Aurel masuk ke dalam ruangan sang ayah tanpa mengetuk pintu. Aurel melangkah dengan wajah datar, persis seperti ekspresi Bastian selama ini. Gadis itu duduk di sofa, dia bersandar dengan nyaman—satu kakinya disilangkan di kaki lain, gerakannya perlahan, tetapi cukup menunjukkan jika dia nyaman.
Aurel menatap sang ayah yang seakan tak menyadari kehadiran dirinya. Dia mendengus sebal, tangannya menyilang di depan d**a—angkuh dan dingin. Aurel seakan memiliki aura yang terlalu dominan untuk gadis seusianya, besar tanpa didikan ibu membuat dia begitu mirip dengan Bastian.
"Pa! Aku ada di sini, lho!" protes Aurel pada akhirnya.
Bastian mendongak, dia memperbaiki posisi kacamatanya. Pria itu tersenyum hangat. "Maaf, Cantik. Papa terlalu fokus, kamu kenapa ke sini?" tutur Bastian dengan lembut.
Aurel menegakkan tubuh, dia berdeham pelan. "Mau ngajakin Papa dinner bareng, Papa harus mau karena aku nggak menerima penolakan," ujarnya dengan tegas.
Bastian mengangguk tanpa ragu. Pria itu tersenyum tipis, keinginan Aurel akan selalu dia turuti. Sekadar makan malam bersama bagi Bastian bukanlah hal yang sulit, dia akan meluangkan waktu untuk itu.
"Setelah selesai pekerjaan Papa, kita makan di restoran favorit kamu, ya." Bastian melirik jam tangannya.
Aurel mengangguk tak keberatan. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dia memainkan benda pipih itu dengan ekspresi datar. Sesekali Bastian akan melirik sang anak saat dirinya membereskan beberapa berkas.
Sejujurnya Bastian sedikit heran dengan kehadiran Aurel ke perusahaan, anaknya itu tak biasanya datang ke perusahaan apalagi untuk hal kecil. Bastian berdeham pelan, dia menegakkan tubuh—pria itu melepas kacamatanya. Dia mengusap matanya yang berair, Bastian masih menatap lekat sang putri.
"Enggak usah lihatin aku segitunya, Pa. Cukup ngomong aja," cetus Aurel dengan nada malas, merasa muak dengan kelakuan sang ayah.
Bastian menggelengkan kepala. "Kamu tumben ke sini? Nggak kayak biasanya," tanya Bastian dengan nada penasaran.
"Emang kenapa, Pa? Nggak boleh?" Aurel meletakkan ponselnya di sofa, dia menatap sang ayah dengan satu alis terangkat.
Bastian menghela napas saat pertanyaan dirinya dibalas pertanyaan. Pria itu lantas menggeleng, dia kembali memakai kacamatanya.
"Bukan nggak boleh, Sayang. Aneh aja kamu tumben ke sini," jelas Bastian.
Aurel mengangguk mengerti. "Aku bosen aja di rumah, mau ke rumah oma sama opa, malas."
Jawaban itu diangguki oleh Bastian. Dia kembali melanjutkan kegiatannya, sedangkan Aurel memilih membaca novel yang dia bawa untuk menghilangkan jenuh.
Hening menyelimuti keduanya, terkadang suara papan ketik yang ditekan tak sabaran memecah hening pun dengan detak jam dinding. Keduanya hanyut dalam kegiatan masing-masing di dalam ruangan yang cukup besar itu.
***
Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 18.20, tetapi Bianca masih duduk di lesehan di depan meja televisi. Di hadapannya sebuah laptop menyala, di sisi laptop—secangkir kopi mulai mendingin.
Di luar, langit berubah warna—jinga memudar berganti dengan ungu keabu-abuan. Musik jazz masih mengalun sejak satu jam yang lalu, tetapi Bianca tak lagi fokus mendengarnya. Pikiran wanita itu semacet jalanan Ibukota.
Bianca mendesah pelan, dia menyandarkan punggungnya pada sofa yang ada di belakang. Wanita itu mengusap asal wajahnya, tugas kali ini benar-benar membuat dirinya pusing dan tak bisa berpikir.
Bianca menatap kosong laptop miliknya, dia menghela napas. Meraih cangkir kopinya, lalu menyeruputnya perlahan.
"Kenapa tugasnya harus analisis SWOT perusahaan, sih?" gumamnya, seraya meletakkan cangkir pada meja.
Bianca meraih ponselnya, jarinya bergerak mencari kontak Alin. Dia langsung menghubungi Alin, wanita itu menunggu telepon diangkat oleh sahabatnya. Hingga pada dering ketiga, panggilan suara itu tersambung. Bianca mendesah lega.
"Kenapa, Bi?" tanya Alin dari seberang sana.
Bianca mendesah panjang, helaan napas wanita didengar jelas oleh Alin di seberang sana.
"Tugas gue susah banget. Lu ke rumah gue, dong, Lin. Temenin gue, butuh temen ngobrol ini gue," kata Bianca dengan nada sedikit memelas.
Alin mendengus di seberang sana, dia lantas mengangguk pelan. "Beres jalan sama cowok gue, gue ke sana."
***
Aurel menatap sekitar dengan tatapan datar, lalu pandangannya beralih pada makanan yang tersaji di atas meja. Tepat pukul 19.30 wib, dia dan Bastian tiba di restoran favorit mereka sejak dulu.
Restoran yang berdiri sejak tahun 80-an itu masih ramai hingga sekarang. Pengunjungnya pun dari berbagai kalangan, entah mereka datang untuk makan ataupun sekadar menikmati konsep restoran yang terus berkembang mengikuti zaman.
Aurel memotong steaknya dengan gerakan lembut—seakan segala pergerakan ya sudah dia perhitungkan. Dengan gerakan anggun, Aurel memasukkan daging itu ke dalam mulutnya—dia mengunyahnya perlahan. Kepala Aurel mengangguk pelan, rasa steak favoritnya masih belum berubah.
Sementara itu, Bastian nampak menikmati iga mercon yang menjadi favoritnya. Bibir pria itu menebal dengan wajah memerah, rasa pedas yang dia rasakan menyerang lidahnya dengan buas.
Aurel meraih gelas berisi jus stroberi. Dia menyeruputnya melalui sedotan, tatapan gadis itu tak lepas dari sang ayah yang masih menikmati makanannya. Aurel meletakkan gelas itu perlahan, gadis itu lantas berdeham sedikit keras guna menarik perhatian Bastian.
"Kenapa, Sayang?" tanya Bastian dengan heran.
"Papa lagi deket sama siapa?" Pertanyaan tanpa basa-basi itu sempat membuat Bastian linglung.
Pria itu berdeham pelan, dia menggaruk pipinya. Matanya menatap tak mengerti ke arah sang putri.
"Maksud kamu, Rel? Emang Papa deket siapa?" Bastian mencoba mengelak, dia memberikan tatapan paling meyakinkan pada sang putri.
Aurel berdecak sebal, dia tahu betul ayahnya tengah mempermainkan dirinya. Meletakkan pisau dan garpu di atas piring—Aurel melipat tangannya di atas meja, tatapannya begitu intens dan menusuk.
"Papa pikir aku lupa Papa manggil nama Bianca pas Papa mabuk?" ungkap Aurel dengan nada sinis.
Bastian mematung sejenak. Pikiran pria itu mendadak berisik, berusaha mencari jawaban yang tepat agar Aurel percaya.
"Itu cuman orng mabuk, Rel." Bastian terbaruk kecil, dia memperbaiki letak kacamatanya. "Kamu kayak enggak tau orang mabuk aja," sambung Bastian berkilah.
Aurel menghela napas. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatap matanya masih sama, datar dan kosong.
"Papa kayak lagi bohongin anak kecil. Jangan sampai Papa lakuin hal lebih, awas aja! Aku nggak mau punya mama tiri." Aurel berceloteh dengan nada kesal.
Bastian terpaksa mengangguk agar pembahasan ini selesai. Dia memberikan kode pada Aurel untuk melanjutkan makannya. Sementara itu, pikiran Bastian masih penuh dan berisik. Dia tahu putri sulungnya sudah mencurigai dirinya dan ini akan menjadi boomerang nantinya.
"Aurel belum boleh tau, dia pasti nggak terima." Bastian mendesah lirih, dia mengusap d**a bersyukur setelah menemukan jalan keluar.