Chapter Nine

1702 Kata
“Yaelah, Bos! Diembat juga punya gue,” lirih Daniel saat melihat butir kacang goreng di tangannya semakin berkurang. Orion mengangkat sebelah alisnya seakan menantang Daniel yang langsung manggut-manggut cemberut lucu, berpura-pura kejadian itu hanyalah gurauannya semata. Sedangkan Max hanya memijit pelipisnya, menanggapi keduanya. “Buset, si Hugo lama bener!” pekik Daniel menggema keseluruh penjuru kantin. “Perasaan gue nggak enak, mungkin aja Hugo gagal membongkar loker Tiffany,” jelas Max membuat Orion berdecak, kesal. “Perasaan, perasaan lo nggak enak mulu perasaan,” cibir Daniel seraya melahap butir kacang terakhirnya. Sebuah tangan menelengkan kepalanya dengan kuat. Hugo telah berdiri di belakangnya. “Ngomong nggak becus, bau sampah lo!” hinanya seraya duduk di sebelah Daniel, berhadapan langsung dengan Orion pada posisinya. “Sori, gue nggak berhasil. Banyak mata yang lewat dan melihat gerak-gerik gue.” Orion hanya tersenyum tipis. “Nggak masalah…” “Rion!” Seru seseorang membuat keempatnya menoleh. Gladys tengah menghampiri mereka— ah tidak. Lebih tepatnya menghampiri Orion. Jujur saja, hal itu membuat Daniel seakan tersedak oleh kacangnya sendiri. “Ada hal yang ingin kami ceritakan ke elo.” Gladys langsung mengatakan inti dari alasannya menghampiri Orion. Kami? Batin cowok itu, ragu. Sepertinya bukan hanya Gladys, ah mungkin, apakah Axela juga turut hadir nantinya? “Ini tentang Axela.” Pupus sudah harapan Orion mengingat cewek itu tidak akan mungkin hadir dalam perbincangan mereka tentang pemilik nama itu. Bahkan semakin hari, cewek itu semakin menjaga jarak dengannya. Sungguh, ia ingin menebus semuanya. Ia ingin berada di sisi Axela seperti apa yang dilakukan Alex. Bahkan lebih dari itu. Hm? Memangnya apa saja yang dilakukan Alex? Sepertinya pertanyaan dalam benaknya memperkuat gerak anggukkan itu, upaya menyetujui Gladys. *** Diana menarik napas dalam sebelum melanjutkan cerita yang nyaris membuat keempat cowok di ruang itu tercengang, tertegun bahkan hanya mampu membeku. “Sejak dulu Alex ingin melindunginya, Veniza Ravina. Bukan Tiffany Maxwell, atau yang kalian ketahui sebagai Tiffany Rose. Hanya karena fisiknya berubah, bukan berarti hati sahabat kita berubah. Ini semua demi tujuannya. Lo seharusnya paham it—” “Gue tahu, Dee. Semuanya,” cowok itu menarik napasnya dalam. “Maka dari itu gue berusaha mengulang semuanya, tapi Vaza seakan menjauh dari gue.” Orion menarik sudut bibirnya, miris. “Vaza?” Molly melebarkan kedua bola matanya. “Woileh Bos! Udah dapet aje nama kesayangan Bebeb!” Daniel memukul bahu tegap Orion yang menyipit tajam ke arahnya. Max berdeham pelan seraya melirik Hugo. “Go, buang sampah lo dulu nih!” serunya, menyindir Daniel. “Ayo! Kita keluar,” perintah Hugo seraya memiting leher Daniel, menarik cowok itu keluar dari ruang perpustakaan Diana. Daniel yang tak dapat berbuat apa pun hanya berdecak sebal. Gladys yang melihat itu memutar bola matanya, lantas perhatiannya kembali pada Orion. “Dan lo perlu tahu kalau kedua mata Axela sebenarnya adalah milik Alex.” Gladys menggeleng pelan seraya mendengus. “Ternyata lo nggak sepintar Max, Ri. Seharusnya lo sadar, saat Tiffany beralasan bahwa donor mata dari Alex itu sudah rusak menurut Dokter yang menanganinya itu sehingga saat cewek b***t itu kecelakaan, dia mendapatkan donor dari pihak lain yang bermata cokelat seperti sekarang. Ralat, seperti dulu! Sama persis. Dan lo nggak mencurigainya? Sinting.” “Gue udah terlalu percaya melihat dia mempunyai semua bukti itu, Dys.” Orion meliriknya tajam. “Lo kira semudah itu bermain dalam teka-teki konyol ini?! Gue bener-bener merasa t***l. Bahkan saat gue merasa senang-pun, karena ternyata Tiffany-lah yang mengaku dirinya masa-lalu Alex sehingga gue nggak perlu pusing mencari seseorang yang dimaksud Alex, ada sebagian bahkan sepenuhnya gue nggak percaya kenyataan itu. Tapi mau gimana lagi, hm? Gue udah berhutang sama Alex. Masa depan gue seakan dituntut oleh janji gue sendiri. Mau-nggak-mau, gue ikuti keinginannya.” Orion menghela napas, kasar. “Tapi perlakuan lo menyakiti Axela, Ri. Seharusnya, seandainya aja lo nggak membela Tiffany saat itu, Axela mungkin akan percaya lo dan menjadi milik lo sekarang,” tutur Gladys penuh penekanan. “Nggak seperti itu, Dys.” Kini semua mata beralih pada Diana. “Gue rasa, alasan Axela menjauhkan Orion bukan seperti itu. Secara, dia udah tahu bahwa Orion adalah adik Alex. Dan bukankah itu adalah salah satu tujuannya, meyakinkan Rion bahwa dia salah jika berpihak pada Tiffany? Jadi menurut gue, semua itu hanya karena Axela butuh waktu untuk masa depannya, sebagai Axela Devaza. Bukan seperti masa lalunya lagi.” Max yang paham akan keheningan sejenak setelah keterangan dari Diana meluncur begitu saja, berdeham kecil. “Begini, gue masih penasaran sama penjelasan Gladys, soal mata Axela. Kalau boleh gue tahu, alasan mata Alex bisa menjadi milik Axela itu apa? Bisa salah satu dari kalian menjelaskan ke kami?” Tatapannya memandangi ketiga cewek di hadapannya dengan bergilir. Sebuah rahasia kembali terkuak. Mengalir begitu lancar dari bibir manis milik Diana. *** Saat berita itu semakin kuat, Veniza benar-benar terkejut. Bahkan dia sendiri merasakan jiwanya turut hilang di saat yang bersamaan. Seolah malaikat telah menarik nyawanya bersamaan dengan laki-laki itu. Ketertegunannya berakhir saat semua orang telah pergi dari pandangannya. Beberapa diantaranya membantu serta membawa tubuh laki-laki yang dicintainya keluar dari kerumunan. Entah ke mana, namun saat itu juga ia merasakan tubuhnya meluruh, terjatuh ke lantai seolah penopang hidupnya kini turut menghanyut terbawa angin. Cewek itu mengejarnya, tidak peduli semua pandang mata yang memandanginya dengan nelangsa. Perih dihatinya seakan menjalar keseluruh tubuh, namun semuanya terlambat. Alex telah menghilang dari pandangannya. Tanpa mempedulikan orang-orang yang meneriaki dirinya, cewek itu tetap berlari dengan berurai air mata. Tak peduli beberapa kendaraan yang mendecit keras saat hendak menghindari dirinya. Ia tidak menyadari, saat ini dirinya berada di tengah jalan raya. Tak ada yang dapat menghentikannya saat laju sebuah angkutan umum menghempaskan tubuh rapuh itu begitu jauh. Hantaman akan tubuhnya dengan benda itu sungguh terdengar memilukan. Membuat siapa pun yang melihatnya begitu sakit, seolah merasakan dalam posisi cewek itu. Beberapa orang yang menaruh empati pada cewek malang itu, membawanya ke rumah sakit yang tanpa disadarinya adalah tempat yang sama dengan seseorang yang dicintainya. *** “Saat terbangun, Axela telah menyadari bahwa terdapat perban yang melingkari pelipisnya, menutupi kedua matanya. Saat itu dia nggak sadar bahwa dirinya sudah mengalami koma hingga beberapa minggu, sudah saatnya juga perban itu dibuka. “Saat waktunya tiba, Axela merasakan keanehan ketika dokter memberikannya sebuah cermin. Kedua matanya berubah menjadi hitam. Dia menuntut dokter itu untuk menjelaskan seluruhnya. Sang dokter-pun menjelaskan bahwa kedua mata itu berasal dari seorang pasien yang telah meninggal di hari yang sama, dan kebetulan saat itu dia membutuhkan sepasang mata baru akibat kecelakaan yang ditimpanya. “Kedua matanya buta seketika begitu sebuah motor yang berusaha menghindar tubuhnya yang terhempas, turut terhantam sebuah truk dari arah berlawanan. Motor itu hancur tepat di dekatnya. Kedua matanya terkena percikan air raksa yang berasal dari mesin motor itu. Dan begitulah alasan dokter yang ternyata ditugaskan oleh kedua orang tuanya yang sedang dalam perjalanan ke Indonesia ingin menjenguk anak semata wayangnya. “Kedua orang tuanya yang menyuruh dokter itu saat beliau mengatakan bahwa tersedia donor mata dari pasien yang baru saja meninggal. Axela ingin berteriak. Ia tidak terima bila laki-laki itu tertidur dalam peristirahatan terakhirnya dengan keadaan tak utuh. “Namun, ternyata ujian dari Tuhan untuknya tidak cukup berhenti di sana. Kedua orang tuanya meninggal saat dalam perjalanan pulang mereka. Ketika dia bahkan masih dalam keadaan koma.” Orion mengusap wajahnya gusar. Begitu mereka semua kembali pada kediaman masing-masing, tak satupun yang dapat mengalihkan ingatannya dari cerita itu. Sakit. Terasa begitu teriris hatinya mendengar titipan paling berharga dari sang Kakak ternyata tidaklah sesempurna keadaan fisiknya. Dibalik segala kekuasaan seorang Raja, bukankah beliau juga mempunyai kelemahan? Ya, dan kelemahan cewek itu adalah masa lalunya. “Seandainya gue tahu, gue akan membunuh iblis itu untuk lo, Za,” lirih Orion, kemudian menatap foto dirinya bersama Alex yang tengah tersenyum lebar menampilkan rentetan gigi mereka yang rapi, terpajang pada dinding ruang kamarnya. Orion tersenyum kecil, “Seandainya lo juga nggak menyembunyikan terus-menerus nama seseorang yang lo maksudkan itu, Lex. Mungkin semua nggak akan mempersulit gue menepati janji lo,” ujarnya pada Alex dalam gambar yang tengah tersenyum menawan. Namun sedetik kemudian ia menggeleng samar. Bukankah saat cewek itu datang, ia mengaku sebagai Axela Devaza? Dengan tampilan yang begitu berbeda. Bahkan jika saat itu Alex memberitahukan namanya maupun memberitahukan ciri-cirinya, itu tak akan menjadi pengaruh apa-apa untuk penunjuk tujuannya, benar? Ya, bukan Veniza atau Axela. Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah Tiffany. Jelas, hanya nama belakang cewek itu yang berubah, demi menutupi masa lalunya. Wajahnya pun tidak berubah. Mungkin akan lebih mudah bila Alex memberitahukan padanya sebuah fakta itu. Bahwa laki-laki itu memang mengenal Tiffany, namun tak lebih darinya menganggap sebagai seorang adik. Sehingga Orion dapat mengetahui sejak awal, jika cewek iblis itu –Tiffany– bukanlah ‘seseorang’ yang terikat dengan janjinya. Ya, seharusnya iblis cantik itu musnah dari kehidupan serta ceweknya. *** “Jadi tuh cewek harusnya udah lulus?!” Hugo memekik tertahankan. “s**t! Berasa harga diri gue melorot banget! Semoga si Molly nggak tahu kalau gue nyaris nggak naik gara-gara prestasi jeblok tiap kenaikan kelas!” “Apa hubungannya sama Molly, Go?” Max mengernyit. Hugo malah menyengir tidak karuan. “Yaaa, dia kan pasti kagum banget sama si Xela. Pastilah semua cewek berharap cowok yang kecerdasannya sepantaran Axela atau lebih tinggi lagi kalau mau bersanding sama yang bersangkutan! Nah, takutnya aja si Molly beralih sama lo-lo pada… Kecuali elo ye! Denger tuh, bau sampah!” Tunjuknya pada Orion dan Max, seketika berhenti pada Daniel dan membuat pengecualian ditambah dengan bumbu penghinaan. “Nggak napsu juga pan gue sama Molly! Kecil itunye. Cimol!” Daniel memberengut. “Eh, ngomong apaan lo? Bibir kayak rayap!” Hugo memiting leher Daniel dengan ketiaknya. “Ah anjir, mana mau si Molly sama lo, Go! Pake deodorant yang bener kenapa! Bau busuk nih Go… Go… g****k! Bos, tolongin gue Booosss!” Pekikkan Daniel mendapat hadiah berupa bantal sofa yang melayang ke arahnya. Menghantam mulus wajahnya yang semakin memerah karena menahan aroma tak sedap dari Hugo. Max menepuk pundak Orion di sebelahnya. “Nggak perlu dipikirin kalau itu hanya membuat lo merasa terus-menerus menyesal. Mending, kita tunggu saat waktunya tiba.” Max tersenyum kecil saat Orion menatap sahabatnya dari sudut matanya. “Saat rencana mereka dijalankan. Gue sepenuhnya yakin, Tiffany lebih memilih mati ketimbang mempermalukan harga dirinya sendiri.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN