Garut-Bandung 2014
Sudah hari ke delapan, dokter belum mengizinkan Ibu Juwariyah pulang. Perempuan berusia lima puluh delapan tahun itu terlihat semakin kurus. Kania hanya bisa menjaga ibunya sepulang sekolah sampai menjelang mahrib. Selebihnya Pak Ari yang menemani istrinya.
Ibu Juwariyah menempati kamar kelas dua. Satu ruangan berisi dua buah ranjang pasien, satu buah sofa untuk kerabat yang berjaga, sebuah televisi 14 inchi, sebuah kamar mandi dan rak untuk menjemur handuk yang disimpan di balkon kamar.
"Ayah, tanya lagi atuh. Kapan Ibu boleh pulang," rengek Bu Juwariyah pada suaminya.
"Iya, nanti kalau dokter kesini." Tanpa menoleh istrinya Pak Ari khusuk dengan koran lokal yang sedang dia baca.
"Ibu jenuh, Yah," keluhnya.
"Sami, Bu, memangnya siapa yang betah lama-lama nginep di rumah sakit?" sindir Pak Ari tanpa memalingkan wajah dari koran yang dia baca.
"Muhun, Pak, raos keneh di hotel nya, di Cipanas sambil berendam," seloroh seseorang yang menunggu pasien di ranjang sebelah. Disusul oleh tawa Pak Ari yang berderai.
Tidak berselang lama, pintu kamar diketuk, dokter Rizal diikuti oleh dua orang dokter muda dan seorang perawat yang membawa map berisi rekam medik masuk. Dengan hati-hati dokter Rizal memeriksa ibu Juwariyah, sesekali berbincang dengan menggunakan banyak istilah medis dengan kedua dokter muda yang kemudian mencatat dalam buku kecil.
"Bu, dari hasil rontgen yang terakhir, masih ada sedikit cairan yang harus dikeluarkan," kata dokter Rizal hati-hati. Pak Ari diam menatap dokter dan sang istri bergantian.
"Waduh, Dok! Di suntik lagi? Linu!" keluh Ibu Juwariyah seraya mengernyitkan kening.
"Muhun, Bu, wayahna kedah dikaluarkeun. Bapak cepat-cepat bikin BPJS, ya," perintah dokter Rizal pada Pak Ari.
"Hari ini Ibu boleh pulang, Bapak bikin BPJS dulu, nanti kalau sudah selesai, Bapak dan Ibu ke RSU untuk dibuatkan rujukan ke Rumah Sakit Rotinsulu, Ciumbuleuit."
"Tidak bisa di Garut saja, Dok?" tanya Pak Ari.
"Di sana rumah sakit khusus paru, Pak, peralatannya lebih lengkap dan tenaga kesehatannya lebih kompeten, Ibu akan ditangani dengan maksimal oleh orang yang tepat."
"Tapi mahal, ya, Dok?" tanya Pak Ari sadar diri. Uang tabungan sudah hampir habis digunakan biaya pengobatan selama delapan hari di rumah sakit ini.
"Untuk itu saya sarankan Bapak membuat BPJS," jawab dokter Rizal, kemudian dokter mencatat sesuatu sebelum akhirnya pamit meninggalkan kamar Ibu Juwariyah.
***
"Ah, Ibu rindu aroma rumah ini," kata Bu Jiwariyah sesaat setelah menjejakkan kaki di rumah bercat kuning. Rumah mungil yang menjadi tempat mereka menumpahkan cinta dan kasih.
"Ibu istirahat saja dulu, Kania mau masak. Ibu mau makan apa?" tanya Kania tangannya masih menenteng tas dan beberapa buah kantong kresek.
"Ibu pengen makan surabi pake kinca." Ibu Juwariyah duduk di atas tempat tidur. Kania tersenyum mengiyakan permintaan sang ibu, kemudian dia bergegas menuju dapur, bersiap memasak untuk makan siang dan membuat surabi atau kue serabi yang disiram kuah kinca dan santan sesuai dengan permintaan Ibu Juwariyah.
Gadis itu lebih banyak diam, teringat dengan jelas penjelasan dari Dokter Rizal sebelum mereka meninggalkan rumah sakit.
"Ini, sisa cairan ada di paru-paru bawah, kiri dan kanan. Sudah saya sedot lagi tidak ada yang keluar. Saya curiga ini semacam infeksi, peradangan atau kanker. Makanya terpaksa ibu dirujuk ke Rotinsulu." Dokter Rizal menunjukan hasil rontgen yang terakhir.
"Nanti tindakan apa yang akan di ambil, Dok?" tanya Kania.
"Sesuai prosedur pemeriksaan akan di ulang dari awal, kemudian nanti akan dilakukan endoskopi," terang dokter Rizal.
"Endoskopi?"
"Betul, endoskopi adalah sebuah prosedur pemeriksaan yang bertujuan untuk melihat kondisi organ tubuh tertentu secara visual, dengan menggunakan alat khusus yang disebut endoskop. Selain melihat kondisi organ tubuh, nanti akan diambil tindakan mengambil sampel jaringan untuk di biopsi." Dokter Rizal menyerahkan hasil rontgen.
Kania tertegun, separuh dunianya hancur. Pikiran buruk mulai menari di kepalanya, rasa takut kehilangan mulai mendominasi perasaanya. Ibu, separah itukah sakitmu.
"Kania, itu airnya meleber kemana-mana." Pak Ari membuyarkan lamunan Kania, air cucian beras dalam baskom sudah luber karena aliran keran yang dibiarkan terbuka.
"Astagfirullah," ujar Kania, dengan cekatan dia menutup keran.
"Jangan ngelamun, Nak!" nasihat Pak Ari, "selesaikan dulu masaknya, kasihan ibu sudah lapar."
"Kania takut, Pak." Gadis itu terisak, bahunya berguncang.
"Pasrah, tawakal, percayakan kepada Sang Maha Penyembuh." Pak Ari berusaha menenangkan gadis kecilnya, meski di lubuk hati yang paling dalam lelaki tua itu sama cemasnya dengan sang Putri.
***
Ibu Juwariyah sudah mengantongi kartu BPJS. Rujukan dari RS DR. Slamet Garut untuk melakukan pengobatan di RS paru DR. HA. Rotinsulu sudah dia patuhi sesuai prosedur. Kini mereka sudah siap untuk melanjutkan pengobatan di kota Bandung. Berjuang bersama untuk meraih kesembuhan.
Kendaraan jenis SUV yang mereka tumpangi bergerak meninggalkan kabupaten Garut, tembang sunda berjudul Dadali Manting membuat suasana dalam mobil semakin sendu. Kania dan Ibu Juwariyah tidak banyak bicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sesekali Pak Ari melayangkan pandang ke arah anak dan istrinya. Dua bidadari yang mempunyai paras serupa, hanya saja mata Kania lebih mirip dengan matanya. Tidak lama kemudian Ibu Juwariah terlelap, sesekali mendengkur halus, sementara Kania lebih memilih melihat ke arah jalan raya.
Haji Amat, sahabat dekat Pak Ari meminjamkan mobil untuk mereka tumpangi menuju kota Bandung. Pria tua pengusaha dodol, wajit dan rengginang itu bahkan rela menjadi sopir demi mengantarkan Ibu Juwariyah menuju rumah sakit Rotinsulu.
"Kang Ari, kalau ada apa-apa bilang saja. Jangan sungkan," kata Haji Amat, matanya tidak terlepas dari badan jalan.
"Alhamdulillah, Pak Haji, cekap, hatur nuhun kasaeanana," ujar Pak Ari mengungkapkan terimakasih.
"Aduh, Kang, kawas ka saha wae. Kita ini saudara. Saya masih ingat zaman-zamannya kita berlayar dulu. Susah senang kita bersama," kenang Haji Amat. Dia adalah sama-sama pensiunan pelayaran, bedanya Haji Amat seorang Kepala Teknik sedangkan Pak Ari adalah koki.
Kania tersenyum, melihat eratnya persahabatan Pak Ari dan Haji Amat. Ibu Juwariyah menggeliat, Kania menggenggam tangan kurus sang ibu. Memberikan segenap kekuatan dan semangat, untuk ibu yang teramat dia cintai.
Sepanjang jalan tol Padaleunyi Kania tidak putus berzikir merapal doa merangkai asa, berharap akan satu keajaiban, yakni kesembuhan sang ibu, perempuan mulia yang telah melahirkan dan membesarkan dia.
***
Waktu bergerak begitu cepat, serangkaian tes dan prosedur pengobatan dijalani Ibu Juwariyah dengan sabar, mulai dari pemeriksaan umum, rontgen serta cek darah ulang. Dia terlihat lelah, terlebih harus bolak balik dari kamar inap menuju laboratorium dan ruang Radiologi.
Kania setia menemani dari hari pertama hingga memasuki hari ke lima. Perempuan langsing dengan tinggi badan 160 cm itu gesit dan telaten merawat Ibu Juwariyah. Meski sesekali dia terlihat duduk menyendiri di koridor rumah sakit. Dengan muka memerah dan basah.
Memasuki hari ke enam, tiba giliran Ibu Juwariyah mendapat tindakan endoskopi. Mengambil sampel jaringan sangat perlu dilakukan untuk memastikan penyakit apa yang dia derita. Dugaan dokter spesialis paru di rumah sakit itu sama persis dengan dugaan Dokter Rizal. Lagi-lagi, hanya doa yang mampu dia langitkan agar mendapatkan hasil yang tidak mengecewakan.
Kania dan Ayahnya melepas Ibu Juwariyah menuju ruangan tindakan dengan hati yang gerimis. Semesta seakan turut bersedih tatkala langit menumpahkan rintik hujan di bulan September. Hujan pertama di penghujung kemarau panjang.