SELAMAT MEMBACA
***
Tokk Tokk Tokk….
“Buka pintunya, woiiii !!!”
Utari terbangun dari tidur siangnya saat mendengar gedoran keras di pintu rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh dia membuka pintu rumahnya. Empat orang laki-laki berbadan besar berwajah garang berdiri di hadapannya.
“Mana bayar hutangmu!!!” Salah satu laki-laki berbadan besar itu mengulurkan tangannya kedepan wajah Utari. Utari lupa jika hari ini adalah jatuh tempo pelunasan hutangnya. Tapi dia belum mendapatkan uang. Dia lupa meminta pembayaran di muka kepada Abi kemarin.
“Besok Om, saya akan melunasi semua hutang saya.” Utari memasang wajah memelasnya agar orang-orang yang menagih hutangnya itu sedikit memberinya waktu lagi.
“Alahhh basi. Kami ini sudah bosan mendengar alasan-alasanmu. Hutang bapakmu itu banyak belum lagi bunga-bunganya. Kalau tidak punya uang untuk membayar, lebih baik rumah ini yang kami sita. Lagipula besok kamu juga akan dapat uang dari mana. Cuma buang-bunag waktu kami ini menunggu besok.”
“Saya sudah dapat pekerjaan Om, saya akan minta pembayan di muka besok. Saya janji, begitu uangnya diberikan ke saya akan saya langsung berikan sama kalian,” ucap Utari dengan anda penuh permohonan.
“Kalau begitu, besok rumah ini kami kembalikan kalau uangnya sudah ada. Sekarang tetap kami sita. Jadi lebih baik kamu pergi sekarang, apa perlu kami paksa?”
“Saya mohon Om, jangan ambil rumah ini, besok saya janji. Besok saya lunasi.” Utari memohon dengan berlutut di hadapan para penagih hutang itu, dia benar-benar tidak rela jika rumah peninggalan orang tuanya harus raib di tangan para penagih hutang itu.
“Keluarkan barang-barangnya!!” Tiga orang laki-laki yang sejak tadi berdiri di hadapan Utari langsung masuk kedalam rumah, sedangkan Utari berusaha sebisa mungkin menahan langkah ketiga orang laki-laki itu.
“Minggir !!!” Tubuh ringkih Utari terpental kelantai karena tendangan dari salah satu laki-laki itu. Utari hanya bisa menangis, meratapi keadaannya. Para tetangga yang melihat kemalangan nasib Utari hanya bisa menyaksikan bertapa menyedihkannya hidup gadis itu tanpa bisa membantu.
“Tolong Om jangan usir saya hikss hikkss hikss….”
Orang-orang yang tadi masuk kedalam rumah melemparkan tas berisi pakaian kearah Utari. Utari hanya bisa pasrah dan menangis.
Namun tiba-tiba sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya. Seorang laki-laki yang kemarin memberi Utari pekerjaan aneh turun dari mobilnya. Dia adalah Abi.
“Kekerasan macam apa ini. Kalian bisa saya laporkan ini atas tuduhan kekerasan dan perampasan,” Abi membantu Utari berdiri, dia melihat penampilan gadis itu yang terlihat sangat buruk.
“Hei Bung jangan ikut campur urusan kami. Gadis ini berhutang banyak pada bos kami. Dan dia tidak mau membayarnya, malah kabur setiap kali kami menemuinya,” laki-laki yang sejak tadi berbicara dengan Utari menudingkan jarinya kearah Abi.
“Berapa hutangnya?” tanya Abi lagi.
“200 juta beserta bunganya menjadi 600 juta.”
“Kalian benar-benar gila, pemerasan macam apa ini?” Abi tidak habis pikir bagaimana bisa 200 juta menjadi 600 juta.
“Kalau tidak mau membayarnya lebih baik menyingkir jangan halangi pekerjaan kami!!” Laki-laki tadi mengusir Abi dengan pandangan meremehkan.
Abi kemudian berjalan kearah mobilnya, dia terlihat mengambil sesuatu dari tasnya. Abi kembali dengan membawa selembar kertas ditangannya.
“Ambil ini 600 juta. Hutangnya lunas. Jangan ganggu dia lagi.” Abi memberikan selembar cek kepada laki-laki di depannya itu.
“Kalau begini kan enak. Kalau begitu kami pergi. Urusan kita sudah selesai.” Setelah menerima cek senilai 600 juta di tangannya mereka langsung senang dan pergi begitu saja.
Melihat para penagih hutang pergi dari rumahnya, Utari merasa sedikit lega namun juga cemas. Bagaimana caranya membayar hutangnya 600 juta kepada Abi nanti. Menurutnya ini adalah tutup lubang gali lubang. Kemarin dia hanya mengatakan 200 juta mungkin lebih tapi tidak menyangka jika sampai 600 juta.
Utari berjalan masuk kedalam rumah dengan langkah gontainya, di ikuti Abi dari belakang.
“Terima kasih karena Om sudah mau melunasi hutang-hutang saya. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengganti uang Om sebanyak itu,” ucap Utari dengan lirih, bahkan dia tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah Abi.
“Bukankah kemarin kita sudah menyepakati sebuah pekerjaan Utari?” ucap Abi dengan tenangnya. Apa gadis di hadapannya itu lupa dengan kesepakatan mereka kemarin.
“Tapi saya bilang hutang saya cuma 200 juta atau lebih Om, mungkin lebih sedikit tapi ternyata sampai 600 juta.”
“Saya tidak masalah, anggap saja itu bayaran atas pekerjaanmu. Bukannya saya sudah katakan akan melunasi hutang-hutangmu berapapun itu jumlahnya. Mau 200 juta atau 600 juta saya sama sekali tidak mempermasalahkannya. Asalkan kamu mau bekerja dengan saya, bayaran berapapun yang kamu minta saya anggap sepadan.”
Mendengar ucapan Abi, sepertinya Utari tidak akan bisa lagi mengelak, karena secara tidak langsung Abi telah membayarnya senilai 600 juta.
“Sekarang ganti pakaianmu, ikut saya pergi.”
“Ke mana?” tanya Utari dengan bingungnya.
“Ke rumah sakit.”
****
Utari turun dari mobil bersama Abi di sampingnya. Mereka baru saja dari rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatan Utari dan konsultasi mengenai proses inseminasi nanti. Semua baik-baik saja, Utari dinyatakan sehat, kandunganmya sehat dan fisiknya juga sehat mereka bisa segera melakukan proses inseminasi tentunya setelah pernikahan siri yang telah Abi setujui kemarin.
"Malam ini kamu tinggal di sini saja, besok pagi kita akan menikah. Saya sudah siapkan saksi dan penghulunya." Utari hanya bisa mengangguk dengan pasrah, apalagi yang bisa dia lakukan. Dirinya telah dibayar dengan selembar kertas senilai 600 juta. Sekarang Utari merasa seperti menjual dirinya sendiri, namun bedanya dengan kedok hubungan pernikahan. Tapi bukannya sebelumnya dia bahkan rela menjadi penghuni pasar kembang untuk melunasi hutang, jadi kenapa dia harus bersedih dengan keadaaanya sekarang. Bukankan ini lebih baik ketimbang menjadi penghuni pasar kembang.
"Apa yang kamu pikirkan Utari? Jangan pernah coba-coba memikirkan untuk membatalkan kesepakatan kita." Melihat Utari yang tidak merespon ucapannya, Abi penasaran apa yang gadis itu pikirkan.
"Memangnya Om pikir saya selicik itu. Setelah menerima pembayaran di muka, saya akan lari dari tanggung jawab." Utari menjawab dengan ketus, dia tidak terima Abi menuduhnya yang tidak - tidak.
"Bagus kalau begitu. Kamu bisa istirahat. Saya masih banyak urusan. Minta Mbok Kem untuk mengantarkan kamu ke kamar." Setelah mengatakan itu, Abi pergi dari hadapan Utari. Meninggalkan Utari sendirian di ruang tamu rumah itu. Dengan pelan Utari berjalan ke arah dapur dia akan mencari Mbok Kem yang dimaksud oleh Abi tadi. Sesampainya di dapur, Utari melihat perempuan setengah tua yang sedang memasak yang kemungkinan itulah yang bernama Mbok Kem, yang tadi dimaksud oleh Abi.
***