku membuatku menoleh. "Kapan sih lo mau pulang bareng Jejep?" tanya Amanda kepo. Aku berdecak pelan. Harus berapa kali aku jelasin kalau hidupku itu udah kayak di dalam penjara. Aku nggak bisa bebas pergi kemana aku mau. "Gue---" "Dijemput sama Om Ali?" baru aja mau aku jawab tapi Manda udah motong kalimatku. Aku hanya mengangkat kedua pundak. "Elah, Om lo itu katrok banget sih? Nggak pernah muda kali ya? Jaman SMA itu jamannya anak muda pacaran. Kalian udah deket dari kelas 2 dan sampe sekarang belum ada status?" Aku memilih diam sambil menulis apa yang ada di papan tulis. Manda kembali mengoceh ria. "Kalo gue jadi lo nih ya. Udah gue sambar tuh Jejep. Kasihan amat anak orang digantungin, cakep lagi!" Aku mencerna ucapan Manda. Udah nggak kehitung berapa kali Manda ngasih aku wejangan. Hubunganku sama Nick emang sebatas teman. Lebih tepatnya sebastian. "Om gue itu posesif, Man!" "Trus lo bakalan dijadiin perawan tua gitu sama Om katrok lo itu?" sahut Manda kesal. "Untung Jejep suka sama lo, coba kalo suka sama gue, status jomblonya udah lewat dari tahun kemaren!" "Ya lo ambil aja sana!" jawabku keki. Kesel juga sama Manda. Sebenarnya dia dukung aku jadian sama Nick apa mau nikung aku sih? "Yee...selow kali, Li. Lagian gue juga nggak level sama Jejep. Type gue itu tuh yang berkelas. Yang umurnya jauh diatas gue. Punya mobil mewah, punya Perusahaan sendiri dan pastinya belum beristri!" "Ya udah jadi istri Om gue aja!" "Sedeng nih anak!" semprot Manda sambil noyor kepalaku. "Ya kali gue sama Om-Om?" "Lah katanya tadi mau yang umurnya jauh diatas lo. Kaya dan punya perusahaan sendiri. Tuh Om gue punya segalanya. Mau nggak?" Manda malah melengos kesal. Ia terlihat menghentakkan kakinya ke lantai. Apa yang salah sama omonganku? Aku berusaha jadi sahabat yang baik. Daripada Manda kecantol Om mata keranjang kan mendingan sama Om Ali. Jomblo dan sukses sudah pasti. 》》》》》 Jam 2 aku udah keluar kelas. Hari ini hujan turun dan aku memilih menunggu di koridor kelas. Nggak mungkin juga aku nunggu di depan sambil hujan-hujanan. Dan dengan sangat terpaksa aku menolak tawaran Nick untuk pulang bareng. Karena seperti biasanya, Om Ali akan menjemputku. Aku mendengus kesal karena siang ini Om Ali telat hampir setengah jam. Tau gitu tadi aku bareng Nick aja. Tiba-tiba Hp di dalam saku bajuku berdering dan nama Om Ali ada dilayar persegi panjang itu "Kamu masih di sana---?" "Nggak, Om!" selaku cepat. "Apa maksudmu? Di mana kamu?" suara Om Ali sedikit meninggi. Mungkin ia panik. "Aku di planet Mars sekarang!" Jawabanku membuat Om Ali mendengus. "Itu jauh lebih aman daripada di bumi!" "Om Aliiiii!!" "10 menit lagi aku sampai!" jelas Om Ali tanpa mempedulikan rengekanku. Tanpa menunggu jawabanku, Om Ali langsung menutup sambungan telponnya. 》》》》》 Hujan mulai mereda dan ku putuskan untuk berjalan ke depan. Lebih baik aku menunggu Om Ali di depan pintu gerbang. Aku hanya terdiam menatap mobil yang berhenti di depanku. Menyilangkan kedua tangan di depan d**a lalu membuang pandangan jauh ke depan. Mengabaikan keberadaan Om Ali yang ada di dalam mobil. Dinn! Dinn! Bunyi klakson mobil Om Ali nggak membuatku tertarik dan menoleh. Melihat aku terdiam, akhirnya Om Ali keluar dan menghampiriku yang memasang wajah cemberut. "Kau ini kenapa? Kau tidak lihat aku menunggumu dari tadi? Cepat masuk!" Om Ali melangkah pergi ninggalin aku yang masih terdiam di tempat. Tapi baru beberapa meter langkah Om Ali berhenti. Ia menoleh ke arahku. Om Ali berdecak sebal. Ia kembali menghampiriku dan menarik tanganku, membawa masuk ke dalam mobil. Saat Om Ali sudah duduk di belakang kemudianya, ia nggak langsung menjalankan mobilnya. Om Ali sedikit memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Tatapan matanya sedikit melunak. "Jelaskan, kau kenapa!" nada Om Ali sedikit melemah. Ia tau kalo aku nggak bisa diajak bicara dengan nada tinggi. Aku memutar kepala sedikit, menatap kedua bola mata Om Ali. "Lain kali kalo nggak bisa jemput bilang. Aku nunggu satu jam disini. Kan ada Adam di rumah, kenapa nggak nyuruh Adam aja?" Keluar sudah uneg-unegku. Om Ali menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya. "Kamu lebih aman bersamaku!" "Ck. Aku bosan kenapa selalu itu-itu aja alasan Om Ali. Memangnya aku kenapa? Aku mau mati? Ada yang mau membunuhku? Atau ada yang mau merkosa aku?" Om Ali kembali menoleh ke arahku dengan pandangan matanya yang tajam. "Kalau aku jujur apa kamu akan menuruti semua perintahku?" Aku berdecak pelan. Aku lelah kalo terus-terusan debat sama Om Ali. Laki-laki disebelahku ini nggak akan bisa di ajak kompromi. "Cepet pulang. Aku capek!" putusku pada akhirnya. "Ikut ke kantor sebentar. Aku masih ada pekerjaan yang belum selesai!" Om Ali mulai menjalankan mobilnya. Aku hampir aja mau protes tapi Om Ali kembali memberi pernyataan. "Sudah jangan banyak protes. Turuti saja apa kataku maka hidupmu akan aman!" Lagi dan lagi kata aman selalu menjadi andalan Om Ali. Aku jadi penasaran, kalo suatu saat nanti aku kabur dari rumah apa Om Ali bakalan nyariin aku? Mengingat selama ini Om Ali selalu ngelarang aku buat kemana-mana. 》》》》》 Aku cuman membolak-balikkan sebuah majalah remaja yang sedari tadi kupegang. Aku udah nunggu hampir 2 jam lamanya. Udah pukul 5 sore tapi Om Ali belum selesai juga. "Aku bingung. Om Ali adalah pemilik Perusahaan ini tapi loyalitas dia sangat tinggi. Yang aku tau pemilik Perusahaan jam kerjanya nggak kayak Om Ali. Udah jam segini tapi masih berkutat di depan benda kotak itu!" gerutuku sambil sesekali melirik ke arah Om Ali yang tampak serius dengan laptopnya. Walaupun kelihatannya serius tapi pendengaran Om Ali cukup tajam untuk mendengar rentetan keluhanku. "Jangan urusi urusanku. Fokus saja dengan majalah di tanganmu!" sahut Om Ali dengan pandangan mata tak lepas dari layar laptop. Aku mencembik. Om Ali selalu dingin dan cuek. Aku berpikir apa Om Ali bener-bener manusia? Apa dia punya hati? Ngomong-ngomog soal hati apa Om Ali punya pacar? Aku terkikik sendiri ngebayangin tentang Om Ali. Apa kelak istrinya akan betah dengan sikap dingin Om Ali? "Kamu pasti memikirkan hal negatif tentangku!" Wajahku seketika berubah masam. "Sebenarnya....aku lagi ngebayangin sesuatu!" perkataanku membuat mata Om Ali melirik sekilas ke arahku. "Apa Om Ali udah punya pacar?" Dan jemari Om Ali yang menari di atas keyboard laptop terhenti seketika. Kedua bola matanya lurus menatap kearahku. Aku yang mendapatkan tatapan tajam dari Om Ali hanya bisa tersenyum tipis. Kali ini aku bisa mencuri perhatian Om Ali. Om Ali berdiri dari kursinya, berjalan menghampiriku lalu duduk di sebelahku. Aku mencoba tenang. Aku udah terbiasa dengan sikap dan perilaku Om Ali. Mata Om Ali masih menatap lekat wajahku dan aku bisa melihat jakun Om Ali naik turun. Apa yang sedang dipikirin sama Om Ali? "Pacar?" tanya Om Ali mengikuti kata-kataku sebelumnya. Aku mengangguk pelan dan aku tau Om Ali semakin menatap lekat wajahku. Dari situ barulah aku sadar Om Ali sedikit aneh. "Om A-Ali?!" panggilku dengan terbata. "Kenapa aku harus mencari sementara ada kamu di sini?" Mataku dan Om Ali saling berpandangan. Entah kenapa degup jantungku tiba-tiba berdetak sangat cepat. Jarak sedekat ini aku bisa menikmati pahatan wajah Om Ali yang sangat sempurna. Hidung runcing, mata tajam, alis hitam tebal dan bibir yang.... Ah...aku baru sadar ternyata Om Ali masuk dalam deretan cowok cakep dalam daftarku. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Gimana aku bisa punya pikiran kayak gitu sama Om Ali? Bibir merah Om Ali melengkung ke atas mencetak sebuah senyuman, sangat tipis. Dan aku bingung mengartikan senyuman itu. Senyuman atau seringaian? "Hari ini sudah dua kali kamu berpikir negatif tentangku. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" "Apa?" cicitku. Mataku mengerjap beberapa kali. Nafasku juga bertambah cepat. Bola mata Om Ali seolah menghipnotisku, membuat aku diam seperti patung. Aku bahkan nggak bisa menggerakkan anggota tubuh lainnya saat Om Ali sedikit demi sedikit mendekatkan wajahnya. Kedua mataku refleks terpejam saat hembusan nafas Om Ali menerpa wajahku. Aku yakin 100% kalo Om Ali bakalan nyium aku. Tapi perkiraanku salah. Suara Om Ali begitu terdengar merdu saat ia berbisik di telinga kiriku. "Kau masih kecil, belum begitu mengerti soal hati!" setelah mengatakan hal itu Om Ali menarik wajahnya. Spontan kedua mataku terbuka lebar. Aku nggak terima kalo Om Ali ngatain aku anak kecil. Gimanapun juga saat ini umurku udah 17 tahun dan udah kelas 3 SMA. Entah keberanian dari mana kedua tangan mungilku tiba-tiba mencengkram kerah kemeja Om Ali, mendorong dadanya pelan hingga punggungnya membentur sandaran sofa. Kini aku yang mendominasi. "Om bilang aku masih kecil. Salah Om Virali Reynard. Aku bisa buktiin kalo aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa bikin semua orang dikantor ini suka sama aku!" ucapku tepat di depan wajah Om Ali. Om Ali tersenyum lagi, sama tipisnya dengan yang tadi. Ia ngebiarin aku tetap pada semula. "Buktikan!!" satu kata jawaban dari mulut Om Ali membuat aku membulatkan tekat. Aku bener-bener nggak mau di pandang remeh oleh Om Ali. Berpikir sebentar lalu melepaskan cengkraman tanganku dan beranjak dari sofa. Berdiri di depan Om Ali yang masih duduk bersandar di sofa. "Oke. Mari kita lihat!" tanganku perlahan melepas satu persatu kancing kemeja seragam sekolah yang aku pakai. Melepas baju putih itu dan membuangnya asal. Lengan putih mulusku langsung terlihat jelas. Aku cuman memakai tanktop hitam. Menampilkan lekuk tubuhku yang kata temen-temen sekolah kayak gitar spanyol. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Om Ali panik. Aku mengangkat kedua pundak acuh. "Bukannya Om Ali mau bukti? Kita lihat. Saat aku keluar dari ruangan ini, berapa pasang mata yang bakalan liatin aku. Apa mereka bakalan tetap fokus sama komputernya atau----!" Aku sengaja nggak nerusin ucapanku. Sebuah senyum culas tersembul dari bibir tipisku lalu memutar badan dan berjalan menuju pintu. Berhenti di sana. Sebelum membukanya, aku sempat menoleh ke arah Om Ali sebentar. Tangan kananku udah memegang knop pintu dan dengan sekali tarikan aja pintu besar itu terbuka lebar. Om Ali sempat terkejut dengan apa yang aku lakuin. Aku melangkah keluar dari ruangan Om Ali dan benar saja, dugaanku tepat. Semua pasang mata langsung teralihkan dan menatap ke tubuh molekku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Saat aku hendak melangkahkan kaki lebih jauh lagi tiba-tiba seseorang menarik tubuhku dan membawa masuk ke dalam ruangan. Tubuhku yang tadinya cuman pakai tanktop sekarang udah terbungkus oleh jas hitam milik Om Ali. "Aaaw!!!" pekikku saat punggungku membentur daun pintu ruangan Om Ali. "Tak ada satupun yang boleh melihatmu dengan pakaian seperti itu kecuali aku. Kamu mengerti??" Aku nggak bisa menjawab tapi aku cukup terkejut dengan pernyataan yang Om Ali lontarkan. Apa maksudnya? Aku bener-bener nggak ngerti. Sepertinya Om Ali menyadari ada yang salah dengan ucapannya, Om Ali langsung melepaskan cengkraman tangannya di kedua pundakku. Ia melenggang pergi menuju meja kerjanya dan kembali berjalan menghampiriku. "Sudah hampir malam. Ayo pulang!" Aku nggak menyahut tapi mengikuti langkah kaki Om Ali. Kedua tanganku mencengkram jas hitam milik Om Ali. Mataku menatap lurus punggung Om Ali yang hanya di balut kemeja putih. Perkataan Om Ali terus berputar-putar di otakku. Tak ada satupun yang boleh melihatmu dengan pakaian seperti itu kecuali aku. Kamu mengerti! 》》》》》 Surabaya 24 Agustus 2018 17.30 》AyaStoria《
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN