Berita Duka dan Kegelisahan Kania

1166 Kata
Garut, 2018 Ratusan orang guru honorer dari penjuru kota Garut duduk bersila tepat di depan gedung DPRD. Beberapa di antaranya berorasi memperjuangkan nasib dan kejelasan status mereka di mata pemerintah. Seorang guru muda turut serta dalam aksi damai ini. Dengan mengenakan seragam KORPRI, rok span hitam dan kerudung putih, dipermanis dengan bros rajut berwarna biru muda tepat di bagian depan kerudung yang dia kenakan. Di tanganya terdapat selembar karton yang berisi tulisan-tulisan bentuk protes dan unjuk rasa. Dia duduk bersila tepat di bawah pohon beringin yang cukup rimbun. Sehingga terik matahari tidak langsung menggigit kulit putihnya. Berkali-kali gadis itu mengecek gawai 6 inchi nya, hanya untuk memeriksa jam. Guru muda itu gelisah, dia sudah terlanjur berjanji akan segera pulang untuk menemani ayahnya memasak. "Kania, mau ikut longmarch?" tanya Tia. "Kania sudah janji, mau nemenin ayah masak, Ti," jawab Kania. "Yah, gak seru ah, gak jauh Kania, sampai alun-alun mungkin," seloroh Dian, Kania hanya tersenyum sesekali dia melihat ke depan, orasi belum usai, beberapa orang perwakilan masuk ke dalam gedung untuk bertemu dengan bupati dan pejabat yang berwenang. Mereka adalah ketua Fagar setiap kecamatan dan kabupaten, ketua PGRI beserta wakilnya. Semoga nasib kami menjadi baik, bisik batin Kania. Bukan tanpa alasan Kania beserta ratusan guru honorer satu kabupaten melakukan unjuk rasa. Dipicu oleh selorohan seseorang yang mengatajan jikalau guru honorer itu ilegal. Duh, seketika mereka patah hati, mereka beranjak, berkumpul, berorasi kemudian disatukan oleh visi dan misi yang sama. Sambil menunggu, Kania mengingat percakapan dengan ayahnya ketika meminta izin untuk mengikuti aksi damai ini. Sesekali dia tersenyum mengingat bagaimana paniknya sang ayah ketika Kania pamit mau demo ke gedung DPRD. "Naon, Neng, demo? Ulah geulis, bageur, Ayah melang, hariwang." Sang ayah mengemukakan kekhawatirannya jika Kania mengikuti demo. "Ayah, ini hanya unjuk rasa, demo aksi damai, gak akan ada anarkis-anarkis macam di film-film yang sering ayah tonton," kata Kania meyakinkan ayahnya. "Ayah sudah belanja, bukannya Kania mau dibuatkan sambel goreng kentang sama capcay?" "Kania tidak akan lama, Ayah. Kania janji akan menjaga diri baik-baik dan segera pulang," ucap Kania meyakinkan ayahnya yang diam saja. Dan di sinilah Kania sekarang setelah berbagai cara dia membujuk ayahnya yang hampir saja merajuk. Akhirnya Izin dia kantongi dengan beberapa syarat tentunya. Kania mengerti, hanya Kania yang ayahnya punya saat ini. Setelah kepergian ibu tiga tahun lalu karena mengidap penyakit kanker. "Kania, yakin tidak ikut? Yakin gak kabita sama es goyobod alun-alun?" goda Tia, sementara itu temannya yang lain juga tak pantang menyerah mengajak Kania untuk tetap melanjutkan aksi. "Itu, di Simpang Lima juga ada es goyobod, Kania lewat situ saja dulu, sekalian beli buat ayah." Tia hanya mencebik kesal, mendengar penuturan sahabatnya itu. Kania memang tidak mudah goyah. Teguh dengan pendirian dan selalu menepati janji. "Assalamualaikum, Ayah, kania pulang." "Waalaikumsalam, Alhamdulillah, ayah lega," jawab Pak Ari, Kania tertawa kemudian mencium tangan ayahnya dengan takzim. "Ayah, ini Kania beli es goyobod, pasti seger." Pak Ari semringah, dia menerima bungkusan yang Kania serahkan, kemudian memindahkan isinya ke dalam mangkuk. Es goyobod, minuman seperti es campur yang terdiri dari goyobod, alpukat, tape ketan, kacang hijau, roti tawar, es serut, kelapa muda dan gula cair serta s**u kental manis. Goyobod sendiri terbuat dari tepung hunkwe. Minuman ini adalah minuman kesukaan ayah dan ibunya, Kania sebenarnya tidak begitu menyukainya karena minuman ini terlalu manis, dia lebih senang dengan es jeruk yang masam atau jus buah lainnya. "Bagaimana, Yah, enak?" tanya Kania. "Enak, tapi ini bukan es goyobod Mang Jaja, ya?" Kania tersenyum, Pak Ari tahu betul bagaimana rasa es goyobod langganannya. "Bukan, ini Kania beli di Simpang Lima. Upami ka ten Mang Jaja heula mah sesah, Yah, pinuh," tutur Kania. (Kalau ke tempat Mang Jaja dulu, susah, Yah. Penuh) "Teu nanaon, sami wae." Pak Ari dengan lahap menghabiskan semangkuk es goyobod, es yang Kania beli seharga delapan ribu rupiah. (Iya gak apa-apa, sama saja) "Kania mandi dulu, ya, Yah." Kania pamit, Pak Ari mengangguk beliau tengah asik dengan sisa goyobodnya. Selesai mandi dan membuang penat, Kania kembali duduk di dapur bersama ayahnya dan mulai memotong sayuran untuk capcay. Tangannya yang keriput masih cekatan hanya untuk sekedar menyiangi bahan masakan seperti ini. Mantan koki di sebuah kapal milik pemerintah itu selalu terlihat bahagia ketika memasak. "Jadi, kenapa harus demo?" tanya Pak Ari. Matanya tetap tertuju pada wortel yang sedang dia iris tipis-tipis. "Ya ... Intinya Kami memperjuangkan nasib, Yah. Bukannya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum. Kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya?" "Betul, tapi nasib bagaimana dulu yang kalian perjuangkan?" selidik Pak Ari kepada putri tunggalnya. "Begini, Kania kan punya impian, Yah. Kania juga kan pengen nasib Kania berubah. Gaji Tiga ratus lima puluh ribu bukan tidak cukup, Kania ingin bantu melunasi utang keluarga kita." "Luruskan Niat, jangan sampai niatmu mengamalkan ilmu menjadi belok, rejeki sudah Allah atur," kata Pak Ari. "Ayah, Kania masih menggantungkan hidup pada Ayah, makan dan ongkos masih minta sama Ayah. Gaji Kania utuh Kania pakai untuk beli baju, bedak bahkan pulsa dan sekedar jajan seblak. Tapi bagaimana dengan teman-teman Kania? Ada seorang Ayah yang harus menafkahi istri dan anak-anaknya, ada seorang ibu tunggal yang harus menghidupi putra putrinya." Pak Ari terdiam sejenak, dia mengamati wajah teduh putrinya, putri kecil yang kemarin dia timang kini sudah menjadi gadis dewasa yang luar biasa. "Lalu, kalian dapat apa selain kulit yang terbakar matahari?" selidik Pak Ari. "Ayah, ih, kayaknya gak suka banget ya, Kania demo?" rajuk Kania. "Bukan tidak suka, katanya memperjuangkan nasib, lalu apa nasib kalian berubah?" "Ada perubahan, Yah. Katanya kami akan dapat SK dari dinas pendidikan. Jadi bisa buat pengajuan NUPTK bagi yang belum punya. Terus dapat digunakan untuk melengkapi persyaratan PPG. Langkah Kania untuk menjadi Aparatur Sipil Negara tinggal sedikit lagi, Yah. Kania hanya minta doa dan restu Ayah." Pak Ari manggut-manggut, entah karena mengerti atau bingung dengan penjelasan Kania. Masih tergurat jelas dalam ingatan, bayi mungil yang merah menggeliat sementara lantunan azan dia kumandangkan tepat ditelinga kanannya. Suaranya bergetar lirih tatkala air mata haru berderai membasahi pipi. Ah, gadisku, rasanya kamu masih berusia lima tahun dan merajuk karena balon gas yang dibeli dengan uang jajanmu terbang membumbung ke angkasa. "Ayah, ih, kok ngeliatin Kania gitu banget," rajuk Kania manja, Pak Ari hanya tersenyum dan kembali tenggelam dalam kesibukannya. "Assalamualaikum Warohmatullohi wabarokatuh, Innalillahiwainnailaihi rojiun, parantos mulih ka jati, mulang ka asal, bapak haji Rahmat atanapi Pak Haji Amat, nembe tabuh sabelas di Rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung. Neda piduana ka para wargi, mugia almarhum di tampi iman islamna, sareng di caangkeun dipakuburanna." Satu berita duka terdengar dari pengeras suara mesjid, kedua ayah dan anak itu sejenak menghentikan aktivitasnya, mendengarkan dengan seksama pengumuman itu. "Innalillahi wainnailaihi rojiun, Ayo Neng, kita takziah." Pak Ari bergegas, sayuran yang hendak beliau masak ditinggalkan begitu saja. Kania masih terpaku ditempat duduknya, Pak Haji Amat meninggal, umur tidak ada yang tahu. Perasaan cemas mulai menyergap Kania, Ayahnya masih mempunyai utang yang belum diselesaikan kepada haji Amat. Jumlahnya tidak sedikit, Ayahnya baru mengangsur sepertiga dari total keseluruhan utangnya. "Ya, Allah, semoga ini hanya perasaan saja, semoga kegelisahan ini hanya risau yang tidak lama lagi akan segera Sirna."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN