DELAPAN

2068 Kata
Aeera melangkah tegap tanpa menghiraukan sapaan hormat yang diberikan beberapa dayang dan pengawal yang berpapasan dengannya di lorong itu. Gaun pengantinnya yang masih melekat di tubuhnya dia biarkan menimbulkan suara gemerisik karena bergesekan dengan lantai sepanjang jalan.  Wajahnya terlihat sembab dengan kedua mata bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangis. Pesta pernikahannya baru saja selesai. Sebenarnya dia memilih kabur dari pesta setelah mendengar kabar memilukan dari kedua kakaknya. Dia tak sanggup berpura-pura tersenyum sepanjang pesta sedangkan hatinya tengah menjerit pilu. Alhasil, dia pun memilih mengurung diri di ruangan yang selama tinggal di istana menjadi kamar pribadinya.  Berdasarkan tradisi, seharusnya mulai malam ini dia akan menetap di kediaman Lucia yang letaknya cukup jauh dari istana utama. Lucia memang memiliki istananya sendiri yang bangunannya terpisah dari istana utama.  Aeera menghentikan langkahnya begitu tiba di depan sebuah daun pintu. Tanpa dikomandoi, seorang pengawal yang berjaga di depan pintu bergegas membuka pintu tersebut. Aeera pun tanpa ragu melangkah masuk ke dalam.  Di dalam ruangan, tampak sang Raja beserta Sang Ratu tengah duduk di kursi kebesaran mereka. Tersenyum serempak saat melihat kedatangan Aeera. Sontak Ratu Adena turun dari singgasananya, dia berjalan menghampiri Aeera yang baru saja berdiri di hadapan mereka.  “Cucuku, Aeera. Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat habis menangis?” tanya sang Ratu dengan nada suara lembut bercampur khawatir.  Aeera tidak serta merta menjawabnya, gadis itu tiba-tiba berlutut sukses membuat Ratu Adena dan Raja Alexis tersentak kaget melihatnya.  “Apa yang kau lakukan, Nak? Tidak perlu berlutut atau memberikan penghormatan pada kami karena kami sekarang adalah kakek dan nenekmu.” Raja Alexis ikut menimpali. Dia pun mulai melangkah turun dari singgasananya  “Saya datang ke sini ingin meminta sesuatu kepada Yang Mulia Raja dan Ratu,” ucap Aeera akhirnya bersuara. “Katakan saja apa pun permintaanmu, Nak. Bangunlah, tidak perlu berlutut seperti ini.” Aeera menggelengkan kepalanya dan menolak uluran tangan Ratu Adena yang hendak membantunya berdiri.  “Saya tahu tidak seharusnya saya seperti ini, tapi saya benar-benar tidak sanggup tinggal lagi di istana ini. Saya juga tidak sanggup menjadi istri Pangeran Lucia. Saya mohon izinkan saya kembali tinggal bersama keluarga saya,” pinta Aeera, tak ingin berbasa-basi.  Raja Alexis dan sang istri saling berpandangan. Raut wajah mereka tampak terkejut sekaligus heran. Padahal saat acara pernikahan tadi, Aeera baik-baik saja. Kondisi menantu mereka itu berubah setelah berbicara dengan kedua kakaknya. Bahkan ketika Aeera pergi meninggalkan pesta begitu saja, menjadi hal pertama yang disadari Ratu Adena dan Raja Alexis bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada istri cucu kesayangan mereka itu.  “Ada apa Aeera? Kenapa tiba-tiba kau meminta hal yang mustahil seperti ini? Katakan apa alasannya sehingga kau meminta sesuatu yang terlarang seperti ini?” Raja Alexis yang bertanya. Dia sedikit mendesis karena cukup kesal mendengar permintaan Aeera yang tak masuk akal menurutnya.  “Saya tidak bisa melayani orang yang telah membunuh adik saya. Pangeran Lucia telah membunuh adik saya.” Aeera menjawab dengan lantang, tak ada lagi rasa takut di dalam hatinya meski dirinya berhadapan dengan sang penguasa. Yang dipikirkannya sekarang hanyalah dia ingin sesegera mungkin meninggalkan istana ini. Sejak menginjakan kaki di dalam istana, dia memang tak merasa betah. Dia selalu ingin kembali ke rumah mungilnya , tinggal lagi bersama ayah dan saudara-saudaranya.  “Lucia membunuh adikmu?” “Benar, Yang Mulia Ratu. Saya baru mendengar kabar ini dari kakak saya tadi. Saya benar-benar tidak bisa menjalani hari-hari saya harus melayani pangeran Lucia sebagai suami saya. Saya tidak sanggup.” Air mata yang sempat berhenti mengalir, kini kembali berjatuhan dari kelopak mata Aeera. “Lucia pasti tidak tahu bahwa gadis yang dibunuhnya itu adikmu, Aeera. Tolong maafkanlah dia.” Aeera terenyak, perlahan namun pasti mulai mendongakan kepalanya yang sejak tadi dia tundukan, menatap tak percaya pada sang ratu yang dengan tenangnya mengatakan itu. “Memaafkannya? Bagaimana mungkin saya bisa semudah itu memaafkannya? Jika Anda berada di posisi saya, sanggupkah Anda menjalani hidup bersama orang yang membunuh adik Anda?” Dengan berani Aeera melontarkan pertanyaan setegas itu pada sang ratu. Seketika Ratu Adena pun terdiam.  “Saya mohon izinkan saya pulang ke rumah saya,” pinta Aeera lagi. “Tidak bisa, kau sudah resmi menyandang status sebagai istri putra mahkota. Kau seorang putri mahkota sekarang.” Raja Alexis yang kini ikut berdiri di hadapan Aeera, ikut menimpali. “Saya tidak pernah menginginkan status tinggi atau pun kekuasaan. Saya siap melepaskan status dan gelar itu, Yang Mulia.”  Raja Alexis menggeram, kekesalannya mulai muncul ke permukaan. Semua yang dia rencanakan bersama sang istri kacau balau. Tidak mungkin mereka mengizinkan Aeera untuk pergi dari istana di saat mereka meyakini hanya Aeera lah satu-satunya harapan mereka untuk merubah sifat seorang Lucia De’Lewis.  “Aeera tolong pikirkan sekali lagi. Kau seorang istri sekarang. Di dunia kita saat sepasang pria dan wanita menikah artinya mereka akan menjadi pasangan sehidup semati. Kalian harus selalu bersama.” “Saya tidak peduli, saya akan melanggar tradisi itu. Saya tetap ingin pergi dari istana ini.”  Baik Aeera maupun Ratu Adena tersentak kaget saat tiba-tiba mereka merasakan aura menyeramkan yang menguar dari tubuh satu-satunya pria di ruangan itu, Raja Alexis. Kemarahan sang Raja sudah melampaui batas. Aura kekuatannya memancar dari sekujur tubuhnya bahkan kesembilan ekornya kini bermunculan satu demi satu.  “Tenanglah, suamiku. Tolong kendalikan amarahmu,” ujar Ratu Adena, berusaha menenangkan suaminya yang nyaris dikuasai amarahnya. “Aeera, kami sangat berharap padamu. Berhentilah meminta sesuatu yang mustahil seperti ini.” “Tapi ...” Ratu Adena mengangkat tangannya, meminta Aeera secara tersirat agar berhenti menyahut. Aeera menunduk, tak berani membantah lagi dikala kedua matanya melihat sorot amarah mulai ikut muncul di wajah sang ratu. Sudah dia duga, permintaannya ini pasti akan membuat raja dan ratu marah luar biasa.  “Aku mengerti perasaanmu. Aku juga pasti marah pada Lucia jika berada di posisimu. Tapi Aeera, ketahuilah setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Hingga detik ini aku percaya Lucia membunuh adikmu karena dia tidak tahu gadis itu adalah adikmu.” “Seandainya dia tahu bahwa gadis itu adik saya, apa Anda yakin dia tidak akan membunuhnya?” Ratu Adena mengembuskan napas lelah. Sebuah pertanyaan yang mau tidak mau menyudutkan dirinya. “Aku tahu Lucia sangat kejam. Aku dan suamiku mewakilinya meminta maaf padamu. Tolong maafkan Lucia.”  Ada rasa sungkan di hati Aeera saat melihat Ratu Adena membungkuk meminta maaf di hadapannya. Namun amarah yang dia rasakan pada Lucia, membuat dia tak gentar. Dia tetap harus pergi dari istana itu.  “Pikirkan keluargamu. Mereka tidak akan selamat jika kau tetap memaksa untuk pergi.” Dengan suara baritone yang menggelegar, Raja Alexis mengatakan ini. Seketika tubuh Aeera bergetar hebat, dia tidaklah bodoh. Dia sadar Raja Alexis menyiratkan sebuah ancaman melalui perkataannya barusan.  “Aeera, kau seorang istri sekarang. Meski kau tidak mau tapi melayani Lucia sudah menjadi kewajibanmu sekarang. Pergilah, Nak. Di luar para pengawal sudah bersiap untuk mengantarkanmu ke kediaman Lucia.” Ratu Adena menginterupsi, Aeera tersenyum sinis mendengarnya.  Aeera menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya dengan kasar. Bergegas bangun dari posisi berlututnya, kini dia tahu semua yang dilakukannya berakhir sia-sia.  “Seharusnya sejak awal saya tidak datang ke istana ini. Sudah saya duga kebiasaan hidup para penghuni istana ini tidak cocok dengan saya. Kalian sangat egois, tidak memiliki hati nurani. Hanya tradisi yang kalian junjung tinggi, saya sangat kecewa.”  Setelah mengatakan kata-kata yang membuat sang Raja dan Ratu tersentak kaget, Aeera melangkah pergi tanpa memberikan penghormatan terlebih dahulu. Dia sudah tak peduli lagi dengan tatakrama, lagipula rasa hormatnya pada sepasang suami-istri itu sudah hilang bersamaan dengan permohonannya yang tak mereka indahkan.  “Aeera, tunggu.”  Aeera menghentikan langkah saat kedua kakinya nyaris mendekati daun pintu. Lantas dia pun berbalik badan, Ratu Adena berdiri tepat di belakangnya, dia bisa merasakan auranya.  Untuk sesaat Aeera mematung, tanpa permisi Ratu Adena melingkarkan sebuah kalung di lehernya. Sebuah kalung sederhana dengan liontin sebuah kain warna merah berbentuk kotak.  “Kalung itu hadiah pernikahan dariku. Selamat atas pernikahan kalian ya.” Ratu Adena mengelus lembut puncak kepala Aeera. Tersenyum kecil saat ucapan dan tindakannya tidak direspon sedikit pun oleh Aeera. Bahkan sekadar mengucapkan terima kasih pun tidak.  “Kau sudah boleh pergi,” lanjutnya. Ratu Adena mendesah lelah dikala Aeera pergi begitu saja tanpa kata. Sepertinya rencananya dan sang suami tak akan berjalan mulus sesuai harapan mereka.   ***   Jeros berjalan mondar-mandir dengan gerutuan kecil yang tak hilang sedikit pun dari bibir mungilnya. Sesekali dia menggeram saat kedua matanya menangkap sosok seseorang yang menjadi penyebab dirinya gelisah seperti ini, tengah berbaring di atas sebuah batu besar.  Sosok itu, yang tidak lain merupakan Lucia tengah berbaring seraya memejamkan kedua matanya. Langit sudah menghitam pertanda sudah tiba saatnya sang majikan harus kembali ke kediamannya. Tapi apa daya, dia tak berani mengganggu Lucia. Nyawanya bisa saja melayang jika sampai Lucia marah karena ketenangannya terganggu. Tapi jika diam saja seperti ini, nyawanya tetap akan melayang di tangan Raja Alexis. Pasti dia akan dimarahi habis-habisan oleh sang Raja karena dirinya tidak mengingatkan Lucia untuk kembali ke kediamannya.  Ini malam pernikahan sang majikan, saatnya menjalankan ritual malam pertama yang begitu sakral di dunia mereka. Sebuah malam yang katanya jika dilewatkan maka seumur hidup pasangan pengantin itu tidak akan pernah bisa hidup bahagia serta akan sulit mendapatkan keturunan.  “T-Tuanku.”  Dengan takut-takut Jeros mendekati batu yang menjadi alas tidur Lucia. Keringat sebiji jagung bercucuran dari pelipis siluman malang ini. Dia takut tapi dia tetap harus mengingatkan sang majikan. Posisinya benar-benar serba salah sekarang.  “S-Saya senang sekali akhirnya Anda benar-benar telah dewasa. Anda sudah menikah sekarang. Anda sudah memiliki istri. Maafkan pelayanmu yang lemah ini karena belum sempat mengucapkan selamat pada Anda. Selamat ya, Tuan Lucia.”  Lucia tidak memberikan respon sedikit pun. Pria itu masih betah memejamkan kedua matanya.  “Tuanku, tadi saya melihatnya. Saat Anda mencium Putri Aeera, itu ... sangat menakjubkan. Saya sampai menitikkan air mata tak menyangka Anda akan melakukan itu.” Dengan ujung jubahnya, Jeros mengusap air matanya yang benar-benar menetes.  “Tuanku. Anda pasti bahagia sekarang. Anda memiliki seorang istri yang sangat cantik. Kalian berdua benar-benar pasangan yang serasi. Pasangan paling serasi di muka bumi.” Celotehnya berharap Lucia akan merespon pujiannya kali ini.  “Jeros.” “Ya, Tuanku,” sahut Jeros dengan senyuman lebar di bibirnya. Akhirnya keinginannya terkabul, Lucia akhirnya meresponnya.  “Diamlah.”  Seketika Jeros bersujud di tanah, suara geraman Lucia di akhir ucapannya barusan, dia tahu betul dirinya baru saja melakukan kesalahan fatal karena mengganggu ketenangan sang majikan. Jantung kecilnya bertalu-talu cepat, mengkhawatirkan nyawanya yang berada di ujung tanduk.  Cukup lama siluman kura-kura itu menempelkan keningnya di tanah. Ketika dia mencoba mencuri pandang ke arah sang majikan, betapa terkejutnya dia saat mendapati Lucia tengah duduk bersila di atas batu dengan tatapan tajamnya yang terarah sepenuhnya pada tubuh mungil Jeros.  “Ampuni saya, Tuan. Ampuni saya.” “Hari ini kau sangat menyebalkan, Jeros.”  Tubuh mungil Jeros gemetaran hebat, telinganya mendengar suara gemeretak dari jari-jari tangan Lucia yang sengaja pria itu gerakkan. Bahaya ... nyawa Jeros benar-benar dalam bahaya.  “Tuanku, tolong jangan bunuh saya,” pintanya, air matanya mengalir begitu derasnya. “Apa maumu sebenarnya? Kau terus mengoceh di dekatku.” “Saya harus melakukannya, Tuan. Ampuni saya.” “Apa yang kau inginkan?”  Dengan takut-takut Jeros mengangkat kepalanya. Lantas ikut duduk bersila seperti majikannya.  “S-Saya hanya ingin memberitahu sudah saatnya Anda kembali ke kediaman Anda.” Lucia mengernyitkan keningnya, dan ekspresi kebingungannya ini tak luput dari perhatian Jeros.  “Anda harus melaksanakan ritual malam pertama dengan istri Anda.” “Ritual malam pertama ya?” gumam Lucia. “Iya, Tuan. Melakukan penyatuan agar Anda cepat memiliki keturunan.” Lucia mendengus kasar, tak berminat sedikit pun melanjutkan pembicaraan ini. Lantas dia pun berdiri dari duduknya.  “Jika bukan karena kau yang terus mengoceh tadi siang, aku tidak akan menikahi gadis itu.”  Ingatan tadi siang kembali terngiang-ngiang di kepala Jeros, bagaimana dia dengan mati-matian menahan rasa takutnya untuk terus membujuk Lucia agar mau datang ke aula pernikahan.  Dan sekarang dia harus mengalaminya lagi. Betapa miris nasib hidupnya.  “Tuan Lucia tidak akan mengingkari ucapannya, saya sangat mengenal Anda, Tuan.” “Begitukah?” Jeros mengangguk-anggukan kepalanya penuh semangat. “Kau ingat kata-kataku tadi siang bahwa aku akan membunuhmu malam ini?”  Seketika Jeros kembali bersujud, menempelkan keningnya ke lantai. Bodohnya dia, bagaimana mungkin dia melupakan ancaman maut yang dilayangkan sang majikan padanya tadi siang?  “Tidak, Tuan. Jangan bunuh saya. Siapa yang akan melayani Anda jika saya mati? Ampuni saya, Tuan.” “Kau bilang aku tidak pernah mengingkari ucapanku?” “Ini pengecualian. Anda tidak mungkin setega itu membunuh saya kan, Tuan? Sudah ratusan tahun saya melayani Anda.”  Jeros mengangkat kepalanya takut-takut saat tak terdengar lagi suara Lucia yang menyahut. Memasang wajah cengengesan saat tatapan matanya bertemu pandang dengan tatapan datar Lucia.  “Hehehe ... saya tahu Anda tidak akan setega itu membunuh saya, benar kan, Tuan?” “Omong kosong,” sahut Lucia.  Jeros berusaha bangun ketika Lucia mulai melangkahkan kakinya.  “A-Anda mau kemana, Tu ... an?”  Harus menahan rasa sakit saat Lucia lagi-lagi menginjak punggungnya tanpa ampun. Meringis kesakitan dikala tubuhnya harus berhimpitan dengan kerasnya tanah. Berat badan Lucia jelas tidak main-main.  “Tuan, Anda mau pergi kemana?” tanyanya lagi, dia berusaha berdiri dengan susah payah. Memegangi tempurung di punggungnya yang sekali lagi menyelamatkan nyawanya. Jika tidak ada tempurung itu sudah bisa dipastikan tulang-tulangnya akan patah menjadi serpihan kecil.  “Tuanku.” “Sudah jelas kan, aku akan pergi menemui istriku. Akan kupastikan dia menyesal karena menerima pernikahan ini.”  Jeros menelan salivanya susah payah, khawatir sekaligus iba pada Aeera yang entah akan diapakan oleh Lucia sebentar lagi. Dia hanya bisa berharap semoga gadis itu selamat di saat dirinya tak mampu melakukan apa pun untuk menyelamatkan gadis itu dari sang junjungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN