[4] DERETAN COGAN MARDHA

1070 Kata
"Andai kamu mengerti pilu, Aku sedang menatapmu sendu. Andai ranting itu tak rapuh, Sudah pasti kurengkuh." [ESREGNET] "Makanya, kalau babang Farell ngomong tuh, dengerin." Cello membuka pintu lokernya. Tak lama nampak cokelat dan surat-surat kecil yang berjatuhan. Perasaannya campur aduk, namun tatapannya kosong. Seperti biasa, cokelat dan surat itu akan ia bagikan ke teman-temannya. "Emang nggak capek diatur-atur mulu sama cewek itu? Padahal lo Ketua Osisnya." Seperti biasa, para cowok itu akan ghibah. Membicarakan para cewek yang entah menyebalkan, ataupun menarik untuk dibahas. Topik itu selalu dibuka oleh Farell, selaku cowok yang memiliki banyak mantan di SMAN Mardha. Tentunya, cewek itu hanya jadi mainan untuknya. David bersenandung kecil di depan pintu lokernya. Ia melirik kecil lalu ikut menambahi, "Lagian pakai embel-embel mau ngalahin tuh, cewek," "Kok gue nggak tahu apa-apa ya?" Arya celingukkan sendiri. Menatap bingung teman-temannya. Wajar saja, ia baru dekat dengan mereka setahun belakangan ini. "Masih kecil, nggak usah ikut-ikutan deh." Sahut Devano tiba-tiba, membuat Arya terpuruk sendirian. Memang teman-teman laknat. "Maen bola sana, ntar kita nyusul." "Anying, lu kata gue bocah." Ucap Arya tak terima, ia merasa sangat terpojokkan. "Karena rebutan beasiswa?" Farrel memutar bola matanya jengah, kemudian mendengus. "Lo banyak duit, beasiswa nggak penting. Tinggal sekolah di Jerman. Lo kesini cuman buat ngalahin Cella?" Cello membanting pintu lokernya. Menatap Farell kesal, "Ngapain ngomongin orang?" "Kok, lo jadi sewot sama gue? Ngajak berantem lo?" Farell memajukan badannya. Cowok itu menyipitkan matanya, kemudian meninju perut Cello keras. Begitu pula dengan yang ditinju, membalasnya tak kalah keras. "E-eh jangan berantem." Tampak raut wajah Arya panik. Dengan cepat cowok itu melerai keduanya. "Gue mau ikutan." "Tai lo, ganggu aja." "Bubar." "Iya, udahan lah ya." "Ayo, basket aja." Dalam hitungan detik, keempatnya bubar dan melenggang pergi menyisakan Arya seorang diri. 'Tai.' batin Arya. 'Gue lagi, gue lagi.' "Arya, ayok maen basket!" Ajak Cello saat menyadari Arya tak kunjung mengikuti mereka dari belakang. Tak lama cowok itu mengangguk cepat. Setidaknya ia masih dipedulikan, walau sedikit. [ESREGNET] "Eh, bidadari gue lewat." Seraya bersiul, David mencolek kecil lengan gadis itu. "Cie, udah jatuh hati sama kang mas? Tumben nggak jutek." Gadis yang dikenal bernama Devia itu memutar bola matanya jengah. "Udahan gombalinnya?" Kembarannya, Devirra, ikut menyahut. "Jelas lah, nggak level kita ladenin lo pada." "Najis, sok kepedean lo. Gue gombalin saudara lo, bukan lo." "Paansi lo." Devirra kehabisan kata-kata, namun tak urung ia tetap melakukan perlawanan. "Belom aja dipukul sama Cella." "Marah-marah mulu lo, cepet tua aja tau rasa. Ntar nggak dapet kontrak model remaja lagi." Devirra menggebuk pundak David keras. Gadis itu memang sedang mendapat kontrak menjadi model sampul majalah remaja, namun ia tidak ingin banyak orang yang sudah mendengarnya. Bisa-bisa fansnya mengejar dia lagi seperti waktu itu. David yang tidak terima diperlakukan kasar, dengan cepat mengadu. "Devano, cewek lo tuh," Devirra langsung diam. Tidak berkutik. Tubuhnya mendadak kaku. Bahkan untuk menatap Devano saja, ia tak berani. "Dia bukan cewek gue." Devirra tertohok, walaupun ia sudah seringkali mendengar ucapan itu. "Mampus." Ejek David. Ia mengetahui perasaan gadis itu terhadap temannya, Devano. Merasa menang, David menjulurkan lidahnya. "Mampus lo." Katanya lagi. "Gue suruh Cella pukul lo ya, biar tau rasa." Gertak Devirra kesal. Cella yang tengah mengantri di kedai Mie Ayam, menoleh. Matanya langsung menangkap sorot mata Cello. Disana cowok itu menatapnya dalam diam, tatapan yang sangat Cella benci. Gadis itu dengan cepat membuang muka. Beruntung kantin cukup ramai pagi ini, sehingga suara mereka tidak begitu terdengar hingga ke ujung ruangan. Biasanya suara cowok-cowok itu akan langsung menyita perhatian siswa lain. "Eh, ada Rachel juga nih," Farell tersenyum sumringah, target ceweknya berada di depan matanya. "Gimana sama bunga yang aku bawain kemarin?" Cella, Devirra, dan Devia menoleh cepat. Rachel melototkan matanya, menatap kesal lelaki itu. Farell terkekeh pelan, "Cie, blushing gitu." Rachel mengerutkan dahinya. Sejak kapan pipinya merona? Mata Farell mulai burem. "Gue buang. Kenapa?" "Yah, kok dibuang." "Gue nggak mood makan, gue duluan ya." Ucap Cello sesaat. Suaranya menyita perhatian. Tak lama, ia berjalan pergi. "Lah, Cello ngapa bego?" Arya menatap heran tingkah temannya satu itu. Tak ada yang merespon, mereka semua terdiam dalam tanya. [ESREGNET] "Jangan maen hape." Cello menghela napas kasar. Kelas tambahan ini membuatnya muak. Jelas saja, Cella pasti yang akan mendapatkan Olimpiade Fisika. Kurang diperjelas apalagi? "Waktunya belajar, bukan buat mainan." "Lo bisa diem nggak?" Kesabaran Cello telah habis. Suaranya lumayan keras hingga membuat Pak Retno, pelatih olimpiade mereka menyentak. "Ada apa ramai-ramai?" "Dia pak," ucap keduanya berbarengan. Cello mendengus, begitu pula dengan gadis itu. Suasana kembali hening, sebelum Cello berdiri dari tempatnya. "Saya sudah selesai." Pak Retno memiringkan kepalanya, tersenyum kecil seraya mengangguk. "Coba kasih ke dia, minta diperiksa." Tunjuk Pak Retno ke Cella. "Kenapa nggak bapak aja?" Ucap Cello tidak terima. "Gue yang disuruh." Cella menarik paksa lembaran kertas yang digenggam Cello, kemudian membuka lembaran sehelai demi sehelai. "Baru nomor satu aja udah salah." "Apa?" "The thickness of ice in a lake is 5 cm and the temperature of air is -10 Celcius. Calculate the time required for the thickness of ice be doubled. Constant for ic--" "Sengaja gue salahin, lo mau Fisika 'kan? Puas lo?" Gertak Cello cepat, gadis itu menyerngitkan dahinya. Tak lama cowok itu berbisik pelan, "Jangan atur hidup gue." Pak Retno melerai keduanya. Setelahnya, Cello membalikkan badan dan menatap Cella dengan sinis sesaat. Tak lama ia menghela napas gusar. "Saya duluan pak, ada urusan." "E-eh," "Assalammualaikum." Ujar Cello dengan sopan. Mungkin ini pertama kalinya dalam dua bulan terakhir cowok itu mengucap salam. Cella menatapnya bingung, namun tetap saja ia dibuat kesal dengan tingkah cowok itu. Terkadang, lembut. Terkadang, sangat sarkas. Cello mengacak-acak rambutnya frustasi, berada disebelah Cella hanya membuatnya stress tak karuan. Jiwa bersaing gadis itu, mungkin semua itu nggak bakal ada kalau bukan karena gelar beasiswa. Cello kembali teringat, ia berpikir pelan. Ucapan teman-temannya siang tadi terngiang di kepalanya. 'Tujuan gue kembali ke Jakarta apa coba?' Lamunan Cello buyar oleh getaran dari hape nya, cowok itu menyerngitkan dahinya. Pesan masuk entah dari siapa. Laaa: Aku dengar kamu udah dua tahun di jakarta? Cello ingin mengabaikannya. Ia masih mengingat-ingat siapa yang mengirimkannya pesan. Namun, dentingan pesan berikutnya membuat cowok itu ber-oh ria. Laaa: Bunda yang bilang ke aku, kabar Angela gimana? Satu nama tertulis di kepala Cello. Oh, Alantha. Cello mengayunkan kepalan tangannya ke tembok, kepalanya ikut ia benturkan dengan keras. Ia frustasi, sangat frustasi. Kemudian cowok itu membuka layar beranda hape-nya, mencari kontak telepon dan menghubungi sebuah nomor. Raut wajahnya serius, tak lama ia berdecak. "Gue tahu ini ulah lo 'kan?!" [ESREGNET]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN