Complicated

1467 Kata
"Gw keberatan kalo lo deketin dia!" Jawab kak Drian tegas, membuatku terbingung dengan adegan ini. "Ini siapa Lex?" Tanya Moreno menatapku. "Gw tunangannya Lexy!" Dan aku hanya bisa mematung menatap kak Drian. "Oh, sorry. Gw ga tau. Gw Moreno, senior Lexy di kampus." Moreno mengulurkan tangannya dan disambut kak Drian. "Kamu baru balik? Kenapa ga minta aku jemput?" Kak Drian bertanya dengan nada lembut membuatku sedikit merinding. Di balik suaranya yang lembut aku bisa merasakan amarahnya. Kenapa dia harus marah? "Kalo gitu aku jalan ya. See you Lex.." Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan kak Drian menarik tanganku padahal mobil Moreno belum jalan. Aku bahkan belum sempat bilang terima kasih. Aku sedikit bingung dan kesal dengan sikap kak Drian. Aku tau dia ingin melindungiku tapi ga perlu berlebihan begini kan?? Aku menyentakkan tanganku saat kami masuk kedalam rumah tapi dia mengeratkan genggamannya dan terus menarikku sampai naik ke atas. Aku hendak protes tapi takut ada orang rumah yang dengar dan malah bikin keributan.Panjang ceritanya nanti. Tanpa ijin kak Drian membuka pintu kamarku dan masuk. Kemudian dia mencengkram bahuku sambil mendorong ke daun pintu hingga tertutup. "Kak.. apa-apaan sih?!" Sahutku kesal. Kak Drian melepaskan tangannya lalu tatapannya berubah yang tadinya marah jadi merasa bersalah. "Sorry.. kakak takut kamu di apa-apain sama dia.." Aku bingung, pikiran macam apa itu? Berlebihan sekali... "Aku ga suka dia deket sama kamu." Sahutnya pelan. "Apa hubungannya sama kakak? Bukan urusan kakak dong aku deket sama siapa aja?!" Tanpa sadar aku meninggikan suaraku. Aku tahu, mungkin dia menganggapku seperti adiknya sendiri. Aku tahu dia menyayangiku karena kami sudah jadi keluarga sekarang, tapi aku merasa ini sudah melewati batas kewajaran. Ditambah lagi sampai mengaku sebagai tunanganku, apa maksudnya coba?! Bahunya merosot dan dia menunduk. "Maaf Lex.. aku... Aku ga mau kamu kenapa-kenapa." "Dia cuma anter aku pulang. Kita juga baru kenal. Aku ga mungkin mau di apa-apain sama dia." Sahutku lagi. "Bukan itu maksudnya. Aku tau kamu bisa jaga diri cuma kamu ga pernah di anter cowok selama ini." Jawabnya pelan. "Terus ngaku jadi tunangan segala! Apa maksudnya?!" Aku jadi penasaran. Dia terdiam menatapku. Lalu kembali menangkupkan tangannya ke bahuku sambil mengelusnya pelan. Pandangannya berubah menjadi... Apa ya? Aku tidak bisa mengartikan tatapannya. "Aku cuma ga mau ada cowo sembarangan deketin kamu. Kamu itu berharga buat aku. Kamu..." "Ngapain kamu ada dikamer Lexy??" Aku terkejut saat melihat kak Elle melotot menatap kami. Well, bagaimana tidak melotot kalau suaminya ada di kamar adiknya dan sedang memegang kedua bahunya sambil sedikit menundukkan kepala untuk mensejajarkan wajah mereka berdua. Dan herannya kak Drian terlihat santai saat melepaskan tangannya dan berlalu begitu saja keluar dari kamarku tanpa menjawab apapun. Kak Elle ikut menyusul suaminya ke kamar dan aku menjadi tidak enak. Akuberingsut mendekat dan berdiri tepat di pintu mendengar suara mereka. Sepertinya mereka berdebat. Aku beringsut mendekati pintu kamar kak Elle dan menempelkan telingaku ke daun pintu berusaha mencuri dengar. "Kamu jangan kelewat batas ya Dri! Lexy itu adik aku. Aku ga suka kamu sembarang masuk ke kamar dia. Gimana kalau tadi bukan aku yang mergokin kalian hah? Gimana kalau mama atau papa yang liat? Atau orang yang kerja disini? Ga pantes diliatnya!" Aku tidak mendengar suara kak Drian sedikitpun. Malah aku mendengar suara pintu kamar mandi di banting. Duh, aku jadi ga enak hati.. Aku tersentak saat pintu di depanku terbuka. Aku hampir terjerembab, untung saja kak Drian menangkapku. "Lex, ngapain kamu?" Aku menutup mulutnya dan menariknya menjauh. Wajah kami berdekatan dan aku langsung menarik tanganku. "M..maaf ya kak.." Aku mendadak gugup merasakan kontak fisik kulit kami. Kak Drian tersenyum menenangkan. "Gapapa. Kakak yang harusnya minta maaf sama kamu soal tadi." "Ga.. kakak ga salah.. Gara-gara aku kakak sama kak Elle jadi berantem. Aku..." "Ssstt..." Dia menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya. Lalu mengelus pelan pipiku. "Udah malem. Masuk gih..." Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan segera masuk ke kamarku. Aku menahan degup jantungku karena sentuhannya tadi. Lalu aku menggeleng keras.. "No.. Lexy No..!!!" Aku melesat ke kamar mandi. *** Sejak hari itu kak Drian terlihat menjaga jarak. Aku sedikit merasa bersalah saat tidak melihatnya selama seminggu penuh. Kak Elle bilang memang lagi banyak kerjaan di Rumah Sakit tempatnya bekerja. Dia hanya pulang tengah malam setelah semua orang tidur dan pergi pagi buta sebelum semua orang bangun. Pasti gara-gara aku dia sampai begitu. Apa aku harus bicara padanya? Aku takut kak Elle marah lagi. Biarkan lah.. Satu bulan kemudian aku mendengar pembicaraan kak Elle dan suaminya dengan kedua orangtuaku. Kak Elle berencana pindah ke Bali. Dia akan mendirikan kantor hukum disana bersama kak Brian. Saat Mama bertanya apakah kak Drian ikut pindah, aku mendapat berita yang cukup mengejutkan bahwa kak Drian akan melanjutkan sekolah spesialis kedokterannya di San Francisco. Mengapa hatiku terasa hampa mendengar kabar itu? Ada kekecewaan menelusup masuk ke benakku saat tau dia akan pergi jauh. Aku berusaha bersikap biasa dan seolah tidak tahu kabar apa-apa saat bergabung dengan mereka di meja makan. Aku menyapa semua orang dan melihat kak Drian agak kurusan sebulan ini. Dia tersenyum padaku dan aku balas. Kami melanjutkan makan sambil berbincang ringan. "Terus kalau kalian jauhan gitu kapan mama dapet cucunya?" Entah kebetulan mataku bersirobok dengan mata kak Drian dan aku langsung mengalihkan pandanganku. Aku berdehem sambil mengambil jeruk dan mengupasnya. "Aku sama Drian kan emang mau nunda dulu ma.. kalau Drian kelar tiga tahun lagi dan kerjaanku sama Brian bagus, baru aku pikirin." Jawab kak Elle acuh. Mama memberengut tak senang. "Inget umur kamu, Elle. Kamu ga keberatan Dri?" "Aku ikut apa kata Elle aja mah.. lagian aku juga ga mau kalau sampai punya anak tapi aku jauh." Mama mendesah disertai elusan ringan tangan papa di lengannya. Aku juga sedikit heran, kok mereka bisa menunda sampai selama itu? Bukannya pasangan yang menikah itu karena ingin segera punya anak? Kalau belum mau kenapa ga menikah nanti saja? Ah entahlah.. Kak Elle berangkat sebulan lagi, kak Drian dua minggu setelahnya. Katanya ingin membantu kak Elle dan Brian pindahan dulu. Aku juga ikut menawarkan bantuan yang disambut bahagia kakakku. Rumah pasti bakalan sepi tanpa kak Elle dan aku merasa kehilangan kakakku dan kak Drian sekaligus. *** Satu bulan kemudian kami cukup sibuk saat pindahan. Sebenarnya kak Elle tidak banyak membawa barang. Hanya baju, karena dia sudah membeli apartment full furnish disana. Kak Brian tinggal di tower yang sama hanya beda lantai. Sekarang ini sudah 4 hari kami di Bali. Aku membantu kakakku menata rumahnya dan ikut berbelanja. Aku sedikit iri, enaknya bisa tinggal diBali. Tapi kak Elle bilang kapanpun aku ingin datang aku tinggal bilang. Dia akan memesankan tiket pesawat untukku. Asiiikkk... Besok aku akan kembali ke Jakarta bersama kak Drian. Rasanya aneh harus kembali berdua dengannya tapi mau gimana lagi. Kak Elle bilang masih banyak yang harus di urus di Bali sehingga dia akan kembali jelang kak Drian berangkat ke San Francisco. Malam ini kami makan di Jimbaran. Lelahku terbayar melihat sunset nan indah disana. Bali emang beda, padahal matahari terbenamnya sama. Aku menghisap air kelapa dan mengerok isinya. Tanpa sengaja jariku tergores alat kerok dan darah segar menetes begitu saja. "Ah.." perih sesaat tapi tidak seberapa, aku hanya kaget, tapi yang lebih kaget saat jariku terangkat dan di hisap pelan oleh kak Drian. Mulutku sampai menganga dengan tindakannya. "Kak..." "Kenapa dia?" Sahut kak Brian. Oh tidak, pasti kak Elle juga sudah melihat tindakan suaminya dan dia akan marah lagi. "A..aku kegores kerokan kelapa." Jawabku terbata. "Cepet obatin Dri..." Sahut kak Elle membuatku melongo. Aku yakin pendengaranku tidak salah saat melihat kakakku terlihat biasa saja dan malah berjalan ke meja kasir. Kak Drian menarikku dan mencuci luka dengan air mengalir, lalu dia menuntunku ke mobil dan mengambil kotak P3K. Dia mengambil alkohol dan mengolesnya sedikit sebelum memasangkan plester ke jariku yang luka. Jantungku berdegup, jariku berdenyut. "Masih sakit dek?" Rasanya sudah lama sekali dia tidak memanggilku seperti itu. Aku merasa sedih sekaligus senang. Mataku berkaca-kaca tapi aku menggeleng. "Udah ga kok. Makasih Kak.." Dia menghembuskan napas lega seolah luka itu sangat besar dan menyakitiku. Dia merapihkan kembali kotak P3K dan membuka pintu tengah untukku. Aku menunggu kak Elle datang dan kami pulang. Keesokan harinya aku kembali ke Jakarta dengan kak Drian. Sepanjang perjalanan dia lebih banyak diam dan aku juga bingung harus bicara apa. Aku berpura-pura tidur dalam pesawat. Aku menarik napasku saat mobil taksi kami meluncur keluar Bandara. "Gimana kuliah kamu?" Aku melirik sekilas. "Baik. Seru." "Hmmm..." Lalu dia kembali diam. "Gimana persiapan San Fransisco kak?" Aku balik bertanya. "Tinggal sedikit sih. Aku tinggal belanja baju-baju musim dingin buat disana." Jelasnya. Entah dari mana pikiranku tiba-tiba saja lidahku berkata, "Mau aku temenin belanja bajunya kak?" Dia terkejut, aku lebih terkejut. Apa yang aku pikirkan? Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Mukaku sudah terasa panas. Seolah aku mengajaknya jalan secara tidak langsung. "Boleh. Thankyou Lex..." Dia tersenyum lembut, senyum yang sudah lama tidak aku lihat, senyum yang tanpa sadar akan aku rindukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN