Episode 2

1127 Kata
Bab 2. Aku masih terdiam memandangi wajahku yang seketika memias dipantulan cermin toilet pagi itu. Ini seperti mimpi buruk, mimpi yang sangat buruk, tak pernah terbersit sedikitpun difikiranku jika kesalahan satu malam yang kulakukan bersama Andreas akan menamkan janin tak berdosa dirahim ini. Terlebih aku sengaja pergi dari kehidupanya tanpa memberitahukan semua yang telah terjadi sebelumnya. Aku kembali duduk terkulai dilatai, mataku yang sedari dari berembun mulai menitihkan air mata, aku menangis menyesali kebodohan ku dulu. Sampai tak berapa lama samar terdengar suara ibu yang memanggil ku untuk sarapan. Aku segera bersiap untuk ke kampus, tak mau ibu semakin curiga akan kesehatanku lantas berniat memeriksakan ku kedokter.“Ayo sarapan sayang,” ujar ibu seraya menghidangkan masakanya dimeja makan. “Iya bu,” perlahan aku menyantap sedikit sarapan itu, tak berselera. Indra perasa ku terasa pahit mengecap makanan apapun. “Kamu masih sakit?” tanya ibu melihatku yang tampak tak berselara menyantap masakanya. Dengan cepat aku menggeleng.“Tidak, aku sudah baikan bu,” jawabku dengan sedikit menunduduk, takut jika ibu memperhatikan mata sembabku. “Yakin?” ibu menatap curiga. “Sepertinya aku sudah terlambat ke kampus,” buru buru aku menyudahi sarapanku, segera berdiri mencium punggung tangan ibu dan bergegas pergi keluar dari apartemen menuju kampus. Sepanjang hari itu tak satu pun materi kuliah yang masuk dikepalaku, fikiran ini terus tertuju pada janin diperutku. Tak terhitung sudah berapa kali aku keluar masuk toilet karena rasa mual yang selalu kurasakan. Aku terduduk lemas didalam kelas yang sudah sepi, kembali menangis tak tau apa yang harus kulakukan saat ini. Haruskah aku meminta Andreas untuk bertanggung jawab? jangankan bertanggung jawab Andreas bahkan tak mengingat saat kami sudah melakukan hal itu. Terlebih jika ibu tau tentang hal ini tak bisa kubayangkan wajah sedih dan kecewanya. “Ibu, maafkan aku,” gumamku seraya menangis menyandarkan kepalaku dimeja. “Rinjani,” Spontan aku mendongkakan wajahku mendengar suara pria memanggilku. “Brian?” aku mengerutkan kening melihat pria dengan tinggi 170cm dan berwajah oriental itu tengah berdiri dihadapanku. “Kamu sedang apa sendirian? sedang nangis?” tanyanya melihat wajahku yang basah kerena air mata. “Enggak kok, kata siapa aku nangis,” buru buru aku mengusap wajahku yang masih basah dan berusaha tersenyum dihadpanya. Brian membalas senyumku, sepertinya raut curiga yang tadi sempat terlihat diwajahnya sudah hilang. Brian pria yang cukup ramah, kami sudah berteman satu bulan yang lalu lebih tepatnya sejak awal aku berkuliah disini. “Oh gitu, kamu mau pulang kan? aku antar ya,” tawarnya. Aku menggeleng.“Enggak usah, aku naik bus saja,” tolak ku, yang lansung berdiri. Baru saja tiga detik aku beranjak dari kursi rasanya kepaku sudah terasa pusing. “Kamu enggak apa apa rin?” tanyanya melihat ku yang terdiam memantung seraya memujat pelan pelipisku. “Aku enggak apa apa kok.” aku mencoba berjalan satu langkah tapi rasanya pandanganku mulai berputar dan semakin buram, sedetik berikutnya aku merasa pandangaku menjadi gelap hanya samar terdengar suara Brian yang berualng kali memanggil namaku. *** Perlahan aku melebarkan kedua mataku, sejenak pandanganku masih buram sebelum akhirnya benar benar manjadi jelas, kupandangi langit langit ruangan yang berwarna putih indra peciumanku mengendus bau obat obatan yang menyengat, langsung bisa kusimpulkan jika aku tengah berada dirumah sakit saat ini. “Rinja, kamu sudah sadar?” tanya Brian yang berdiri disisi ranjang terlihat senyum lega mengembang di bibirnya. “Kenapa aku disini?” kupijat pelan pelipisku yang masih terasa pusing. “Kamu pingsan tadi,” “Pingsan?” perlahan aku mengingat jika sebelumnya aku sedang bersama Brian di dalam kelas. “Ya, kamu pingsan jadi aku membawamu ke klinik,” jelas Brian. “Nona sudah sadar?” terlihat wanita berjas putih berjalan menghampiriku. “I.. iya,” jawabku masih dengan wajah yang tampak linglung. “Tidak usah khawatir, ini memang biasa terjadi diawal kehamilan,” ujar dokter tersebut yang sontak saja membuatku dan Brian tampak tercengang mendengarnya.“Ya, dijaga baik baik ya kandungan istrinya,” ujar dokter tersebut mengira aku dan Brian adalah sepasang suami istri. Tampak wajah Brian mematung tak percaya lalu sekilas melirik ku yang hanya bisa tertunduk malu. Tak menyangka jika hal ini jusrtu diketahui oleh Brian, mimpi buruk yang lagi lagi menimpahku. Setelah dokter memberikan obat penambah darah dan beberapa vitamin kami pun keluar dari klinik tersebut. Tak ada satu pun kalimat yang terucap dari bibirku dan Brian saat kami berjalan beriringan, Brian sepertinya masih mencerna perkataan yang baru saja ia dengar.“Terima kasih sudah menolongku, aku pulang dulu,” ucapku saat keluar dari klinik . “Aku antar kamu pulang,” Brian mencekal lenganku yang hendak berjalan pergi. “Tidak, aku naik taksi saja,” “Rinja, sekali ini saja !” pintanya dengan tatapan memaksa. Aku pun akhirnya menurut. Aku hanya memalingkan wajahku sepanjang perjalan tak berani sedikitpun aku memandang kearahnya. Rasanya malu sekali, Brian pasti saat ini sudah mengecapku wanita liar karena hamil diluar nikah. “Rinja,” suara seraknya membuatku terhenyak.“Bisa kamu jelaskan padaku?” Brian menatapku penuh tanda tanya. “Aku tidak ingin menjelaskannya, kamu sudah tau semuanya,” ucapku lirih. “Aku masih tak percaya, apa kamu dinodai? siapa yang menodaimu? apa dia tinggal disini?” Brian mencecar ku dengan pertnyaan, dia masih menganggapku wanita baik baik. “Aku tidak ingin membahasnya,” “Rinja, kamu harus menjelaskanya, aku perduli padamu,” desaknya. “Stop! turunkan aku disini, aku ingin turun!” Brian tak mengubrisnya. “Rinja, jelaskan padaku,” “Stop Brian! stop!” pekik ku. Aku mencoba menatap wajahnya yang tampak emosi menuntut penjelasan dariku.“Apa yag harus kujelaskan? aku memang hamil dan aku tidak dinodai, aku melakukanya dengan sadar, aku wanita kotor.” jelasku denga nada yang bergetar. Brian mengehtikan mobilnya ia menatapku masih tak percaya. Aku bergegas turun dari mobilnya, menaiki taksi yang melintas. jemariku mencengkram rok yang kukenakan perlahan basah karena air mataku yang terus menetes sepanjang perjalanan. Tak berapa lama aku tiba diapartemen. Tak lupa aku menghapus air mata yang masih menggenang, mengehela nafas sejenak sebelum membuka pintu.“Asallamuaikum,” “Walaikumsallam,” sahut ibu yang tengah duduk disofa seperti sedang menunggu kepulanganku. Aku mencium punggung tanganya, wajah ibu terlihat dingin tak seperti biasnya.“Rinja, ibu mau bicara,” ujar ibu menghentikan langkahku yang hendak menuju kamar. “Rinja lelah bu, Rinja ingin istirahat,” tolak ku. Saat ini rasanya aku ingin sendiri. “Wanita hamil memang cepat lelah,” perkataan ibu sontak saja membuat detak jantung ku seperti berhenti berdetak. “Ibu ini bicara apa,” sahutku tak berani menoleh kearahnya. “Berhentilah membohongi ibu, sepertinya kamu lupa membuang barang ini.”refleks aku menoleh tampak ibu yang memengang benda pipih ditanganya. 'Tespek' benda itu kini sudah berpindah tangan pada ibu. Aku tercengang, wajahku seketika memucat hal yang paling kutakuti kini jadi kenyataan. Ibu tau tentang kehamilanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN