SELAMAT MEMBACA
***
Abi keluar dari bandara, dia mencari mobil yang menjemputnya. Hari ini dia akan mengunjungi salah satu rumah sakit miliknya yang ada di Jogja. Dia ingin mengalihkan sedikit pikirannya tentang masalahnya di rumah. Sudah sejak tiga hari yang lalu Abi merasa suntuk dengan dunianya. Istrinya yang mendiamkannya dan bersikap dingin karena keinginannya yang tidak Abi penuhi benar-benar membuat suasana hati Abi tiga hari ini menjadi uring-uringan dan ingin sekali mengamuk. Dia mendapatkan laporan dari rumah sakitnya yang ada di Jogja kalau ada sedikit masalah di sana, sampai akhirnya dia memutuskan untuk melihatnya sendiri. Dia harus mengalihkan sedikit pikirannya, berharap saat pulang nanti istrinya sudah melupakan keinginannya dan semua akan kembali seperti semula.
“Tuan Abi,” panggil seorang laki-laki muda berseragam sopir datang menghampiri Abi.
“Iya,” jawab Abi singkat. Abi melihat pemuda yang dia tahu namanya Septian atau sering dia panggil Asep yang bekerja sebagai sopir sekaligus tukang kebun di rumahnya itu.
“Mari Tuan,” Asep mengambil alih koper yang ada di tangan Abi dan berjalan lebih dulu menunjukkan letak parkir mobilnya.
Tanpa mengatakan apapun, Abi jalan mengikuti kemana perginya Asep.
Sesampainya di parkiran Abi langsung naik ke mobil dan mengistirahatkan tubuhnya. Bukan hanya lelah fisik, bahkan sekarang pikirannya sangat lelah.
“Mau langsung pulang atau kita mampir kemana dulu Tuan?” Melihat Abi yang tidak mengatakan apapun, Asep itu berinisiatif untuk bertanya.
“Langsung ke rumah saja Sep, besok saya mau ke rumah sakit. Sekarang saya ingin istirahat,” jawab Abi pelan.
Rumah yang dimaksud Abi adalah rumah yang menjadi tempat tinggal dan persinggahannya jika pergi ke Jogja. Dia sering datang ke kota pelajar ini selain panggilan dari beberapa rumah sakit yang membutuhkan kemampuannya dia juga harus mengontrol cabang rumah sakitnya yang ada di Jogja, sehingga dia memutuskan untuk membeli rumah persinggahan beberapa tahun lalu.
Abi memejamkan sebentar matanya, dia ingin tidur. Namun belum lama matanya terpejam, dia merasakan getaran dari ponselnya. Saat dilihat ternyata istrinya Naina yang menghubunginya.
“Hallo ….” Ucap Abi saat mengangkat panggilan telpon dari Naina.
“Mas sudah sampai Jogja?” Terdengar suara istrinya dengan nada bahagianya dari seberang sana. Abi merasa sedikit bingung, tadi pagi mereka masih saling tidak menyapa dan sekarang istrinya tiba-tiba menghubunginya seolah-olah tidak terjadi apapun.
“Sudah, kenapa?” tanya Abi pelan.
“Aku sudah dapat perempuan yang mau bekerja sama dengan kita, dia kenalan dari asistenku. Kebetulan dia juga tinggal di Jogja, aku sudah berikan alamat rumah Mas di Jogja dia akan datang nanti sore mungkin.”
Abi hanya bisa membuang nafasnya dengan pelan. Dia pikir tiga hari aksi diam mereka bisa membuat keinginan istrinya hilang, ternyata tidak sama sekali justru sudah ada kandidat yang dia pilih.
“Aku harap Mas, tidak menolak. Kalau Mas benar-benar cinta sama aku tolong Mas kabulkan keinginanku ini.”
Klik …
Setelah mengatakan itu, bahkan Abi belum sempat menjawabnya istrinya itu sudah mematikan panggilan dengan sepihak.
Abi kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku bajunya, dia kembali memejamkan matanya. Tidak akan peduli dengan apapun yang akan terjadi nanti, yang harusnya terjadi biarlah terjadi.
***
Utari berdiri di luar gerbang sebuah rumah yang dia tidak tahu milik siapa. Berkali-kali dia memeriksa kecocokan dari alamat yang tertulis di kertas yang dia bawa dengan tulisan yang ada di gerbang itu. Utari ragu, apa benar itu rumahnya. Rumah dari orang yang kata Siska akan memberinya pekerjaan. Tapi Saat dilihat lagi, rumah itu sangat sepi, seperti tidak berpenghuni namun juga tidak kotor seperti rumah kosong. Akhrinya Utari memberanikan diri untuk menekan bel yang ada di sana.
Seorang laki-laki muda berlari tergopoh-gopoh dari dalam rumah membukakan gerbang untuk Utari.
“Maaf Mbak, kami tidak menerima permintaan sumbangan,” ucap laki-laki itu saat membukan pintu gerbang.
Utari menatap kesal ke arah laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya itu, apa wajahnya terlihat seperti peminta sumbangan.
“Maaf Mas, saya tidak minta sumbangan. Saya mau bertemu dengan Bapak Abi, saya pekerja yang dipilih Ibu Naina. Katanya saya diminta datang dan bertemu dengan Pak Abi.” Meski kesal, Utari berusaha tetap berkata sopan, mungkin saja di masa depan laki-laki di hadapannya ini akan menjadi rekan kerjanya.
Utari melihat laki-laki itu menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. Wajah sungkannya begitu ketara.
“Maaf ya Mbak, saya kira minta sumbangan. Ternyata tamunya Tuan Abi. Mari silahkan masuk,” ucap laki-laki itu mempersilahkan Utari untuk masuk.
Utari mengikuti ke mana perginya laki-laki itu, dia dibawa masuk ke dalam rumah dan di persilahkan duduk di ruang tamu.
Utari melihat kondisi ruang tamu rumah itu, besar dan bersih. Itulah kesan pertamanya, tidak banyak barang-barang di sana semua sesuai kebutuhan tidak berlebihan.
“Ehem …”
Utari tersadar dari lamunannya, saat mendengar seseorang berdehem. Dari arah tangga Utari bisa melihat seorang laki-laki berjalan menuruni tangga. Jika dilihat mungkin saja usianya sekitar awal 40 tahunan ataupun lebih muda. Utari tidak tahu, namun dia yakin laki-laki itu yang akan memberinya pekerjaan. Sedangkan Abi yang tiba-tiba diberitahu mengenai kedatangan perempuan yang katanya pekerja yang di urus istrinya, berjalan pelan menuruni tangga. Dia mengamati perempuan yang duduk di sofa ruang tamunya.
"Jadi kamu perempuan yang diutus istri saya?” Abi membuka suaranya saat dia sudah duduk di hadapan gadis itu.
Mendengar suara Abi, seolah sadar dengan apa yang dilakukannya, Utari menoleh kearah Abi.
“Iya Pak,” jawab Utari pelan.
“Kenal sama istri saya dari mana?” tanya Abi dengan penuh selidik.
“Saya tidak mengenal istri Bapak, saya sedang membutuhkan banyak uang dan teman saya mengatakan jika bos temannya butuh pekerja yang akan membayar banyak untuk pekerjaannya jadi saya tertarik.” Utari menjawab sambil sedikit menunduk. Dia tidak berani menatap laki-laki di hadapannya itu, tatapannya tajam dan terlihat mengintimidasi.
Abi mengamati penampilan gadis di hadapannya itu, tidak terlalu buruk sebenarnya tapi juga tidak cantik jika di bandingkan istrinya. Biasa saja, tidak ada yang istimewa itulah kesan pertama Abi.
"Siapa namamu?" tanya Abi lagi.
"Utari," jawab Utari.
"Usia?"
"Dua puluh tahun."
"Pekerjaan?"
"Serabutan, sekarang jadi pelayan restoran."
"Kamu tinggal di mana?" tanya Abi lagi.
Utari memberitahukan alamat rumahnya. Meski dia belum tahu apa pekerjaannya kenapa sejak tadi dia merasa calon bosnya itu menatapnya dengan tajam.
“Jadi kamu butuh banyak uang?” tanya Abi lagi.
“Iya,”
“Untuk apa?”
“Membayar hutang mendiang orang tua saya.”
“Berapa yang kamu butuhkan?”
“Hutang pokok saya 200 juta tapi beserta bunganya sepertinya sudah semakin banyak. Saya tidak pernah menghitungnya tapi yang pasti lebih dari 200 juta,” jawab Utari pelan. Dia ragu sebenarnya, pasti dia tidak akan di terima. Bekerja apa yang mau membayar pekerja tanpa kemampuan seperti dirinya lebih dari 200 juta.
“Kamu yakin mau bekerja dengan saya Apa kamu tahu pekerjaan apa yang akan kamu lakukan?”
“Saya yakin Pak selama bayarannya sesuai yang saya butuhkan, tapi saya belum tahu pekerjaan apa yang akan saya lakukan.”
“Sebelumnya, saya akan beritahu kamu. Kalau kamu mau bekerja dengan saya, saya bisa memberikan gaji lebih dari 200 juta. Saya bisa melunasi segala hutang-hutang kamu.” Abi berucap dengan yakin, tanpa keraguan sedikitpun. Membuat Utari terkejut. Pekerjaan apa yang akan dia lakukan nanti, sehingga orang di hadapannya ini mau menggajinya dengan besar dan melunasi hutang-hutangnya. Namun, jika benar ada orang yang akan membayarkan hutang-hutangnya dan membebaskan dia dari kejaran para rentenir ini adalah sebuah keberuntungan besar menurut Utari dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi ada orang yang akan memberinya pekerjaan dengan upar menggiurkan.
“Jadi saya kerja apa Pak. Bapak tidak akan menjual saya kan. Bapak bukan tukang jual organ-organ tubuh kan?”
Utari yang awalnya begitu yakin tiba-tiba mulai merasa ragu dan cemas. Karena melihat ketidakwajaran yang dia dengar.
“Apa kamu lihat saya seperti yang kamu katakana dan lagi saya bukan Bapakmu!”
Utari meneliti penampilan orang di hadapannya itu, tidak mungkin jika dia orang jahat. Apalagi pelaku kriminal, wajahnya begitu tampan dan terlihat seperti orang kalangan atas.
“Ya tidak, tapi kan saya curiga Pak, ehh Tuan.” Utari mengoreksi panggilan bapak untuk Abi menjadi tuan.
“Saya belum menerima kamu bekerja jadi saya bukan tuanmu.”
Utari merasa bingung, jadi dia harus memanggil orang di depannya itu apa. Masa iya abang atau mas, bukannya dia terlalu tua dan lagi kenapa tidak mau dipanggil pak ataupun tuan. Dasar aneh, batin Utari.
“Jadi apa pekerjaan Om Abi. Dan apa yang akan saya kerjakan nanti?”
“Saya seorang Dokter.”
“Oooo dokter. Jadi pekerjaan seperti apa yang akan saya kerjakan Om, apa menjadi asisten dokter?”
“Pekerjaan kamu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya.”
“Jadi?”
***