Jauh di atas langit, jutaan mil tepatnya dari jarak bumi, ada sebuah kehidupan yang luput dari pengetahuan manusia. Kehidupan yang begitu sempurna dengan segala kelengkapan dan keindahan, tiada kesusahan, tiada air mata dan belenggu yang kerap dirasakan manusia di bumi. Dan lucunya, hal yang terlalu sempurnapun bisa menimbulkan kejenuhan bagi penguninya. Nyatanya, ada sepasang mata indah milik seorang dewi penghuni tempat istimewa yang disebut kahyangan itu mengintip antusias pada kehidupan manusia di bawah.
Bukan hanya sekali, entah berapa puluh kali sudah ia melakukan hal yang sama di sela tugasnya. Mengintip kehidupan manusia dari berbagai belahan planet bernama bumi itu, ia ikut tersenyum, tertawa ketika mengamati kebahagiaan manusia. Pun tak sungkan ikut menangis antara haru dan sedih saat ada yang terpantau menyedihkan. Seperti saat ini, air matanya luruh sekian banyak dan berjatuhan menjadi kristal berkilauan karena tak tahan melihat penderitaan seorang anak kecil yang kedinginan. Ketika hatinya mulai tersentuh, tanpa memikirkan nalar lagi ia berusaha campur tangan pada sesuatu yang bukan ranahnya.
“Hei, apa yang mau kamu lakukan? Jangan ketagihan memberi keajaiban pada mereka, kamu bisa bermasalah kalau ketahuan.” Sebuah tangan yang putih mulus menahan gerakan tangan dewi yang hendak menolong anak kecil malang itu.
Dewi yang berhati mulia dan cantik itu bernama Chen Mei, dia menatap sahabatnya yang juga seorang dewi cantik dengan mata nelangsa. Niat baiknya baru saja digagalkan, pandangan Chen Mei bergantian menatap ke bawah lalu menatap sahabatnya. “Lepaskan, Xiao Feng! Anak itu bisa mati kedinginan.”
Dewi bernama Xiao Feng itu menggeleng, “Aku tidak bisa membiarkanmu membuat kesalahan berulang kali. Chen Mei sadarlah, kamu bisa dihukum raja langit kalau suatu saat ketahuan.”
“Biarkan aku bantu sekali lagi, aku sudah melihatnya susah, mana sanggup aku membiarkannya mati tragis seperti itu.” Bujuk Chen Mei, ia sedikit meronta agar Xiao Feng melepaskan genggamannya.
Xiao Feng menatap ke bawah, bola matanya membesar ketika melihat seorang anak laki-laki yang mungkin berusia kisaran empat tahun, tengah meringkuk menahan dinginnya butiran yang berjatuhan dari langit. Hatinya pun tersentuh melihat anak sekecil itu berjuang menghadapi cuaca yang nyaris membekukannya. Hanya pakaian tipis yang membaluti anak itu, mirisnya lagi ia bertelanjang kaki, tidak ada yang bisa menghangatkan tubuhnya. Chen Mei benar, jika dibiarkan maka mereka hanya akan menjadi saksi ajal menjemput nyawa anak itu.
“Ia tampak kedinginan, biar aku kurangi saljunya.” Xiao Feng memutar tangannya, sebuah pusaran energi berbentuk bola keemasan terpusat di tengah kedua tangannya. Chen Mei mengernyit saat melihat sahabatnya mengerahkan kekuatan, ia langsung menepis tangan Xiao Feng.
“Kau?” Xiao Feng menatap bingung pada Chen Mei, jelas-jelas ia yang lebih dulu ingin menolongnya tetapi ketika hendak dibantu malah tangannya ditepis.
Chen Mei menggeleng pelan, matanya sedikit menyipit. “Kamu jangan terlibat, biar aku saja. Aku tidak mau membuatmu susah.” Ia mendorong Xiao Feng pergi dari sana, kekuatannya sebagai dewi yang punya kesaktian mengandalkan kekuatan air membuat Chen Mei dengan mudah mendorong pergi Xiao Feng yang terkenal bertenaga lembut.
“Hei, jangan gegabah. Salju itu bagianku, justru kamu yang akan disalahkan kalau kamu ikut campur. Biar aku saja….” Belum selesai berteriak, Xiao Feng sudah diterpa derasnya air dan menjauh bersama semburan kencang dari Chen Mei.
“Maafkan aku, Xiao Feng. Kamu jangan terlibat, aku tahu ini melanggar aturan langit tapi aku tidak mampu menyaksikan penderitaan anak itu.”
Chen Mei meniupkan sesuatu yang serta merta turun meliuk dengan gesit. Semakin cepat dan lincah menghampiri anak laki-laki yang meringkuk di antara genangan salju. Setelah mendekat pada posisi tubuh si anak, pusaran angin yang terbentuk dari tiupan Chen Mei berubah menjadi sebuah rumah yang hangat. Anak kecil itu tidak sadarkan diri, pun ketika Chen Mei meniupkan kembali energinya yang berubah menjadi sebuah mantel tebal dan sepatu boots pada tubuh anak kecil itu. Sapuan sihir terakhir, Chen Mei tiupkan untuk membangunkan anak laki-laki itu.
“Selesai.” Ujar Chen Mei seraya tersenyum puas.
Anak kecil itu mulai menggerakkan jemarinya, perlahan namun pasti kedua matanya terbuka. Ia masih setengah sadar sedang berada di mana dan apa yang terjadi padanya. Namun ketika kesadarannya mulai terkumpul, anak itu terbelalak mendapati dirinya berada dalam rumah kayu yang lumayan besar dengan perapian yang sedang menyala, menghangatkan tubuhnya. Ia bergegas bangun dan duduk, mengucek mata dengan kedua tangannya.
Chen Mei tersenyum melihat ketakjuban anak kecil yang sangat polos itu. Tampaknya ia belum menyadari perubahan yang melekat di tubuhnya. Dan benar saja, anak itu baru sadar mengenakan mantel tebal dan sepasang kaki yang semula kedinginan kini berbalutkan sepasang boots yang hangat.
Anak kecil itu berdiri, menatap sekeliling dengan bola mata yang membulat maksimal. Ia masih bingung berada di mana dan di rumah siapa. Ia mulai berteriak memanggil siapa saja yang ada di sana, namun hasilnya justru berdiri bingung menyadari bahwa ia hanya sendiri di dalam rumah besar yang kosong. Hanya ada perapian yang menyala hangat, namun kini setelah tersadar dari pingsan, anak itu merasakan lapar yang menggelitik perutnya. Ia memegangi perut yang sudah kosong berhari-hari.
Chen Mei tahu pikiran anak itu, hatinya kembali iba. Membantu janganlah setengah-setengah, begitulah prinsip dewi cantik itu. Ia mulai mengerahkan energinya, kali ini ia pastikan sebagai bantuannya yang terakhir. Begitu meniupkan sihir, pusaran angin meliuk ke bawah dan terlihat jelas oleh anak kecil itu. Mata kecil si anak terbelalak, ia sungguh ketakutan mengira itu ulah sebangsa jin atau siluman seperti yang sering didengarnya dari cerita orang dewasa. Begitu takutnya sampai ia menunduk dan bersembunyi di pojok ruangan. Namun rasa penasarannya cukup besar, anak itu mulai mengintip dengan sebelah mata yang sedikit dibuka. Ia nyaris lupa bernapas ketika menyaksikan dengan mata kepala apa yang sedang terjadi di hadapannya.
Pusaran angin kencang itu perlahan mereda, sirna lalu bergantikan wujud menjadi sebuah meja kayu dengan hidangan yang tersaji di atasnya. Kumpulan angin yang mengamuk itu menghilang, kini si anak tak lagi ketakutan, ia mulai berdiri dan takjub menatap apa yang terhidang di sana.
Chen Mei kembali tersenyum senang, betapa menyenangkan ketika berhasil membantu seseorang dan membuatnya takjub. Anak kecil itu mulai berjalan mendekati meja, ia menelan ludah saat mencium aroma ayam bakar yang mengebulkan uap. Tak hanya itu, ada pula air minum serta beberapa macam buah-buahan segar.
“Siapapun yang memberikan padaku, terima kasih. Terima kasih banyak!” Pekik anak itu, ia langsung berlutut dan bersujud beberapa kali. Di sekelilingnya memang tidak terlihat siapapun, anak itu pun tidak peduli apakah rasa terima kasihnya tersampaikan dengan tepat. Yang pasti kajaiban yang ia dapatkan saat ini telah menolongnya, dan si penolong mungkin sedang menatapnya entah dari mana.
Chen Mei membungkam mulutnya, rasa haru menyelinap dalam relung hatinya. Ia tersentuh dengan sikap anak kecil yang tahu berterima kasih itu. “Ternyata manusia itu banyak yang berhati mulia, tetapi mengapa kehidupan mereka banyak yang susah?” Pertanyaan itu jelas hanya bisa disimpan dalam hati Chen Mei saja, ia bisa bertanya tanpa tahu apa jawabnya.
❤️❤️❤️