Bab 11. Terbuai

1117 Kata
Pagi itu, bandara tampak ramai. Udara dingin yang berasal dari AC central menyapu setiap lorong yang dilewati dengan tergesa-gesa, suara roda kopor beradu dengan lantai yang cukup mengkilap. Aroma kopi mahal menyebar, asalnya dari kafe yang ada di sekitar bandara. Pengeras suara menggema, memanggil nama yang bahkan sulit untuk dieja. Sementara itu, layar keberangkatan menunjukkan delay, on time, delayed again. Suasana tak berhenti sampai di sana—di tengah gate, beberapa orang tengah berpelukan saat melepas orang terkasih. Ada doa dan harapan dalam pelukan itu, tangis, dan rindu yang kelak akan membuncah. Di tengah keramaian itu, seorang perempuan menyeret kopernya dengan tangan kiri. Tangan kirinya memegang gelas yang terbuat dari karton, dia menyesap kopinya perlahan. Kacamata bertengger di atas kepalanya, perempuan dengan hotpants, tanktop, serta long cardigan yang panjangnya selutut, melangkah dengan elegan—mengabaikan beberapa orang yang meliriknya. Ponselnya berbunyi, dia menghentikan langkahnya—tangan kirinya mengambil ponselnya yang ada di saku hotpants yang dia kenakan. Sebuah nama tertera di layar, dia tersenyum menampilkan gigi ratanya, matanya berbinar. Dengan sedikit tergesa, dia mengangkat panggilan suara dari seberang sana. "Hallo, Abang. Aku udah landing, nih. Siapa yang jemput aku?" tanyanya dengan semangat. "Kamu dijemput supir, ya, Dan. Abang lagi ada urusan, ada meeting pagi ini," jawab seorang pria. Dia mengangguk. "Oke, Abang. Semangat!" Panggilan telepon itu mati. Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Meraih kopernya, perempuan itu melangkah anggun dengan koper yang dia seret. Dia melangkah keluar, kepalanya bergerak ke sana dan ke mari mencari seseorang—sampai matanya menangkap seorang pria paruh baya yang menunggunya di depan mobil Alphard. Senyumnya melebar, dia melangkah cepat ke arah supir pribadi keluarganya itu. "Pak Seno!" seru perempuan itu bersemangat. "Nona Dania, bagaimana kabarnya? Senang tinggal di Jepang?" tanya supir itu seraya mengambil alih koper Dania. Dania mengangguk pelan masih dengan senyuman yang belum pudar. "Happy, Pak. Oh iya, saya mau mampir dulu ke restoran favorit saya. Bapak bisa tolong anter ke sana dulu? Nanti baru pulang," pinta Dania. Seno mengangguk, tentu dia tak bisa membantah keinginan salah satu nona mudanya. Dia membukakan pintu untuk Dania, mempersilakan Dania masuk—lantas berlari pelan ke sisi lain mobil. Mobil mewah itu perlahan meninggalkan kawasan bandara, asapnya mengudara—menyatu dengan asap kendaraan lain. *** "Ami ...!" Teriakan itu menyambut Dania, dia merentangkan tangan dengan senyuman lebar—menyambut seorang gadis yang berlari ke arahnya. Pelukan itu terasa hangat, menjalar sampai hati. Dania mengecup pucuk kepala gadis itu, tangannya mengelus punggung gadis dalam pelukannya. Setelah lima menit, pelukan itu mereka lepas. Tatapan hangat Dania membuat gadis yang tingginya sebatas bahu Dania itu merasa nyaman dan tenang, matanya berkaca-kaca dengan bibir gemetar. "Ami, aku kangen tau nggak? Ami lama banget di Jepang, dua tahun? Itu lama, Ami!" katanya dengan suara bergetar. Dania tersenyum manis, dia mengusak lembut rambut gadis itu. "Aurel, Aurel 'kan tahu Ami ada urusan bisnis. Maaf, ya, Sayang?" sahutnya. Aurel, gadis itu mengangguk lemah. Menghapus air matanya, Aurel menepi saat sang nenek menghampiri perempuan yang masih berdiri di ambang pintu. Dian memeluk perempuan itu dengan erat, pelukan Dian begitu erat dan hangat, mampu membuat Dania merasa pulang. "Mama kangen kamu, Sayang. Kangen banget," ucap Dian dengan lembut. Dania mengangguk dalam pelukan sang ibu, perempuan berusia 26 tahun itu tersenyum tipis. Dia juga merindukan rumahnya, keluarganya, dan kekasihnya yang dia tinggal selama dua tahun ini. "Dania udah pulang, Ma. Dania juga ada oleh-oleh untuk kalian semua. Urusan Dania udah selesai di Jepang, Mama tenang aja ya? Sekarang Dania di sini bareng Mama, nemenin Mama," katanya dengan suara rendah. Dian tersenyum, dia melepaskan pelukannya. Wanita itu mengusap pipi kiri sang anak. "Nanti abang sama papamu pulang, kita langsung dinner ya? Mama udah siapin masakan kesukaan kamu sama Aurel." Dania tersenyum, dia mengecup kening sang ibu. Sementara itu, Aurel tersenyum haru. Keluarganya begitu hangat meskipun dia tak memiliki seorang ibu, tetapi kehadiran mereka sudah lebih dari kata cukup. *** Suara desahan itu menggema di kamar ukuran 3×3 meter itu. Kipas angin tak lagi mampu mendinginkan dua tubuh yang dibakar hasrat. Pintu kamar terbuka, membiarkan ruang tamu menjadi saksi apa yang dilakukan dua insan manusia di dalam kamar itu. Napas wanita itu terengah, tubuhnya dipenuhi jejak merah keunguan. Tangan mungil wanita itu menahan tubuh pria yang ada di atasnya, dia berusaha mendorong d**a pria itu untuk menjauh. Namun, hasilnya justru sia-sia—tenaganya kalah besar dengan pria berbadan kekar di atasnya. "Kenapa, hm? Kita sudah terlanjur telanjang juga, kenapa harus berhenti?" Pria itu meniup telinga wanita yang berada di bawah kendalinya, berusaha mengobarkan kembali hasrat wanita itu. "Pak Bastian, ini salah! Kita berdua salah!" Bianca berucap dengan napas terengah. Bastian tak peduli, pria itu justru tersenyum miring. Dia membelai wajah Bianca, lantas benda tanpa tulang itu menyusuri wajah Bianca—membuat Bianca melenguh dengan mata terpejam. Bastian memang ahlinya merayu dan menggoda. "Apa yang sudah saya genggam, tidak akan semudah itu saya lepas, Bianca," bisik Bastian di depan wajah Bianca. Mata Bianca terbuka, belum sempat dia bicara—bibir Bastian telah lebih dulu menyambar bibirnya. Mencecap rasa manis yang berasal dari liptint, tangan Bastian juga menjelajah ke bawah, melepas dalaman yang Bianca kenakan. Siang itu, terjadi lagi. Kejadian yang merenggut kewarasan kembali terulang. Bianca kembali terbuai, dia dibuat mabuk kepalang dengan sentuhan liar dan kalimat liar Bastian. Di rumah yang tak terlalu besar itu, keduanya kembali memadu kasih tanpa mengenal lelah. *** Suara denting jarum jam terdengar riuh di tengah sepi ruang tamu yang cukup besar itu. Seorang gadis duduk di sofa, kakinya bertumpu dengan kaki lainnya. Tangan gadis itu berada di atas paha, tergenggam kuat bahkan memerah. Wajah gadis itu datar, tatapan matanya begitu menusuk. Berulang kali dia menoleh—menatap pintu masuk yang masih tertutup, suara kendaraan yang terparkir di halaman juga tak terdengar. Hanya riuh suara jam yang bergerak setiap detiknya mengisi kesunyian. Rumah besar itu seakan mati, tak ada kehidupan di dalamnya. Dia berdecak, memukul sofa dengan tangan terkepal. Wajahnya memerah, bibirnya digigit berulang kali—cemas, marah, tak sabar, semua menyatu mengaduk perasaan gadis itu. Dia melirik ponsel dengan logo apel tergigit itu, ponselnya mati dan notifikasi yang dia tunggu tak kunjung menyapa. Mengambil ponselnya dengan kasar, dia mencoba menghubungi salah satu nomor. Namun, tak ada balasan, selain suara operator yang memintanya menghubungi lagi nanti. "Papa, Papa ke mana?! Jangan bilang sama si Bianca, Bianca itu!" Aurel berucap dengan geram, tangannya semakin terkepal. Sementara itu, tangan kanannya meremat kuat ponsel seharga puluhan juta itu. Di sisi lain, sosok yang dicari tengah tertidur pulas di dalam dekapan seorang wanita. Wajahnya terbenam di d**a wanita itu, dia tak tahu jika di rumah semegah istana itu ada gadis kecil yang menanti kepulangannya dengan amarah yang memuncak. Dia terlalu hanyut dalam gairah dan hasrat yang sudah lama tak dia rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN