Chapter Four

3241 Kata
“Jadi maksud lo, kalian udah saling kenal sejak lama? Bahkan bersahabat? Kok bisa?!” Gladys memekik membuat Molly melempar bantal milik Diana ke arahnya. Axela mengangkat bahu sekilas, “Mungkin ini terlalu cepat. Tapi gue nggak mau menunda-nunda, gue nggak sudi dia berhasil lolos lagi.” Gladys menepuk-nepuk dahinya. “Tunggu! Gue nggak ngerti nih. Maksud gue, bagaimana lo bisa tahu kalau si Maxwell-Maxwell itu ternyata sahabat lo dulu? Terus bagaimana dia bisa nggak tahu elo itu elo? Aduh gimana yah ngomongnya? Lo ngerti nggak?!” Gladys kembali memekik, rasa penasarannya begitu membuncah seakan ingin meledak dari ubun-ubun kepalanya. Axela menarik napas dalam, dan tersenyum simpul. “Akan gue kasih tau—” “Saat misi ini selesai? Huuu! Kelamaan tau nggak! Yang ada, lo kabur nanti deh. Sebegitu banyakah rahasia lo sampai harus menutup-nutupi dari kita yang udah jelas sebagai teman? Ish!” Molly berdesis. “Nggak-lah. Emang mau kabur ke mana gue, huh?” Axela berdecak gemas. Ia menyilangkan tangannya dibawah d**a. “Okay, gini aja. Secara bertahap, setiap misi itu perlahan berhasil, gue akan kasih tahu satu-per-satu. Gimana?” Sebelah alisnya terangkat. “Boleh tuh!” Molly mengangguk antusias sampai kuncir kudanya ikut terlempar tak beraturan. “Deal! Besok gue bakal mengelabui para guru yang berjaga, dan elo Dee, ambil datanya dan amati. Molly, lo awasin ruangannya, oke!” Gladys bersidekap. “Siap!” “Baik.” Balas Molly dan Diana serempak, kemudian mereka tertawa. Melihat itu, Axela turut tertawa, ia merasa terhibur dengan kehadiran mereka walaupun masih ada sedikit keraguan untuk mempercayai apa yang di sebut orang-orang sebagai “teman”. Pertanyaan yang paling penting di benaknya saat ini adalah, kapan keraguan itu akan hilang? *** Molly mengintip ruang guru yang sepi. Untunglah, hari ini jadwal kelas 12 banyak mata pelajaran yang sama di setiap kelasnya, sehingga beberapa guru yang tidak bersangkutan memilih untuk tidak masuk. Gladys memang pintar memilih waktu. “Ssst, Dee. Sini, sini. Lo masuk gih, cepet ya.” Diana mengacungkan jempolnya, cewek itu dengan santai berjalan tanpa mengendap-endap. Begitupun Molly, dengan santainya ia malah menggerakan setiap anggota tubuhnya seakan sedang bersenam sehat. Untunglah, di ruangan guru ini tidak ada CCTV yang tergantung, sehingga dapat dengan mudah melancarkan aksi mereka. Huh, memang kurang ajar pihak sekolah ini! Mungkin mereka memang sengaja tidak menaruh CCTV agar tidak ada yang tahu bila para guru di sogok oleh beberapa wali murid untuk mempertinggi rangking anak mereka. Persetan dengan rangking! KKM saja sudah mengelus d**a! “Udah yuk.” Diana menyenggol pelan siku Molly. “Demi apa, kok cepet banget?” Molly tidak percaya dengan aksi Diana yang begitu cekatan. Belum ada lima menit lho, apa dirinya saja yang terlalu lama merangkai gaya untuk senam sehat itu? Diana tersenyum puas. “Iya dong. Karena gue penasaran sama rahasia-nya itu!” Molly menyengir lebar, “Ah, dia nggak akan bisa ngelak lagi kalau begitu.” Keduanya terkikik geli seraya keluar tanpa barang bukti. Tunggu. Ke mana barang bukti itu? “Lho? Dee, mana berkasnya?!” Molly nyaris saja memekik kalau saja Diana tidak menaruh telunjuk di depan bibirnya agar cewek itu menyadari di mana kini mereka berada. “Ssshh! Tenang, gue emang sengaja nggak bawa berkasnya.” Diana mengeluarkan ponselnya dan menimang benda itu dengan senyuman puas, “Semuanya ada di sini.” “Wiiiih, I-PHONE 5 S!” Molly memekik tertahankan. Diana langsung cemberut mendengarnya, “Gue kira lo kagum karena kecerdasan gue. Ih, Molly!” Ia melengos pergi begitu saja. Molly mengerjap-ngerjap, “Iyaaa, sama itu juga kok. Dee, tungguin dong, iiih!” *** “Iya, Pak. Tentu, Saya akan bangga sekali dengan Bapak karena kebijakan bapak itu.” Gladys tersenyum manis menatap Pak Rokib yang memelintir ujung kumis tebalnya dengan bangga. Jangan tanyakan padanya apa yang mereka sedang perbincangkan, karena Gladys pun tidak mengerti! Oh sungguh, ini adalah hal terbodoh yang pernah dilakukannya. Namun ia bersyukur, hanya Pak Rokib sajalah yang ia kelabui saat ini. Guru penjas yang nyaris tercium bau tanah di usianya, kini hanya beliau satu-satunya yang sedang beristirahat di ruang guru. Namun karena kecerdikannya-lah membuat Pak Rokib menyanggupi Gladys untuk mengikutinya ke arah koridor sekolah. Mengamati guru Olahraga baru yang lebih segar dan bertubuh atletis berbau parfum mahal yang membuat Pak Rokib iri setengah mati padanya. Membanding-bandingkan dirinya dengan Pak Ardo, guru baru tersebut. Membuat Gladys harus-lah berpihak pada tua Bangka itu, jujur saja, ia ingin muntah mengingat pujian-pujian yang di lontarkannya untuk beliau. Mengeluarkan kalimat-kalimat bijak agar Pak Rokib takjub padanya, mengingatkan beliau kembali pada Gladys yang dulu. “Kalau begitu, Saya akan menyarankan dia untuk mengajar di tempat lain!” seru Pak Rokib seraya membusungkan dadanya yang ia yakin sudah terdapat banyak kerutan di balik seragamnya itu. Duh, salah ngomong gue. Gladys menggigit bibirnya. “Iya deh Pak, terserah Bapak.” Ia mengambil ponselnya yang bergetar sekilas menandakan pesan masuk. Misi lancar :) Eh, by the way, kalian cocok lhooo…! Good Luck! Hihihi Apa maksud Diana? Uh, tunggu. Satu pesan lagi masuk. Hati2 ya, jgn sampe pihak skolah tau hubungan kalian ya. Kalo ketahuan Pak Rokib itu p*****l, bisa di pecat dia. Anak2 kalian makan apa nanti? Wohoho XD Molly Sialan! Alay. *** Axela menimang-nimang ponsel bututnya. Layar hitam-putih itu kini telah redup. Barang t***l! Ia mengumpat dalam hati. Mengapa di saat ada berita penting seperti ini ponsel kuno miliknya itu harus mengalami sekarat yang teramat merugikan seperti ini?! Tidak, tentu saja ia tidak boleh ceroboh. Axela tidak akan membawa apalagi mengeluarkan benda mahal itu di rumahnya. Memang tidak semahal atau sebagus ponsel milik Diana, namun benda manis itu menyimpan banyak kenangan dan rahasia tentunya. Duh, mengapa jadi membahas ponsel?! Axela memijit pelipisnya lembut, menyandarkan bahunya pada pilar di depan kelasnya. Kelas terpojok yang berisi orang-orang terpojok. Ah, ingin sekali tangannya menampar para guru yang dengan seenaknya mengkubu-kubukan para muridnya sendiri! Tidak tahu diri! “Riooonnn!” Bukan, itu bukan suara miliknya. Tapi milik Tiffany yang sedang berlari centil dengan baju Cheers ketat di tubuhnya, menghampiri Orion yang tengah bersidekap dengan seragam putih abu-abunya yang berantakan tengah memperhatikan para sahabatnya bermain futsal. Tiffany bergelayut manja di lengan kokoh Orion, membuat cowok itu mau tidak mau tersenyum simpul pada cewek itu. Oh tidak, akan ada adegan apalagi setelah ini?! Axela memutar sudut matanya berniat meninggalkan kelasnya yang memang berhadapan langsung dengan lapangan futsal, membuatnya melihat jelas dua sejoli tersebut. Menyebutkan kata “dua sejoli” membuatnya ingin meludah! Baru ia akan melangkah menjauh, sebuah suara menghentikan gerakannya. “Apa lo liat-liat, huh? Nggak suka?!” Tiffany mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangannya yang terbebas dari genggaman cowok di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan cowoknya itu? Orion! Axela mendelik tajam seraya tersenyum miring. “Kalau gue nggak suka, gue nggak akan liat-liat,” balasnya datar seraya berlalu. “Apaan sih dia! Rion, kamu nggak membela aku, sih?!” Tiffany melengos pergi, merajuk seraya meninggalkan Orion yang tidak disasari sendiri olehnya tengah membeku menatap punggung cewek itu. Bukan Tiffany, melainkan Axela. Tatapan tajam cewek itu saat membalas ucapan Tiffany. Nada suaranya yang tetap tenang walaupun menusuk. Sungguh, ia seperti déjà vu. Melihat diri Alex pada diri Axela. Tunggu. Alex dan Axela? Nama yang serupa, bukan? Orion mengusap wajahnya gusar. b******k. Bagaimana pesan ringan yang di titipkan mendiang kakaknya menjadi begitu sangat sulit? Siapa sebenarnya Axela? Oh, atau yang lebih tepat lagi… Siapa sebenarnya Tiffany? *** “Gimana?” Axela bersidekap seraya menyandarkan punggungnya pada dinding di samping tirai. Kini mereka berada di rumah Diana. Yah, sepertinya memang rumah Diana kini telah menjadi tempat mereka berkumpul. “Beres! Nih,” Gladys memberikan ponsel milik Diana padanya. Mereka memandangi Axela dengan senyuman puas saat cewek itu mengangguk paham. “Gue udah duga, dia membuat keterangan palsu di sini.” Axela memandangi mereka bergilir. “Oke, sekarang rahasia apa yang kalian ingin gue beritahu, hm?” Mereka bersorak seraya bertepuk tangan. Bukankah sangat mudah mengetahui rahasia seorang Axela yang selama ini selalu menjadi cewek penuh misteri bagi mereka? Yaaa, walaupun degan cara yang perlu di pikirkan matang-matang. “Kasih tahu ke kami, kenapa Tiffany nggak mengenal elo? Atau mungkin dia cuman berlagak lupa sama lo?” Gladys mewakili pertanyaan dari ketiganya. Axela menarik napas dan menghembuskannya kasar. Ia menggigit bibirnya, ragu. Namun bukankah ia harus menepati janji? Bagaimana-pun ia mencoba merubah bentuk dirinya secara visual, dirinya tetap-lah dirinya. Ia tidak pernah melanggar janji, kepada siapa pun. Sekecil apa pun itu. Sesuai janjinya kepada seseorang itu. Seseorang yang begitu penting untuknya. Tercipta keheningan sesaat, membuat atmosfer dalam ruang kamar Diana memanas. Gladys, Diana serta Molly begitu gemas dengan Axela yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menggantungkan pertanyaan Gladys yang membuat mereka menggerutu dalam hati. Namun ketiganya tidak ingin memaksakan Axela. Mereka tahu. Cewek itu mempunyai masa lalu yang begitu rumit, atau mungkin, begitu meyakitkan? Mereka benar-benar dibuat penasaran karenanya! Axela membasahi bibirnya dan tersenyum miring. “Gue melakukan operasi di beberapa bagian wajah gue.” Pernyataan itu mampu membuat ketiganya tercengang. Gladys menganga lebar mendengarnya seraya memekik dibuatnya. Sementara Diana dan Molly membuat bibirnya membentuk lingkaran sempurna dan bergumam samar. “Makanya, Tiffany nggak menyadari siapa gue. Karena yang dia tahu selama ini, gue udah pergi jauh dan nggak mungkin kembali lagi. Terlalu sakit mengingatnya. Tiffany-pun mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan kondisinya yang begitu tinggi sekarang, tanpa gue, dan tanpa orang-orang yang membuatnya merasa jatuh.” Penjelasan Axela membuat ketiga cewek itu tak urung mengangguk dengan mulut sedikit terbuka. Tidak habis pikir! “Emangnya ke mana lo selama ini?” Molly melebarkan kelopak matanya. “Amerika. Mengurusi perusahaan gue.” Axela tersenyum simpul. “Perusahaan elo?!” Gladys memekik. Axela meringis. Beginilah. Pasti bukan hanya satu rahasianya yang terucap. Semuanya bersangkutan, dan pasti mereka akan memaksakan dirinya untuk menceritakan dari nol! “Lo punya usaha? Turun temurun dari keluarga lo?” Diana tercengang mendengarnya. Axela menggeleng. “Gue nggak punya keluarga,” Ada perasaan gemuruh di hatinya saat mengucapkan kata terakhir tersebut. “Gue membangun semuanya sendiri. Dari nol. Dan gue-pun bukan ‘siapa-siapa’ tanpa bokapnya Tiffany.” “Tunggu dulu, maksud lo apa?” Molly semakin rumit untuk mencerna. Atau memang rahasia Axela-lah yang begitu sulit di pahami? Begitu bercabang dan berteka-teki. “Thomas Maxwell, bokapnya Tiffany, bukan? Dia bawahan gue.” Axela tersenyum miring. “WHAT?!” “Jadi benar nama aslinya Tiffany Maxwell?” “Tapi bukannya bokapnya itu mendirikan sendiri perusahaan di Houston, ya? Bukannya dia CEO-nya?” Diana bersuara. Axela mengangguk, “Memang. Gue yang menyuruhnya untuk bilang pada Tiffany dan semua orang, bahkan wartawan media Negara ini kalau beliau-lah pemiliknya. Awalnya Thomas menolak, dia nggak mau mengakui apa yang bukan miliknya. Tapi gue memohon sama dia, dan memberitahukan alasannya agar Tiffany tidak mengetahuinya, mengetahui keberadaan gue.” “Seharusnya jangan begitu! Lo nggak tahu aja gimana belagu-nya Tiffany itu kalau bokapnya dateng ke sekolah! Uh, pamer banget.” Gladys menyilangkan lengannya. “Bukannya kalian bisa membalasnya nanti?” Axela tersenyum miring. “Maksudnya? Ih, jangan bikin kami penasaran!” Molly menggerutu kecil. Axela hanya membalasnya dengan senyuman jahil serta mengangkat bahunya tak acuh. “Tapi lo harus hati-hati, Xel. Jangan sampai Orion tahu. Sampai dia tahu kita menyelidiki Tiffany, mungkin dia akan turun tangan dan tidak akan segan-segan untuk membuat neraka bagi kita.” Diana bergidik. “Orion? Cowok yang selalu bareng Tiffany itu?” Sebelah alisnya tertarik keatas. Molly mengangguk, “Dan pasti Hugo akan bantuin dia!” “Hugo?” Axela mengernyitkan dahi. “Kayak nama monster.” “Dia bilang sama gue, katanya kalau elo sampe ngelakuin hal yang nggak disukai Tiffany, Orion pasti turun tangan dan Hugo, Max, juga Daniel pasti membantunya.” Molly menjelaskan apa yang di katakana Hugo beberapa hari lalu. Mendengar nama Max di sebut, Diana menoleh pada Molly tanpa dapat menahan senyum. “Maxy?” Detik itu juga senyumannya memudar menyadari sesuatu. “Dia mau mencelakai kita juga?” Gladys menoyor kepala Diana, “Bahasa lo! Ya nggaklah. Paling Orion sama Hugo doang! Gitu-gitu, Max orang yang baik. Baik banget malah. Kalau si Daniel mah jangan ditanya…” “Paling baik?” Diana mengernyit. “Paling i***t! g****k bener malah. Jadi ya mana mungkin dia bisa melawan kita. Pakai otak aja, dia pasti bakal kapok.” Gladys tersenyum sarkasme. Diana, Molly dan Axela tertawa melihat Gladys yang begitu memaki Daniel. Hm, kalau mendengar nama itu, bukankah Daniel menyukai Gladys? Memuja-muja cewek itu di mana-pun? Hah sepertinya mereka akan menjadi pasangan yang serasi. “Bukannya Daniel suka sama lo, Dys?” Diana tertawa kecil. “Anjrit, males banget gila! Muka doang di permak, kelakuannyaaaa… Ya Tuhan!” Ia menepuk keningnya. “Udahlah jangan ngegoda gue sama dia. Najis tau nggak!” “Daniel lumayan lho…” “Siapa bilang dia cakep?!” “Dia emang ganteng kok.” “Emang siapa bilang dia jelek?!” “Nah!” “Shit.” Gladys menjambak rambutnya. Sial! Diana memang pintar bermain kata! Ketiganya tertawa melihat semburat merah yang telah menyeluruh di wajah Gladys. Bukan, bukan karena Gladys memang menyukai Daniel. Namun, siapa sih cewek yang bisa nahan kalau digoda seperti itu?! Yaa, walaupun tidak setampan Orion, namun Daniel mempunyai paras yang tidak kalah tampan dari keempat cowok itu. Huh, kalau saja sikapnya tidak seperti cacing begitu! Seperti halnya Orion yang dingin, Max yang ramah atau Hugo yang cuek dengan lawan jenisnya, mungkin Gladys akan menanggapi dengan suka rela. Lha, Daniel?! Sok asyik dengan siapa pun! “Liat nanti, lo bakal tertelan ludah sendiri,” ucapan Axela yang tenang namun benar-benar seperti terdapat kebenaran di dalamnya. “HEH! Aduh, udah deh ya. Jangan menyudutkan gue! Mending kita pikirkan rencana kedua kita untuk misi selanjutnya!” *** Max menatap Orion yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak biasanya. Saat mereka tengah berkumpul bersama seperti ini, Orion selalu menanggapi mereka, apalagi omongan Daniel yang terkadang tidak penting-pun tetap di tanggapinya. Hugo menyenggol bahu Max, “Kenapa dia?” Bisiknya turut menatap Orion. Daniel yang mendengarkan itu langsung memekik, “WOY ILAH BOS, BENGONG AJE! SAMBET LO!” Max berdecak kesal. Hugo langsung memiting leher Daniel membuat mereka berdua bertengkar layaknya anak kecil. “g****k lo monyet!” Hugo semakin erat mencekik leher Daniel. “Elo yang monyet g****k! Duh, sakit buset! Help help…!” Daniel berlari begitu berhasil kabur. Dengan tegap dan berlagak seperti pahlawan perkasa, Hugo langsung berlari mengejarnya seperti adegan kacangan dalam film serial edisi pahlawan. Orion memijit pelipisnya melihat tingkah keduanya. Seandainya saja para cewek yang mengagumi Hugo berada di sini, mereka akan langsung ngibrit dan beralih pada Orion ataupun Max yang masih dengan tenang menanggapi tingkah bocah Daniel itu. “Cuma lo temen gue yang paling bener, Ri.” Max menggeleng lemah seraya menepuk bahu Orion. Orion mendengus geli menanggapinya. “Lo ada masalah, Ri?” Max menyilangkan lengannya. “Bukan gue mau ikut campur. Tapi ada baiknya kalau lo berbagi dengan kami, siapa tahu kami bisa bantu. Ataupun kalau nggak bisa, seenggaknya lo berasa lebih ringan.” Orion tersenyum miring. “Lo udah tahu kok masalah gue. Dan…” Ia menarik napas sekilas, “Gue rasa kalian benar. Semakin ke sini, gue semakin ragu. Dan lo tahu? Gue bahkan hanya bisa diam saat dia melawan Tiffany. Seperti nggak mengenal diri gue sendiri.” Max tersenyum simpul melihat kegundahan sahabatnya tersebut. Ia tahu, siapa dia yang di maksudkan Orion. Siapa lagi kalau bukan anak baru itu? Axela Devaza. Satu-satunya cewek yang berani melawan Tiffany dengan sikapnya yang menantang dan terkesan penuh rahasia dibaliknya. Max tahu, ada yang berbeda dari cewek itu. Sama seperti halnya Orion. Ia benar-benar melihat kemiripan tatapan mata hitam pekat itu pada Alex, kakak Orion yang dulu sering bergabung dengan mereka. Jujur saja, bukan hanya Orion. Max, Hugo dan Daniel benar-benar merasa kehilangan Alex. Mereka sudah menganggap Alex sebagai kakak mereka yang paling mengerti. Begitu dewasa, bijak dan penuh tindakan. Pantas saja Orion langsung menyanggupi pesan itu, dan begitu saja tidak memperdulikan perasaannya yang meragu sampai kini. Alex begitu berharga, bukan hanya untuk Orion. Tapi untuk mereka. Alex Marvando Revian. Seorang kakak sekaligus seorang sahabat. Orion mengusap wajahnya gusar. “Max, lo ngerasa nggak sih, kemiripan diantara nama dia sama nama Alex? Gue nggak tahu ini hanya kebetulan atau nggak, tapi… Argh! Gue nggak ngerti kenapa menerapkan pesan itu justru membuat gue nyaris mampus begini!” Ia mengacak rambutnya kesal. “Alex, Axela. Hm, emang benar serupa sih. Ada kemiripan juga dimatanya. Apa mungkin dia yang di maksud Alex itu adalah Axela?” Max mengusap dagunya. Orion menggigit lidahnya, “Tapi semua bukti mengarah ke Tiffany. Lo tahu itu, kan? Kalung itu berada di tangannya, dan Tiffany tahu semuanya tentang Alex. Bahkan hal sekecil apa pun itu, dia tahu. Persis seperti yang gue ketahui.” “Satu-satunya cara, kita harus bertindak sendiri, Bos!” Suara itu terdengar dari belakang mereka. Daniel berjalan terseret akibat lehernya yang terjepit di ketiak Hugo, “Bau, Go… Go… Goblog! Minggir dong, elah!” Sekuat apa pun mendorong, tetap saja badannya yang jauh lebih krempeng tidak berhasil membuat tubuh Hugo yang berotot itu menyingkir. “Mulut lo bau noh, bau sampah!” Hugo mendorong Daniel membuat cowok itu terjerembab dengan mulusnya. Pandangannya beralih pada Orion seraya menunjuk Daniel yang terkapar di bawahnya. “Walaupun dia bau sampah, tapi gue setuju sama mulut sampah-nya itu. Lebih baik kita membuktikannya sendiri, supaya elo yakin. Lagi pula gue yakin, Tiffany ataupun Axela punya sesuatu yang mereka sembunyikan. Yah, walaupun gue terkesan sok tau sih.” “Emang sok tau lo, Babon!” Daniel langsung mendapat tonjokan dari Hugo. “Njir, bonyok bego! Besok cewek-cewek pada berebut minta cium pengobatan nih!” “Bener Ri, kita mesti buktiin sendiri.” Orion mengangguk menanggapi Max. “Jadi kita nggak berpihak sama Axela kan, Max?” Daniel langsung mendapat tonjokan bertubi-tubi dari Hugo dan tatapan tajam dari Max. “Maksudnya? Lo sempet ngajak mereka buat berpihak sama Axela? Secara nggak langsung, kita bermusuhan gitu?” Orion menaikan sebelah alisnya. Max terkekeh pelan. “Sori, kan, nggak jadi. Lagi pula, bukannya lo bilang secara nggak langsung kalau kita nggak berpihak pada siapa pun, kan?” “Ya, tapi kalau cewek itu melakukan sesuatu yang buruk sama Tiffany, gue tetap berada di pihak dia.” Orion menegaskan. Ia berdecak, gemas dengan tingkah sahabat ter-normal-nya yang begitu keras kepala. Max mengangguk samar. “Dan ternyata, cewek itu adalah Axela. Good, Man. Lo melukai orang yang salah.” Skak mat. Lalu apa yang harus di lakukan Orion? Membela Axela atau Tiffany? Atau tidak berpihak pada keduanya seperti para sahabatnya? Ia tidak bisa. Tidak bisa melihat orang yang di maksud Alex tersentuh sehelai rambutpun! Lantas, bagaimana kalau ia malah bertindak bodoh dan malah melukai salah satunya yang ternyata… Akh! Itu membuat kepalanya sakit! “Nggak perlu ragu. Besok kita cari bersama.” Ia tersenyum memamerkan lesung pipitnya. “Nggak perlu lo senyum begitu di depan gue.” Orion merasa jijik dengan senyuman Max yang terkesan menggoda, dan sering di lemparnya pada satu cewek tersebut… Oh tunggu! Orion berdecak, menoleh ke arahnya dengan mata menyipit. “Gue ngerti. Karena Diana ada di pihak Axela, kan?” Orion mengangkat alisnya dan bersidekap. Max tersenyum simpul, membenarkan pertanyaan itu. “Yah, gue bersyukur sih waktu Axela menantang Tiffany itu, gue jadi punya alasan buat ngobrol sama Dee. Dan lo tahu? Dia manggil gue Maxy!” Max tergelak. “Yah, imut sih, tapi kalau dia yang manggil itu terkesan manis.” Ia menaik turunkan alisnya. Orion memutar kedua bola matanya. Ia menepuk bahu Max sekilas sebelum akhirnya berlalu. “Benar kata lo. Cuma gue yang benar untuk saat ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN