3. You're So Funny

926 Kata
“Gue kira lo diantar sama kedua pacar lo itu,” ejek Alvaro tanpa memerdulikan wajah Akira yang menajam. Perempuan mungil itu melangkah melangkah Alvaro sambil berkacak pinggang. “Ternyata lo hampir nabrak gue tadi pagi.” Memang tadi pagi hampir ia menjadi korban tabrak lari dan itu karena kecerobohannya yang tidak sempat menoleh ke kanan dan kiri. Alhasil ia tidak mau, harus malu harus bangun wajah tembok di depan laki-laki ini. Ia berharap tidak akan bertemu lagi. Perkataan Akira membuat kerutan di dahi Alvaro tercetak jelas. "Ralat, lo yang hampir nabrak gue." Seketika Akira malu sekaligus bercampur marah. Dengan tampang tidak peduli ia melenggang pergi meninggalkan Alvaro yang mengejarnya. Lalu, mencekal tangan kanan perempuan itu membuat pemiliknya menoleh sekilas dengan pandangan setajam silet. “Gue perhatiin dari tadi lo jalan, jadi gue datang untuk menawarkan tumpangan kalau lo bersedia,” ujar Alvaro menatap Akira tulus. Ia tahu perempuan mungil ini tengah menahan lapar. Jika ditanya Alvaro tahu dari mana, biarlah hanya Alvaro yang tahu. Sebab, takdir selalu mempermainkan hati manusia. Karena gengi Akira terlalu besar, ia pun menepis tangan Alvaro keras. Enggak. Makasih, ”pungkas Akira tersenyum tipis. Lagi-lagi Alvaro mencekal pergelangan tangan Akira. “Gue tahu lo lapar. Setidaknya kalau lo enggak mau gue antar pulang. Lo harus mau gue ajak makan. ” Dengan berat hati, Akira pun menaiki motor besar Alvaro setelah beberapa saat beradu argumen yang tentu saja Akira kalah dan lebih menuruti kemauan laki-laki itu tanpa harus bertanya. Karena ia yakin tidak akan ada habisnya. *** Mulut kecil Akira berkali-kali bergumam mengabaikan tatapan bingung dari laki-laki yang sejak tadi sudah memperhatikannya. Matanya tepat mengarah pada bibir yang bergerak-gerak, ia ingin menerka apa yang dikatakan wanita mungil itu. Benar-benar penasaran. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan. Hanya senyuman tipis yang diakhiri kerutan di ke dua alisnya. Satu hal yang Alvaro tahu, Akira memiliki kebiasaan menukikkan alisnya atau mengerutkan dahinya ketika sedang bingung. “Nanti lo balikin gue di tempat semula ya.” Mata kecil Akira menatap tepat pada mata hazel milik Alvaro. Ia baru sadar bahwa laki-laki di hadapannya tidak hanya tampan, melainkan sangat tampan. Entah mengapa Alvaro mempunyai warna mata yang sering berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Terpaku pada tatapan Akira membuat Alvaro sedikit kebingungan. Mata coklat terang itu mampu membuat dirinya tersihir meski hanya sewaktu-waktu. Namun, efek yang ditimbulkannya sangatlah besar. Bahkan nyaris membuat dirinya kehilangan akal untuk tidak mengarungi perempuan yang sangat menggemaskan ini. “Emang kalau gue ke rumah lo kenapa?” tanya Alvaro menatap tepat pada titik kejujuran Akira. Sejenak Akira wawasan pandangannya, ia tidak nyaman dengan tatapan Alvaro yang terlalu menelisik. Gue enggak butuh tumpangan. "Oh ya?" Alvaro mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Akira. Dengan wajah setenang mungkin Akira menjawab, “Lo bukan siapa-siapa gue dan enggak seharusnya lo peduli sama gue.” “Kalau gue suka sama lo dari pandangan pertama gimana?” tanya Alvaro tersenyum miring. Bukannya malu, Akira malah menunjukkan wajah aneh saat menatap senyum Alvaro yang terlihat seperti lelaki hidung belang. Tears Of Death Uap panas terus mengepul hingga membumbung ke udara. Suara sahut-sahutan antara wajan dengan sutil membolak-balikkan nasi yang terus diaduk. Harum makanan khas tercium, termasuk Akira yang tak henti-henti tersenyum menikmati harum khas makanan yang begitu semerbak. Sangat berbeda dengan laki-laki yang ada di hadapan Akira, nampak sedikit tidak nyaman dan berkali-kali mengibaskan inisiatif sambil terbatuk pelan. Entah apa yang membuat Alvaro memutuskan untuk makan di pinggir jalan. Meskipun ia mampu membawa Akira ke restoran mahal, tetapi menolak perempuan itu menolak dan alhasil di sinilah mereka sekarang. Sebuah kawasan di daerah Bekasi Barat. Wisata kuliner, begitulah nama tempatnya. Akira yang sangat cocok dengan tempat ini pun melenggang pergi tanpa memperdulikan Alvaro. Ia sangat terlena melihat jajaran pedagang makanan kesukaannya. Tepat ketika mereka masuk sudah disuguhi pedagang sate, soto ayam, dan nasi goreng. Dan pilihan Akira jatuh pada nasi goreng milik Pak Jamal. Saking hafalnya dengan tempat ini, ia bahkan hafal nama pedagang yang ada, termasuk nama pedagang arum manis yang berada di paling ujung. “Gimana? Suasananya enak, 'kan? ” Mata Akira menatap Alvaro dengan berbinar. “Ya, sedikit.” Baru kali ini dirinya makan di pinggir jalan. Tidak buruk, dan sangat menyenangkan. Apalagi bisa melihat wajah Akira yang begitu cerah. “Ini nasgor paling enak milik Pak Jamal.” Sebuah piring mendarat tepat di hadapan Akira membuat dirinya ber-high five dengan Pak Jamal. Bapak dari pedagang nasi goreng itu sekilas seperti anak muda. “Neng Akira bisa saja,” sahut Pak Jamal tersenyum lebar sambil melenggang pergi. Sejenak Alvaro memperhatikan betapa lahapnya Akira memasukkan nasi goreng ke dalam mulut kecil itu. Dalam pandangannya sedikit tergelitik perempuan mungil yang ada di hadapannya ini sangatlah rakut. Belum ada beberapa menit, nasi yang ada di piring Akira sudah kandas. Hanya tersisa satu sendok dan garpu. Tidak ada sebutir nasi pun tersisa di sana. “Kakak kok enggak makan?” tanya Akira menatap Alvaro bingung. Hati Alvaro bergetar saat mendengar Akira menyebut dirinya dengan 'kakak'. Ah manis sekali wajah perempuan mungil ini dengan mata kecil yang berkerlip di bawah bohlam lampu yang berwarna putih terang. “Ini lagi gue makan,” jawab Alvaro menunjukkan sendok yang penuh dengan nasi. Kepala Akira mengangguk pelan sambil meraih gelas yang berisikan es teh. Seperti biasa, ia akan memakan batu tersebut hingga tak tersisa. Memiliki kebiasaan makan batu memang sudah mendarah daging untuk Akira. Bahkan pernah dengan tampang badan usaha di salah satu batu di salah satu kedai kopi Janji Jiwa. Tentu saja suara batu membuat beberapa pengunjung menatap Akira aneh. Alvaro melirik pipi Akira yang mengembung lucu. Seulas senyum menawan tercetak jelas, namun terlihat samar kala ia menutupinya dengan tangan yang tengah memegang gagang sendok. Akan tetapi, Akira masih bisa melihat dengan jelas senyuman Alvaro. “Kakak ngetawain apa?” tanya Akira sambil berusaha mempertahankan es batunya agar tidak jatuh sia-sia. “Lo lucu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN