Gedung 30 lantai itu berdiri kokoh, NexaTech Solutions—perusahaan keluarga yang dikelola turun-temurun oleh keturunan Terazqi. Saat ini, perusahaan itu dikelola oleh Bastian Danuel Terazqi, perusahaan milik keluarga itu semakin berkembang pesan di bawah kepemimpinan Bastian, keluarga Terazqi menjadi salah satu keluarga paling kaya dan dihormati berkat Bastian.
Pagi ini, suasana perusahaan begitu ramai seperti biasanya. Di lantai satu, orang-orang berlalu lalang dengan langkah tergesa, sebagian melangkah santai dengan segelas kopi di tangannya. Resepsionis berdiri di balik meja dengan pakaian sederhana yang memancarkan keanggunan, dia berbicara lembut dengan para tamu.
Di lantai atas, para pegawai sudah duduk di tempatnya—komputer menyala, tumpukan berkas berada di sisi komputer. Jari mereka bergerak lincah menekan setiap tuts keyboard, mimik wajah mereka begitu serius
Di lantai tiga, gedung khusus staff keuangan tampak ricuh. Mereka sibuk membicarakan perihal gosip hangat yang baru saja tersebar. Meski mata mereka fokus pada komputer, tetapi bibir mereka dengan lancar membicarakan kabar yang mereka dengar itu.
Bianca sedari tadi memilih menyimak mi cup yang sengaja dia beli sebelum ke kantor. Dia tengah memahami gosip yang beredar luas di NexaTech Solutions. Dengan mata yang tak lepas dari rekan kerjanya, Bianca menggunakan telinganya dengan baik untuk mendengar.
"Tapi nona Aurel emang posesif, dia cuman mau dia saja yang dekat pak Bastian," kata Rahma dengan nada julid.
"Aurel? Siapa Aurel? Apa cewek kemarin?" kata Bianca dalam hati.
"Ya wajar, sih. Nona Aurel sesayang itu ke pak Bastian, pak Bastian juga setakut itu sama nona Aurel." Aluna menyahut setelah sekian lama terdiam.
Ririn mencibir dengan suara pelan. "Ya kalau sekadar jadi teman juga nggak boleh, itu namanya egois," selanya dengan malas.
"Dari teman bisa jadi cinta, by the way," sahut Ryan dengan kekehan.
"Menurutmu deh, Yan! Wajar nggak?" timpal Aurin dengan nada penasaran.
Ryan terdiam sejenak, dia tampak berpikir keras sebelum menjawab. Tak lama, kepala pria itu mengangguk pelan—dia melirik Bianca yang masih menyimak dan menghabiskan minya.
"Wajar aja, dia sesayang itu sama pak Bastian. Sejauh ini, nona Aurel juga selalu dapat perlakuan baik, wajar dia sesayang itu ke pak Bastian. Ya, walau salah juga terlalu posesif."
"Aurel itu siapa?" celetuk Bianca di tengah-tengah pembicaraan.
Mendengar celetukan Bianca, mereka sontak menoleh—lantas saling memandang satu sama lain. Mereka melupakan Bianca yang masih anak baru dan belum tahu banyak hal tentang perusahaan ini.
Rahma berdeham pelan, dia menatap serius Bianca. "Nona Aurel itu—"
"Kenapa mengobrol? Kalian tidak digaji untuk itu." Suara kepala divisi memenuhi ruang divisi itu.
Mereka langsung kembali ke posisi masing-masing, menyelesaikan obrolan panas mereka. Sementara itu, Bianca mendengus sebal saat dirinya tak mendapatkan informasi apa pun mengenai Aurel.
***
"Siapa sih Aurel?! Kenapa kayaknya penting banget di hidup si tua bangka itu?" celoteh Bianca seorang diri.
Dia menuangkan air panas ke dalam cangkir dan mengaduk kopi buatannya. Bianca sempat menoleh ke kanan dan kiri, dia merasa heran saat tak menemukan satu pun petugas kebersihan di dapur. Mengedikkan bahu, Bianca mencoba untuk tak peduli.
Bianca membalikkan badan, wanita itu terkesiap saat mendapati sosok Bastian yang memasuki dapur. Dia sempat ingin kabur, tetapi Bastian telah lebih dulu menahan tangan Bianca. Bianca berusaha melepaskan tangan Bastian dari lengannya, wanita itu berdecak sinis lantas melirik Bastian tak sudi.
"Pak? Lepas! Nanti ada yang lihat," protes Bianca yang justru diabaikan oleh Bastian.
Bastian tersenyum miring, dia mengambil cangkir di tangan Bianca lantas meletakkannya di meja. Pria itu menarik pinggang Bianca mendekat—memeluknya, dan menekan pinggang wanita itu agar semakin menempel.
"Kenapa kamu takut, heem? Di sini cuman ada kita berdua," bisik Bastian tepat di samping telinga Bianca.
Wanita itu mendelik kesal mendengarnya, dia semakin kuat mendorong tubuh Bastian untuk menjauh, meskipun tak ada pergerakan dari Bastian sendiri.
"Bapak pikir nggak akan ada yang bisa masuk ke pantry apa?!"
Bastian mengabaikan protesan Bianca, jemari pria itu bahkan dengan berani mengelus pinggang ramping Bianca. Tindakannya berhasil membuat Bianca melototkan mata, antara terkejut dan juga takut. Kepalanya menoleh ke belakang, takut-takut ada yang akan masuk ke dapur nantinya.
"Pak, Bapak ngapain?!" bisik Bianca panik.
Bastian tersenyum dengan wajah polos, dia dengan sengaja menggoda wanita di pelukannya. "Saya? Saya nggak ngapain," jawabnya dengan enteng.
Bianca menarik napas dalam mendengar jawaban itu, kepalanya terasa panas mendengar jawaban Bastian. Baru saja dia ingin bersuara, tetapi derap langkah kaki yang terdengar lebih dari satu orang membuat Bianca langsung mendorong kuat tubuh Bastian, entah dia dapat kekuatan dari mana.
Mengambil kopinya, Bianca lantas keluar dari dapur dengan sedikit terburu-buru, dia sempat menatap tajam Bastian yang dibalas senyum santai oleh pria itu—seakan Bastian memang sengaja membuat Bianca nyaris kehilangan jantungnya.
"Lucu," gumam Bastian dengan senyuman, sebelum senyuman itu luntur berubah dengan wajah datar.
***
Ruang keluarga kediaman Terazqi tampak sepi, hanya ada Aurel dan juga Dania yang tengah menonton kartun. Meskipun televisi menyala, tetapi terkadang keduanya mengabaikan televisi dan memilih melihat ponsel.
Aurel mendengus, dia membanting ponselnya ke samping. Dania yang mendengar itu sontak menoleh, dia menatap Aurel dengan tatapan heran. Wanita itu sontak meletakkan ponselnya di atas paha, dia memandang keponakannya dengan lekat.
"Kamu kenapa, Sayang? Sini cerita sama Ami," katanya dengan nada lembut.
Aurel mendengus sebal. "Papa belakangan ini selalu pulang malam, pulang-pulang bau parfum cewek, Ami! Papa pasti lagi deket sama cewek kegatelan dan mata duitan," adu Aurel dengan nada kesal yang begitu ketara.
Dania mengerutkan kening. "Kamu tau darimana itu cewek mata duitan, Rel?" tanyanya.
Aurel menghela napas. Dia menyandarkan tubuhnya di sofa, gadis itu melipat tangan di depan d**a. Wajahnya begitu masam, dia tentu ingat mengenai perempuan-perempuan yang selama ini mendekati sang ayah, semuanya hampir sama.
"Ya 'kan gitu cewek-cewek yang deketin papa? Nggak bener semua!" cibir Aurel dengan wajah sinis.
Dania menggeleng pelan, dia lantas mengusap kepala sang ponakan. "Bukan berarti kamu bisa menyamaratakan semua perempuan, Sayang. Kamu seharusnya minta penjelasan papamu bukan bikin asumsi sendiri," tutur Dania dengan begitu lembut.
Aurel yang mendengar itu memutar malas bola matanya, tak sopan. Namun, Dania tahu ini bukan saatnya menegur keponakannya. Dia hafal betul karakter Aurel yang memang seenaknya sejak dahulu.
"Papa mana mau ngejelasin, isinya ngelak doang. Ami tuh harusnya belain aku tau!" protes Aurel.
"Ami nggak ngebelain siapa pun, Aurel. Ami cuman melihat dari banyak sudut pandang. Sekarang kamu masuk kamar, renungin tindakan dan sikap kamu ke Ami tadi. Urusan papamu biar Ami yang urus," kata Dania penuh penekanan.
Aurel berdecak cukup keras. Meraih ponselnya tak sabaran, dia lantas beranjak pergi dari ruang keluarga tanpa mengatakan apa pun. Dania hanya bisa menghela napas, kekurangan kasih sayang dari sang ibu membuat Aurel terlalu sulit dikendalikan sejak dulu.
"Anak itu nggak berubah," ucap Dania pada dirinya sendiri.