Chapter 2 - Permintaan Mahesa

1533 Kata
Ini sudah hari ke tiga puluh Iwa meninggalkan rumah, itu artinya sudah satu bulan Iwa menjalani hari tanpa tekanan dari Hendrawan. Walaupun begitu, Iwa tidak merasa terbebas dari bayang-bayang ayahnya itu. Entah Hendrawan sedang merindukan nya atau tidak, tapi Iwa selalu memimpikan Hendrawan nyaris tiap malam. Pada malam pertama, Iwa mengira mimpi buruk itu terjadi karena Iwa menahan lapar. Tapi ternyata tidak. Hendrawan selalu setia muncul di mimpi Iwa. Hendrawan bahkan mengganggu Iwa walaupun hanya dalam mimpi. Iwa menyewa sepetak kamar, isinya hanya cukup sebuah kasur kapuk tipis untuk satu orang, sebuah bantal, dan meja kecil yang hanya cukup untuk meletakkan beberapa helai baju. Untuk menyambung hidup, Iwa harus bekerja di salah satu warung makan di pinggir jalan lintas. Tamu yang datang rata-rata lelaki seusia Hendrawan yang mampir untuk sekedar meminum kopi, beristirahat sejenak karena mereka hanya datang untuk istirahat dari perjalanan mereka dengan mobil dump truk berukuran besar. Iwa tidak ada niat untuk berlama-lama bekerja di sana, setelah ia mendapatkan pekerjaan lebih layak, Iwa akan berhenti, juga akan pindah dari kamar kos nya itu. Iwa merasa tidak nyaman di kamar ini, karena Iwa harus melewati tiga pintu kamar penghuni kos lain bila harus ke kamar mandi. Terkadang Iwa harus menahan keinginannya buang air karena Iwa harus menunggu seseorang yang berada di dalam kamar mandi selesai, hidup saling sabar satu sama lain sudah Iwa jalani satu bulan ini. “Raiswara!” Iwa jalan tergopoh, sambil sesekali membenahi tas ransel lusuh, satu-satunya tas yang ia bawa kabur, jadilah tas itu sebagai tas serbaguna yang selalu Iwa pergunakan untuk berbagai keperluan. Iwa melangkahkan kakinya semakin cepat, “HEI, SUARA!” teriak lelaki berambut sama panjang dengannya, sebahu. Iwa menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan. Matanya berbinar, ketika melihat sesosok lelaki yang sangat dekat dengannya sejak duduk di bangku menengah pertama. “ASBAK!” Iwa membalas mem-pelesetkan nama Abas. Hal itu sering mereka lakukan selama sekolah. Iwa berlari kecil mendekati Abas yang kini merentangkan tangan. Bila di film, mungkin aksi Iwa yang berlari akan di jadikan slow motion, dan akan menjadi adegan paling mendebarkan. “Hah!” Iwa terengah ketika badannya sudah di hadapan Abas, Iwa membungkuk, kedua lengan nya memegang dengkul seperti seorang yang sedang melakukan gerakan sholat. Abas masih merentangkan tangan berharap Iwa memeluknya erat, seperti adegan di televisi. Iwa mengepalkan tangan, dan mendaratkan siku jari tengahnya ke kening Abas, “AW! Kok dijitak sih!” Abas perotes ketika realita yang ia dapat tidak seindah ekspektasinya. Iwa menyeringai, Iwa bahagia Abas berhasil menemuinya tanpa arahan apapun. Iwa tidak memiliki ponsel, dan tidak ada waktu mengirimkan surat apalagi menemui Abas yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal Hendrawan. “Kamu tau dari mana aku di sini?” tanya Iwa penasaran, “Kamu masih tidak bisa beli ponsel? Selama tiga tahun kamu hidup tanpa ponsel?” tanya Abas tidak percaya. Iwa mengangguk, “bahkan kali ini lebih parah. Aku harus menjatah makan ku sehari tidak boleh lebih dari tiga ribu lima ratus.” Jawab Iwa lugu, “Astaga, apa ada makanan harga segitu?” Abas bertanya takjub, Iwa kembali mengangguk, “aku bekerja di warung makan, kalau ada sayur sisa, aku bisa membawanya pulang, kalau ada nasi juga, aku yang bawa pulang.” Jelas Iwa. “Kalau tidak sisa? Kamu puasa?” Iwa kali ini menggeleng, “tidak pernah. Selalu sisa.” “Siang ini kamu bekerja?” “Hari ini aku libur, anaknya bos ku jatuh dari sepeda semalam. Jadi hari ini ia membawa anaknya ke tukang urut.” Jawab Iwa. “Berarti, kamu tidak makan?” Abas masih memancing, “Aku baru saja akan membeli makan. Selama ini aku makan dari makanan sisa, jadi uang jatah aku makan bisa aku gunakan saat seperti ini.” Abas menghirup dalam udara yang masuk ke lubang hidungnya, lalu menghembuskan nya perlahan. Abas merasa kasihan dengan gadis di hadapannya itu. Disaat rata-rata perempuan seusianya berkutat dengan sosial media dan ponsel pintarnya, Iwa justru sibuk mengatur keuangan dan menahan lapar karena itu. “Hari ini aku akan mentraktir mu. Aku hari ini ulang tahun.” Abas menepuk dua kali pundak sahabatnya itu. Wajah Iwa berubah cerah, “Wah, maaf Bak, aku lupa! Selamat ulang tahun ya!” pekik Iwa. Abas tersenyum ke arah Iwa. Jelas Iwa sungguhan lupa, karena Abas memang tidak berulang tahun hari ini. Abas bisa menerima itu. Abas dan Iwa berjalan berdampingan. Penampilan Abas yang bersih, wangi dan tampan, membuat beberapa penghuni kos berbisik sambil menatap aneh Iwa yang berjalan di samping Abas. Abas dilahirkan di keluarga biasa, ayah Abas adalah ustadz yang sering mengisi pengajian di masjid, Iwa mulai akrab dengan Abas saat satu sekolah, padahal mereka sering bertemu ketika Iwa mengaji setelah magrib di masjid. “Apa kabar kamu? Setelah lulus kamu melanjutkan kemana?” tanya Iwa. “Aku ditawari kuliah. Aku dapat beasiswa, kamu lupa?” Abas balik bertanya. Iwa mengangguk, pastinya Iwa ingat, karena yang mendapatkan beasiswa itu bukan hanya Abas, tapi juga Iwa. Tapi, Iwa menolak itu, karena keadaan tidak memungkinkan Iwa untuk kuliah. Jangankan kuliah, memikirkan Iwa tidak akan mendapatkan uang beasiswa setiap semester saja membuat Hendrawan bingung karena tidak ada lagi uang masuk baginya, “Oh iya. Mungkin kalau aku ambil juga, kita akan satu tempat kuliah. Mengerjakan tugas bareng, makan di kantin bareng, seru-seruan bareng..” suara Iwa bergetar. Iwa membuang tatapannya ke lain arah. Iwa baru sadar, ternyata Iwa sangat lelah. Iwa sudah bertahan sejak usia delapan belas hingga kini usianya sudah genap dua puluh tahun. Abas membiarkan, ia tidak ingin menahan Iwa bila ingin menangis. Iwa dan Abas duduk di kursi tunggu di depan gerbang kos Iwa. Iwa mengatur nafas, dan terlihat menyeka pipinya masih dengan wajah yang dipalingkan ke lain arah. Tangan Iwa memegang ujung kursi kayu, kali ini ia menundukkan wajahnya. “Ak-aku doakan, kamu sukses, Bas..” setelah itu tangis Iwa pecah. Tangis Iwa seperti anak bayi yang meminta s**u. “Huhuhu, ma-maaf, a-aku mena-menangis..” Iwa sesenggukan. Abas menyodorkan tissue ke arah Iwa. Iwa meraihnya. “Aku akan selamanya menjadi sahabatmu. Walaupun kamu tidak kuliah, tapi kita akan tetap belajar bersama, seru-seruan dan melakukan banyak hal bersama. Aku berjanji..” ucapan Abas membuat Iwa mengangkat kepalanya. Terlihat wajahnya yang kusam dan menghitam semakin aneh, kantung mata bengkak, pipi sembab dengan air di ujung hidungnya. Iwa memeluk Abas yang duduk di sampingnya. “Kamu memang sahabat terbaik aku, Bak!” Abas membulatkan mata, ia tidak menyangka kalau Iwa akan memeluknya seerat ini. Abas merasa sesak, bukan karena pelukan Iwa yang terlalu erat, tapi karena hal lain. Dan Abas tidak tau apa itu. Abas hanya bisa diam, mendengar Iwa terpekik kegirangan. “Awas ingus mu menempel di kemejaku.” Bisik Abas pelan. Iwa menepuk punggung Abas, ia masih memeluk anak pak ustadz itu. Kalau ayahnya tau, mungkin Abas akan di coret dari kartu keluarga pak ustadz. *** Mahesa meletakkan garpu dan sendok di kedua sisi piringnya yang sudah nyaris kosong, hanya sisa-sisa nasi goreng yang Syafa buat masih tersisa. Syafa yang sedari tadi duduk menemani suaminya makan itu masih asik dengan ponsel di tangan. Syafa tidak sadar bahwa Mahesa sudah selesai melahap habis nasi goreng yang tersaji. “Sebenarnya apa alasanmu belum mau memiliki anak?” tanya Mahes memulai pembicaraan, “Hm,” Syafa menyelesaikan ketikan di ponselnya, lalu meletakkan nya di atas meja, “menurutku, kita harus pacaran dulu sayang setelah menikah, kalau punya anak nanti…” “Nanti apa? Mengganggu?” potong Mahesa. Bagi Mahesa keturunan adalah hal terpenting, itu juga yang diinginkan Oma Aning saat ini. Oma masih belum terlalu menyukai Syafa, bila Syafa hamil, mungkin pikiran Oma akan berubah kepadanya. “Usiamu nyaris kepala empat, usia kita semakin bertambah.” Mahesa berkata tegas. Tatapan Mahesa lurus ke Syafa yang belum acuh dengan ucapan Mahesa. “Mahes sayang, memiliki keturunan itu harus dipikirkan masak-masak. Kita harus mempersiapkan semuanya.” Syafa meletakkan telapak tangannya ke atas lengan Mahesa, “Usiamu saat ini sudah risiko tinggi bila hamil, kamu bilang mau menunggu lagi. Kapan? Sampai kamu menopause?” Mahesa mulai kesal, “lagipula, kalau hanya anak, mudah sekali aku mencukupi atau bahkan melebihkan apa yang mereka perlukan.” Syafa terdiam. Satu bulan memang waktu yang baru untuk sepasang suami istri, namun Mahesa selalu menuntut Syafa untuk program kehamilan, mengingat usia Syafa yang tidak lagi muda. “Kamu pikirkan baik-baik,” Mahesa memundurkan kursi, lantas berdiri, “satu lagi, kurangi main ponsel. Apalagi saat menemaniku. Aku tidak menyukai sikap seperti itu." Sambung Mahesa dingin. Syafa menatap suaminya aneh, ia tidak menyangka Mahesa bisa marah dan sensitif seperti itu. Dalam hati Syafa, ia juga sebenarnya memiliki keinginan yang sama untuk memiliki keturunan. Tapi, Mahesa tidak sepatutnya meminta hal seperti itu dengan cara yang arogan. Setelah melihat Mahesa masuk ke dalam kamar, Syafa mengangkat kedua bahunya, lalu mengambil dan menghidupkan ponselnya kembali. Syafa mengerti kegundahan Mahesa. Syafa meyakini dirinya, bahwa besok juga Mahesa akan kembali dan melupakan masalah malam ini. Selama tidak bertemu dengan neneknya, Mahes tidak akan sering mengingat mengenai anak. Mahesa masih lebih muda darinya, sebagai seseorang yang lebih tua, Syafa berusaha mengerti kegundahan yang sedang di alami Mahesa. Selain itu Mahesa juga mendapatkan dorongan berat dari Oma nya. Oma terlalu memikirkan masa depan suaminya. Oma Mahesa nyaris tidak memikirkan siapapun, yang ia pikirkan hanya nasib perusahaan yang sudah cukup lama ia kendalikan sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN