Evan mengangkat sebelah alis, menatap pisau cukur di tangannya dengan kesal.
"Terserah. Biar aku saja."
Setelah Humam bangun, ayah dan anak itu duduk bersama untuk sarapan. Humam baru saja mencicipi Nasi goreng ayam suirnya sebelum ia meringis dan berseru,
“Mama, sepertinya terlalu asin."
Tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi, sedikit lebih keras.
"Ma?"
Evan menjawab dengan tenang,
"Mamamu tidak ada di rumah."
Humam langsung mengetuk jam tangannya, mencoba menghubungi Miranti, tetapi telepon Miranti mati.
Dengan suara pelan, Humam berkata,
"Ayah, apa Mama marah dan kabur?"
"Tidak."
Dengan ia dan putra mereka di rumah, Evan yakin Miranti tidak akan pergi begitu saja.
"Bagus. Tapi aku masih merasa sarapan Mama lebih enak."
Keduanya tidak menikmati sarapan pagi itu, rasanya tidak sebanding dengan yang biasa mereka makan.
"Ayah, tadi malam Mama membuat Tante Silvi marah sekali sampai pergi. Apa Mama juga marah padaku hari ini? Dan apa tante Silvi akan datang hari ini?"
"Pergelangan kakinya terkilir dan sekarang di rumah sakit. Dia mungkin tidak bisa datang hari ini."
Wajah Humam menegang karena khawatir.
"Oh, Tante Silvi kakinya terluka? Pasti sakit sekali. Ayah, bisakah Ayah menelepon sekolah untuk meliburkanku? Aku ingin menjenguk Tante Silvi."
Nada bicara Evan tegas. "Tidak. Sekolah dulu."
Humam menundukkan kepalanya, tidak berani mendesak lebih jauh, dan bergumam,
"Kalau begitu, bolehkah aku menjenguk Tante Silvi sepulang sekolah?"
"Baiklah."
Humam turun dari kursinya, berlari menghampiri dan memeluk Evan, sambil berjinjit untuk mencium pipi ayahnya.
"Ayah memang terbaik! Sepulang sekolah, jemput aku cepat-cepat, ya? Supaya kita bisa mengunjungi Tante Silvi bersama."
Evan mengacak-acak rambut Humam dan berdiri, mengantarnya sendiri ke sekolah.
Setelah mereka pergi, Bik Minah masuk ke kamar tidur utama dengan perlengkapan bersih-bersihnya. Biasanya, majikannya yang mengurus kamar itu sendiri, jadi kamarnya sudah bersih. Bik Minah tidak mengerti kenapa Pak Evan memintanya untuk membersihkannya.
Ia membuka jendela agar udara segar masuk.
Meskipun kamar itu bersih, ia tetap membersihkan setiap permukaan dengan teliti.
Di luar, angin semakin kencang.
Di bawah tempat tidur, sepucuk surat diagnosis kanker terdorong semakin jauh...
Tadi malam Miranti telah kembali ke kampung halamannya dengan bus terakhir. Jaraknya sekitar empat jam. Saat ia merapikan rumah, matahari sudah terbit.
Karena kelelahan, ia akhirnya mematikan ponselnya, yang ia inginkan hanyalah tidur nyenyak tanpa gangguan.
Mungkin karena fisiknya mulai melemah akibat kanker, atau mungkin hanya rasa lega karena tidak perlu khawatir untuk pertama kalinya, tetapi ia tidur nyenyak—baru bangun pukul delapan malam.
Ia menyalakan kembali ponselnya.
Seketika, ponselnya berdering tanpa henti dengan notifikasi pesan dan aplikasi.
Ia memeriksa pesan-pesannya terlebih dahulu—beberapa panggilan tak terjawab, beberapa dari Evan, beberapa dari Bik Minah.
Miranti menduga Bik Minah mungkin menelepon tentang Humam. Dulu, ia akan langsung menelepon balik untuk menanyakan keadaan. Sekarang... ia membiarkannya begitu saja.
Ada juga dua notifikasi bank—Evan telah mentransfer dua puluh juta kepadanya, dua kali. Ia tertawa getir dan hambar. Pria itu ingin ia pergi lagi.
Ia membuka aplikasi pesannya.
Evan telah mengirim dua pesan—satu dari pagi, satu dari beberapa jam yang lalu.
[Makan malam jam 7 tepat, temui aku di Restoran Amber sweet.]
[Maaf, ada urusan malam ini. Makan malam dibatalkan. Aku akan menebusnya nanti.]
Miranti menyimpan ponselnya.
Rutinitas bolak-balik, datang-jika-kupanggil-kamu, pergi-jika-kusingkirkan-kamu—Evan bisa memerankan seluruh adegan itu sendirian.
Ia tak lagi berharap, tetapi di suatu tempat jauh di dalam dadanya, rasa sakit masih bersemi, tajam dan terus-menerus.
Ponselnya berdering lagi.
Itu adalah notifikasi dari aplikasi jam tangan pintar. Miranti telah mengatur peringatan khusus untuk Humam.
Ia segera menutup aplikasi pesannya dan membuka aplikasi jam tangan. Ini adalah hari pertamanya jauh dari Humam, ia tak bisa menahan rasa khawatir.
Humam telah mengunggah sebuah kabar.
Itu adalah sebuah foto.
Evan, Humam, dan Silvia bersama, tersenyum bahagia.
Melalui jendela besar di belakang mereka, kembang api meledak dengan warna-warna cerah. Caption : Hari yang menyenangkan.
Dari latar belakang, terlihat jelas—mereka berada di Restoran Sweet Amber.
Restoran Sweet Amber terletak di tepi sungai, tempat yang sempurna untuk menonton kembang api sambil makan malam. Miranti sudah lama ingin pergi ke sana bersama keluarganya
Apa yang ia dambakan, orang lain dapatkan dengan mudah tanpa perlu berusaha.
Kesenjangan antarmanusia bisa sangat lebar. Beginilah jika kamu cacat!
Sebuah pesan baru muncul, membuyarkan lamunan Miranti.
Ia membukanya.
[Miranti, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?]