Part 3

942 Kata
Miranti hampir tertawa mendengar pertanyaannya sendiri—betapa konyolnya bertanya sekarang, padahal ia sudah sekarat. Ia tak punya tenaga untuk berpura -pura lagi. Tapi Silvia rupanya mengira Miranti hanya cemburu. Silvia adalah putri angkat nenek Evan, dan selama bertahun-tahun, wanita tua itu memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Silvia sendiri akhirnya percaya bahwa ia adalah anggota keluarga itu yang sebenarnya layaknya keluarga kandung. Senyum Silvia memudar. Ia menatap Evan, suaranya lembut namun menuduh. "Evan, apa kamu tidak memberi tahu Miranti bahwa Aku tantemu." Miranti tertegun. Jadi Evan yang selalu anggun dan santun ternyata sedikit lebih rumit dari yang ia kira. Dan rupanya, Silvia juga bisa mengerti bahasa isyarat. Evan menjawab Silvia dengan nada malas, "Apa penting aku memberi tahunya atau tidak? Jangan khawatir. Kau bisa menginap di sini malam ini." Jantung Miranti berdebar kencang. Setelah itu, Evan meminta Bik Minah untuk menyiapkan kamar tamu. Suasana di ruang tamu berubah kaku dan canggung. Silvia memarahi Evan pelan. "Evan, Miranti istrimu. Bagaimana bisa kau bicara seperti itu padanya?" Ketegangan di raut wajah Evan langsung mereda. Ia benar-benar mendengarkan Silvia. Humam pun mengerutkan kening. "Ma, Tante Silvi itu bibi Ayah, jadi aku seharusnya memanggilnya ‘Oma Silvi’, tapi dia masih sangat muda, rasanya aneh. Makanya aku memanggilnya 'Tante Silvi' aja. Dia sedang berkunjung ke sini dan Mama tidak repot-repot menyiapkan kamar untuknya? Sesulit itukah?" Miranti merasa hatinya hancur. Ini adalah anak laki-laki yang dikandungnya selama sembilan bulan dan dibesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sejak pulang sore itu, ia terus memikirkan apa yang akan terjadi pada Humam setelah kepergiannya. Ia telah merencanakan masa depan Humam, berusaha memastikan Humam aman dan dicintai. Namun, baru satu kali bertemu, Humam sudah memihak Silvia daripada dirinya. Dia menyadari bahwa dirinya tidak lagi dibutuhkan—tidak oleh putranya, tidak pula oleh suaminya. Silvia menyadari ketegangan itu dan segera menyerahkan Humam kepada Evan, suaranya sangat lembut. "Evan, aku akan menginap di hotel saja malam ini. Aku akan mampir menemui Humam besok." Ia menarik kopernya dan pergi tanpa menoleh ke belakang. Humam langsung menangis tersedu-sedu. "Tante Silvi, jangan pergi!" Evan melirik Miranti, matanya yang gelap tak terbaca. "Miranti, apa kepalamu terbentur hari ini? Kenapa masalah kecil ini di perbesar?" Tanpa sepatah kata pun, ia mendorong Humam ke pelukan Miranti. Miranti secara refleks menangkap putranya. Evan mengikuti Silvia keluar. Selama tujuh tahun menikah dengannya, Miranti belum pernah melihat Evan tampak begitu mengkhawatirkan siapa pun. Ia masih linglung ketika Humam mulai menggeliat. "Turunkan aku! Turunkan aku!" Miranti menurunkan Humam, tetapi Humam mendorongnya menjauh. "Mama Jahat! Kau membuat Tante Silvi pergi!" Setelah itu, ia berlari ke kamarnya, membanting pintu di belakangnya. Miranti merasa hatinya seperti tercabik-cabik. Bik Minah melihat kejadian itu dan ingin menghibur Miranti, tetapi akhirnya, ia tak bisa berkata apa-apa. Tanpa ekspresi, Miranti berjalan ke kamar tidur utama. Tak ada kesempatan untuk menjelaskan, begitukan? Selalu begitu. Mungkin ini takdir. Jika memang begitu, ia akan pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Ia mengambil obat yang diresepkan dokter hari itu dan menyelipkannya ke dalam tas. Saat membukanya, matanya tertuju pada sebuah kartu bank yang terselip di salah satu sakunya. Setelah menikah dengan Evan, setiap kali mereka kedatangan tamu atau menghadiri acara publik, Evan selalu menyuruhnya untuk tidak ikut hadir dan mentransfer uang dua puluh juta ke rekeningnya agar ia bisa berbelanja. Selama bertahun-tahun, kartu itu telah mengumpulkan hampir enam ratus juta. Sebagian besarnya kini telah ludes. Ia tak pernah mengerti mengapa Evan, yang bersikeras menikahinya, tampak begitu malu dengan kecacatannya—karena ia tak bisa bicara. Ia sudah ingin bertanya berkali-kali, tetapi tak pernah berani. Ia terlalu mencintai Evan—dan Humam bahkan lebih dari itu. Selama tujuh tahun, ia mengabdikan dirinya untuk merawat Humam dan menjaga rumah mereka tetap rapi, jarang memikirkan dirinya sendiri. Kini, ia menderita kanker. Tinggal enam bulan lagi, paling lama setahun. Semua pengorbanannya sekarang sia-sia belaka. Tiba-tiba, teleponnya berdering yang mengagetkannya. Ternyata itu dari kakek Evan, Rudi Salim. Miranti tak bisa bicara, dan Rudi jarang menghubunginya secara langsung. Selama ini sejak ia menikah dengan keluarga Salim, Rudi bersikap lebih sopan daripada kebanyakan orang, tetapi tetap menjaga jarak. Miranti menjawab panggilan itu. "Di mana Evan?" Ia berhenti sejenak, menyadari Miranti tidak bisa menjawab. "Kalau dia bersamamu, ketuk saja teleponnya sekali." Miranti tidak bergerak. Setelah beberapa saat, suara Rudi berubah serius. "Kau sudah menikah dengan Evan selama tujuh tahun dan memberinya seorang putra, tapi kau masih belum bisa membuatnya mencintaimu?" Tangan Miranti membeku. Semua orang tahu gelarnya sebagai istri Evan Salim tak lebih dari cangkang kosong. Diam, ia mendengarkan, tak mampu menjawab. "Kau mungkin tak bisa bicara, tapi kau berhasil membuat Evan menikah denganmu dan melahirkan anaknya. Itu berarti..." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Tetap saja, jika hati Evan berubah, dengan situasimu, kau akan kehilangan Humam. Aku tidak keberatan mencarikan Humam ibu tiri yang benar-benar bisa bicara, tetapi tidak ada ibu tiri yang bisa menggantikan ibu kandung. Pikirkan itu." Setelah itu, Rudi menutup telepon. Kesopanan apa pun yang pernah ditunjukkan Rudi padanya hanyalah karena ia pikir ia bisa menjaga Evan di sisinya. Maksudnya jelas. jika ia kehilangan Evan, Rudi akan langsung mengganti dengan wanita lain. Dalam keluarga seperti keluarga Salim yang terpelajar dan ketat, tidak ada ruang untuk skandal. Sungguh patut dikasihani! Hanya Miranti satu-satunya orang yang tidak menyadari betapa dekatnya Evan dan Silvia sebenarnya. Setelah semuanya begitu jelas sekarang, Evan mungkin tidak akan pernah jatuh cinta padanya. Sekalipun Miranti tidak meminta cerai, Evan akan segera mengungkitnya cepat atau lambat. Jadi, sudah waktunya untuk pergi. Untuk mengembalikan tempat yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Miranti menyampirkan tasnya di bahu dan meraih amplop tebal berisi laporan medis. Dengan tatapan kosong, ia melangkah keluar dari kamar tidur. Ia tidak menyadari bahwa, saat ia pergi, diagnosis kankernya itu meluncur pelan ke lantai, hinggap di samping tempat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN