Hujan turun deras membasahi pekarangan Mansion Wolfe yang luas dan menyeramkan. Petir menyambar, menerangi patung-patung gargoyle di gerbang utama.
Lucia Bonetti berdiri di tengah ruang kerja yang luas itu. Gaun putih vintage-nya sedikit basah di bagian bawah karena dia sempat tersandung kubangan air saat turun dari mobil. Dia meremas jemarinya yang gemetar.
Di depannya, duduk sang monster. Axel Wolfe.
Lucia menunduk dalam-dalam. Dia menatap ujung sepatu Axel yang mengkilap, tidak berani mengangkat wajahnya. Dia sudah mendengar rumornya. Pria ini gila. Pria ini membunuh orang karena mereka bernapas terlalu keras.
"Angkat kepalamu," perintah suara itu.
Jantung Lucia serasa berhenti. Suaranya tidak keras, tapi memiliki otoritas mutlak. Dengan leher kaku, Lucia mendongak pelan. Mata cokelatnya yang lebar dan ketakutan bertemu dengan mata hitam legam Axel.
Axel menatapnya tanpa kedip, Menilai. Menganalisis. Dan yang paling buruk... dia mulai terlihat bosan.
Lucia melihat jari telunjuk Axel mengetuk lengan kursi. Tap. Tap. Axel tidak bicara. Dia hanya menatap.
Dalam hati Axel, hitungan mundur dimulai. Gadis ini hanya diam. Gemetar seperti kelinci. Membosankan. Satu...
Keringat dingin mengalir di punggung Lucia. Dia menghitung? Kenapa dia diam saja? Matanya... astaga, dia akan membunuhku. Dia akan mencabut pistol itu dan menembakku sekarang juga! Aku harus bicara! Aku harus melakukan sesuatu! Apa saja!
Dua...
Tangan Axel mulai bergerak pelan menuju laci meja, tempat pistolnya berada.
Panik melanda otak Lucia. Logika terbang keluar jendela. Dia harus memecah kesunyian mematikan ini. Dia melihat sekeliling dengan panik, matanya menangkap sebuah vas bunga antik di meja Axel, lalu beralih ke wajah Axel yang sangar, lalu kembali ke vas bunga.
"Tuan!" seru Lucia tiba-tiba, suaranya sedikit melengking karena panik.
Gerakan tangan Axel terhenti di angka dua setengah. Dia menaikkan satu alis tebalnya. "Apa?"
Lucia menelan ludah. Apa yang harus dia katakan? "Itu... eh..." Lucia menunjuk sembarangan ke arah kepala Axel. "Saya rasa ada... ada nyamuk di rambut Anda yang bagus itu, Tuan! Awas!"
Tanpa pikir panjang, dan didorong oleh insting bertahan hidup yang bodoh. Lucia maju selangkah, tersandung kakinya sendiri, dan secara refleks menepuk atau lebih tepatnya, memukul puncak kepala Axel Wolfe dengan telapak tangannya.
PLAK!
Suara tepukan itu terdengar nyaring di ruangan sunyi itu.
Waktu seakan berhenti. Di sudut ruangan, Erik menahan napas, matanya membelalak. Adbert, sang kepala pelayan yang baru masuk membawa nampan teh, mematung di ambang pintu.
Lucia Bonetti, baru saja memukul kepala Bos Mafia paling kejam di Eropa.
Lucia membeku, tangannya masih melayang di udara. Wajahnya pucat pasi. Mati aku. Tamat riwayatku. pikirnya
Axel terdiam. Dia tidak bergerak. Matanya yang hitam perlahan melirik ke atas, seolah mencoba melihat ubun-ubunnya sendiri, lalu kembali menatap Lucia. Hitungan di kepalanya buyar total. Rasa bosannya lenyap, digantikan oleh rasa ketidakpercayaan yang membingungkan.
"Nyamuk?" tanya Axel pelan, suaranya berbahaya.
Lucia menarik tangannya cepat-cepat, menyembunyikannya di punggung.
"I-iya! Nyamuk malaria! B-besar sekali, Tuan! Saya... saya menyelamatkan nyawa Anda!" Lucia berbohong dengan putus asa, matanya berkaca-kaca karena takut. "T-tapi sepertinya dia kabur..."
Axel menyentuh kepalanya yang baru saja dipukul. Tidak ada nyamuk. Tidak ada apa-apa. Gadis ini baru saja menampar kepalanya karena halusinasi akibat rasa takut, atau dia memang sebodoh itu?
Sudut bibir Axel berkedut. Bukan senyum, tapi seringai tipis yang mengerikan. Dia tidak jadi mengambil pistolnya.
"Bodoh," gumam Axel, menyandarkan punggungnya kembali ke kursi. Dia menunjuk kursi kosong di depannya dengan dagu. "Duduk, Lucia. Sebelum kau 'menyelamatkan' nyawaku lagi dan membuatku gegar otak."
Lucia menghembuskan napas panjang, kakinya lemas. Dia lolos. Untuk hari ini.