Bagian 4. Talak

1579 Kata
Aku segera keluar kamar, menemui mereka yang tiba-tiba menjadi hening sejak menyadari kedatanganku tadi. "Kita bicara di sini?" tanyaku sambil berdiri tegak. Mengukir raut tenang, tetapi tegas, kuarahkan pandang pada mata mereka. Biasanya aku selalu berlaku lembut, santun, dan merendah di hadapan Mas Harsa, apalagi pada Ibu dan Bapak. Tidak pernah kutegakkan diri dan berkesan tegas. Namun, saat ini situasi dan kondisi berbeda. Aku harus bisa menempatkan sikap. Jika pada situasi saat ini aku masih terus merendah, maka akan terkesan lemah. Mereka akan leluasa mengintimidasi. Semuanya bergeming. Termasuk Ibu. Padahal selama ini beliau selalu cepat menyambut bicaraku dengan kalimat ketus atau pedas. Begitu pula Mas Harsa yang seperti tercenung menatapku. Seolah aku mahkluk asing yang baru mereka temui. "Apa kita tidak jadi bicara?" tanyaku lembut dan tenang. Namun, meninggalkan sedikit kesan mengancam. Karena jika mereka hanya diam dan musyawarah dibatalkan, mereka yang rugi. Aku tidak masalah. Bukankah mereka yang mempunyai kepentingan dalam pembicaraan ini? "Jika tidak jadi, aku mau tidur," lanjutku. Kuuntai senyum tipis di bibir. "Dek ...." panggil Mas Harsa seperti baru tersadar. "Ya?" sahutku cepat. "Duduklah," ucapnya. "Oke," sambutku santai lalu melangkah gontai mendekat pada mereka. Ninik yang sebelumnya duduk di samping Mas Harsa beringsut hendak menjauh, memberi tempat padaku. Hmm, tahu diri juga dia. Akan tetapi, aku sudah enggan untuk duduk dekat-dekat dengan Mas Harsa. "Gak apa-apa, Mbak. Di situ saja. Saya duduk di sini," tahanku. Mereka bertiga, Ninik, Mas Harsa dan Ibu duduk berjejer pada sofa panjang. Santi dan Bapak masing-masing duduk pada sofa tunggal di sisi kiri dan kanan. Aku menarik sofa tunggal yang lain dan membawanya berhadapan dengan Mas Harsa. "Apa yang ingin Mas bicarakan?" tanyaku tenang. Meskipun hanya tenang di luar. Hati sebenarnya sudah berkecamuk. Beragam rasa bercampur aduk. Kecewa, geram, amarah, berbaur tanpa batas menyebabkan hati menjadi panas. Mas Harsa berdeham. Ia tampak kikuk dan beberapa kali terlihat mengatur posisi duduk serta menegakkan bahu. Ia pun tampak beberapa kali menghela napas, seperti sungkan untuk memulai kata. Aku yang menunggu mulai kesal. Rasanya ingin bersorak senandung pramuka yang dulu selalu kami gemakan apabila ada teman yang merespon lambat. Rasanya lama betul ... Rasanya lama betul. Tidak sabar untuk menunggu kalimat pertama yang akan dia sampaikan. Meskipun aku sudah bisa menebak bagaimana bunyi kalimat itu. "Dek." Suaranya mulai terdengar, "Mas ... akan menikahi Ninik," ucapnya. Persis seperti yang kutebak. Walaupun sudah kuduga, tetapi tetap saja rasanya sakit mengiris-iris sukma. Wanita mana yang tidak akan sakit ketika suami berkata akan menikah lagi? Sekuat apapun wanita itu, seikhlas apapun dia dengan poligami, aku yakin di satu sudut terdalam sanubarinya, tersimpan rasa cemburu yang menyebabkan sakit. "Terus?" sambutku dibuat-buat tenang. Aku memindai netranya, menunggu kalimat selanjutnya. "Mas harap kamu mengijinkan," jawabnya. Aku menghela napas panjang beberapa jenak. "Apa masih perlu ijinku?" tanyaku. Kali ini sinis. Ketika dia mengajak perempuan itu ke rumah ini, adakah meminta ijin? Ketika mereka bermesraan di ruang terbuka di depan kamarku, sudahkah meminta ijin? Ketika sekeluarga mereka membicarakan rencana menikah, apakah meminta ijinku? Seharusnya jika memang menghargaiku, dia bicarakan dulu denganku, meminta ijin dulu baru kemudian berencana tentang sebuah pernikahan dan mengajak perempuan itu kemari. "Lha, iyo. Kenapa harus minta ijin segala? Kamu itu laki-laki, berhak memutuskan segalanya sendiri," celetuk Ibu. Aku mendengkus. Ibu ... Kalimatmu membuat sesuatu yang panas semakin membara saja. Kuhela napas panjang untuk menyejukkan diri. Menurutkan hati, ingin rasanya berkata kasar menanggapi kalimat Ibu. Akan tetapi, semenyakitkan apapun ucapannya, beliau adalah orang tua yang tidak patut dikasari. "Ibu ...," ucapku berusaha kalem, "Mas Harsa memang kudu minta ijin dan membicarakan setiap masalah dengan saya sebagai istrinya. Tidak boleh memutuskan sendiri. Terlebih untuk keinginan menikah lagi. Mas Harsa harus minta ijin, tapi itu sebelum Mbak Ninik datang ke rumah ini." Wanita itu melengos. "Jika Ibu berpendapat seorang suami tidak perlu meminta ijin kepada istri untuk menikah, hati-hati, lho, besok tiba-tiba Ibu ada temannya." Kualihkan netra pada Bapak sambil tersenyum jahil. Laki-laki lebih dari paruh abad itu terperangah salah tingkah. "Ngomong opo, tho?" ucapnya cengengesan. Sementara ketika kulirik Ibu, wajahnya tampak merah padam. "Jadi, apakah masih perlu ijinku, Mas?" Kualihkan fokusku kembali pada Mas Harsa. Laki-laki itu terdiam. Tampak beberapa kali menelan saliva. Mungkin tenggorokannya tiba-tiba tercekat. "Bagaimana jika tidak kuijinkan?" tanyaku menginterogasi. "Mas akan tetap menikahi Ninik, dengan atau tanpa ijin kamu," tegasnya. Aku terdiam. Menahan perih yang menghunjam. Kutenangkan hati kembali dengan beberapa kali menghela napas panjang lagi. "Apa Mas lupa bahwa perusahaan tempat Mas bekerja melarang poligami?" "Kamu mengancam mas?" tanyanya dengan intonasi agak tinggi, "Kamu tidak akan melaporkan mas 'kan?" "Kenapa tidak? Aku punya chanel di sana," jawabku kalem menantang. "Dek ...!" serunya. Ia tampak cemas. "Tapi tenang saja, aku memang tidak pernah berniat melaporkan Mas," sahutku sambil tersenyum, menikmati raut kecemasan yang ia pertontonkan. "Karena poligami itu tidak akan pernah terjadi," lanjutku dingin. Kukunci tajam netranya. Dia terperangah. Menatap kaget. Begitu pula ekspresi Ibu dan Ninik. Sedangkan Bapak dan Santi terkesan netral, tidak berpendirian memihak siapa. Kiri kanan oke. "Aku tidak pernah mau diduakan. Tidak akan pernah ...." Aku mengerling perempuan yang duduk di sampingnya, "Aku tidak yakin Mas mampu berlaku adil. Baik secara lahir maupun batin," tegasku. Laki-laki itu membalas tatapku tajam, "Kamu sadar konsekuensi yang akan kamu terima dari apa yang kamu katakan itu, Dek?" tanyanya. "Sangat sadar," sahutku. "Mas akan menceraikanmu," lanjutnya. Aku terdiam, sudah menduga dia lebih memilih perempuan itu. "Jika Mas lebih memilih dia, mungkin lebih baik dari pada di penghujung hari hubungan kita bagai duri dalam daging," jawabku. "Bagaimana dengan Emyr?" tanyanya. "Memangnya kenapa dengan Emyr?" tanggapku cepat. "Kamu tidak memikirkan dia jika kita berpisah?" "Apa Mas yakin akan memikirkan dia meskipun kita tetap bersama?" sinisku. "Dek!" "Ya." Aku membalas santai sorot tajam netra Mas Harsa. Frekuensi napas laki-laki itu terlihat sedikit cepat. "Mas ...." Ninik bersuara sambil memegang tangan Mas Harsa. Geram aku melihatnya. Laki-laki itu menoleh, menatap sendu. "Bukankah memang lebih baik begitu?" tanyanya pelan. Aku mendengkus. Tersenyum miris. Terkuak bahwa dia memang menginginkan kami berpisah. Jika aku memilih bertahan, pasti dia akan melakukan banyak cara untuk menjadikan Mas Harsa miliknya utuh. "Iya, Harsa. Lebih baik pisah saja sekalian. Bukan salah kamu, dia yang minta," sambung Ibu. "Tapi, Bu ...." "Tidak ada tapi-tapi. Kalau dia tidak mengijinkanmu menikah lagi, lebih baik ceraikan saja. Seharusnya memang kalian tidak pernah menikah." Kunikmati saja setiap kata-kata Ibu yang mencipta perih. Toh, mungkin ini untuk yang terakhir. Kubiarkan juga mereka saling berdebat. Biar aku jadi penonton dulu sambil menenangkan emosi. "Mas bilang tidak pernah mencintainya, jadi mengapa berat untuk menalaknya?" tanya perempuan itu. Aku terkekeh. Hanya Allah, dia, dan aku yang tahu mengapa laki-laki itu berat menalakku. Tentu saja aku tidak percaya bahwa cinta turut bicara. "Dek, kita tidak perlu berpisah. Mas akan berusaha adil." Laki-laki itu mengabaikan ucapan dua wanita yang mengapitnya. Adil? Bahkan kepada perempuan itu dia mengatakan tidak pernah mencintaiku, bagaimana bisa berbuat adil? Dan aku tahu dia seutuhnya. Sangat berat percaya bahwa dia mampu berbuat adil. "Meskipun Mas bisa berlaku adil, aku tidak mau. Hatiku tidak sesempurna para istri Nabi yang ikhlas diduakan. Lagi pula aku benar-benar tidak yakin," sanggahku cepat. Tidak ingin memberi celah untuknya beralasan. "Mas, aku minta kamu segera menceraikannya jika kamu memang mencintaiku. Jika tidak, aku tidak bisa memercayaimu lagi." Perempuan itu mulai unjuk gigi. "Aku akan mendampingimu lebih baik dari dia, selalu setia bersamamu," lanjutnya. Aku tertawa sinis. Bucin. Kita buktikan saja 'a few minute later'. "Kamu janji?" Laki-laki itu menggenggam tangan Ninik sambil menatap sendu. Berdesir perih hatiku melihatnya. "Iya," jawab perempuan itu sambil tersenyum dan mengangguk. Aku melengos. "Iya, Harsa. Cepat talak saja, paling nanti juga dia menyesal. Tidak usah diberi gono gini," ucap Ibu sinis. "Baiklah ...." Terdengar suara Mas Harsa. Hatiku bergetar ketika laki-laki itu kembali berdeham dan menegakkan punggungnya. Bersiap untuk memulai untaian aksara yang akan menjadi awal cerita baru dalam hidupku. "Safira Khairunnisa binti Yusuf Sofyan, saya talak engkau dengan talak satu. Mulai saat ini saya bebaskan engkau dan lepas tanggung jawab saya terhadapmu," ucapnya lantang. Aku terpejam. Merasakan perih yang semakin menelusup. Mataku menghangat, kubiarkan saja satu dua tetesnya mengalir. Ikatan yang selama tiga tahun ini coba kusimpul erat, akhirnya terurai. "Terima kasih," ucapku dengan bibir bergetar. Kupindai wajah yang telah menjadi asing untukku itu. Ia menunduk. "Mas." Kujeda kataku karena masih terdengar bergetar. Kuatur lagi frekuensi napasku. "Aku sudah mencari tahu tentang prosedur cerai," tuturku, "Setiap istri yang ditalak, mempunyai masa tunggu tertentu dan sejauh yang kutahu harus dilalui dirumah suami." Kujeda lagi kalimatku untuk menenangkan diri, agar setiap kata yang keluar tidak terkesan bergetar. Aku tidak boleh terlihat goyah. "Karena itu, mau tidak mau aku akan tetap di rumah ini selama tiga bulan ke depan. Aku akan menempati kamar Emyr," ucapku. Jujur saja, aku sudah muak tinggal di rumah ini. Akan tetapi, menjalankan perintah Allah itu mutlak. "Meskipun aku masih di rumah ini, aku tidak bisa lagi mengurusmu. Jadi segeralah menikah dengan Mbak Ninik. Tidak perlu lagi memikirkanku. Seiring talak itu, sudah kubebaskan Mas berbuat apa yang Mas mau." Kupandang Mas Harsa yang masih menunduk beberapa jenak, kemudian beralih menatap Ibu. "Bu, saya tidak meminta gono gini. Sepeser pun tidak. Saat saya turun dari rumah ini, saya akan pergi seperti saat saya masuk," ucapku tenang. Ketika aku masih menjadi istri Mas Harsa saja, Ibu selalu menyebut harta yang kunikmati. Bagaimana jika aku menuntut gono gini, bisa-bisa hidupku tidak akan tenang karena terus diteror ketidak-ikhlasan mereka. "Semua surat dan catatan aset ada di dalam amplop ini, mulai saat ini saya serahkan kepada Mas Harsa untuk kelak dikelola istri barunya." Kuletakkan amplop itu di atas meja, di depan Mas Harsa. Laki-laki itu bergeming, kian menunduk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN