"Hello, sister."
"Kau kelihatan tidak senang melihatku,"
"Kenapa kau kesini?"
"To the point sekali,"
Javin menghela nafas, lelah menghadapi adiknya yang selalu bisa membalas perkataannya.
"Aku baru saja kembali dari Aussie, harusnya kau merasa senang melihatku Javin."
Javin memaksakan senyumnya dan itu membuat adiknya tersenyum miring.
"Kenapa kau tidak pulang ke rumah dan malah ke sini?"
"Oh, ayolah. Aku tahu kau pasti tidak pernah berada di rumah, jadi aku akan ke sini lebih dulu lalu pulang ke rumah."
"Atau kau sedang bersenang-senang sekarang, maka dari itu kau tidak suka aku ada di sini. Dimana wanitanya?"
Javin membulatkan mata ke arah adiknya itu, kenapa kata-katanya tidak bisa dijaga.
"Apa yang kau katakan, Lily! Ini hari pertamaku menggantikan daddy,"
Adiknya, Lily hanya menganggukan kepalanya.
"Baiklah, aku sudah melihatmu dan aku akan pulang sekarang. Dan kau, jangan melupakan rumah." Tunjuk Lily ke arah Javin.
Javin hanya memutar bola mata jengah.
"Ya, kapan-kapan aku kembali."
Setelah itu Lily pergi keluar dari ruangan Javin menuju kediaman orang tuanya.
Waktu berjalan dengan cepat, setelah menghadiri beberapa pertemuan dan rapat dengan para pemegang saham akhirnya Javin bisa kembali ke rumah untuk mengistirahatkan badannya yang terasa sangat pegal.
Javin memakirkan kendaraannya di parkiran bawah tanah penthousenya.
Javin memakai lift menuju penthouse miliknya. Ia memilih memiliki rumah sendiri ketika usianya 20 tahun dan orang tuanya tidak melarang karna Javin adalah lelaki dan diwajibkan memiliki rumahnya sendiri.
Javin memasuki kamarnya lalu menjatuhkan dirinya diatas tempat tidur, rasanya dia ingin segera tidur tetapi badannya masih lengket oleh keringat.
Membersihkan badannya dengan cepat lalu kembali ke tempat tidur dan memejamkan mata membiarkan alam tidur memanggilnya.
¤▪¤
"Kau sudah melamar kerja?"
"Not yet, aku masih menikmati hari-hariku di apartment baru. Mungkin besok aku akan mulai mencari pekerjaan,"
Aletta memakan roti dengan satu tangan dan satunya lagi di gunakan untuk menahan ponsel di telinganya. Bella sepertinya akan terus menelponnya setiap hari bila seperti ini.
"Kapan kau akan kembali?"
"Oh My God, Bella. Aku belum ada sebulan di London dan kau sudah memintaku kembali,"
"Ayolah, aku merasa kesepian disini. Apa aku harus tinggal bersama denganmu disana?"
"Kau mau meninggalkan tia disana sendirian? Kau bilang ingin terus bersama tia?"
Sebenarnya Aletta senang-senang saja bila Bella datang ke sini, hanya saja Aletta merasa kasih kepada ibunya Bella yang akan sendirian di sana.
"Ya, aku tahu. Baiklah, kapan-kapan aku dan ibu akan mengunjungimu kesana."
Panggilan tersebut terus berlanjut hingga sore hari, setelah mematikan telponnya Aletta segera membersihkan badan.
¤▪¤
Keesokannya, Aletta memakai baju setelan kerja yang dia beli di Spanyol. Setelah merasa sudah rapi, Aletta membawa tas serta seluruh file yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan.
Aletta mulai menyusuri kota London, mencari perusahaan yang membutuhkan pegawai. Sudah 5 perusahaan yang dia datangi dan sayangnya mereka tidak membutuhkan pegawai baru.
'Baiklah, satu perusahaan lagi untuk hari ini.'
Aletta merapihkan bajunya sebentar lalu melangkah masuk ke dalam perusahaan dengan percaya diri.
"Excuse me?"
"Yes, can i help you?"
"Apakah di sini sedang ada lowongan pekerjaan,"
"Wait a minute, miss."
Aletta mengangguk lalu menunggu ketika resepsionist sedang menelpon seseorang.
"Miss, kau bisa naik ke lantai 9. Sudah ada yang menunggu,"
Aletta menghela nafas lega, mengucapkan terima kasih lalu segera menaiki lift menuju lantai 9.
Hanya ada 1 pintu di lantai 9, Aletta langsung mengetuknya dan setelah mendapatkan jawaban ia membukanya.
Aletta masuk ke dalam dengan hati-hati, ia melihat sosok lelaki yang berada di depan laptop menggunakan kacamata terlihat serius.
"Sir?"
Lelaki itu menatap Aletta sebentar lalu kembali ke laptopnya.
"Duduklah," suara berat itu mengatakan.
Aletta duduk di depan lelaki itu, memperhatikan sekeliling ruangan yang menurutnya sangat kental dengan sosok lelaki di depannya.
"Miss?"
Aletta sedikit terkejut mendengar suara berat itu kembali, Aletta menatap lelaki yang sekarang menatapnya dengan senyum yang di tahan.
"Jadi,"
"Ah, iya. Saya ingin melamar pekerjaan di sini." Aletta memberikan file nya lalu segera dibuka oleh lelaki tersebut. Aletta memperhatikan papan nama yang berada di meja lelaki itu. Zelvin Maximillian.
"Kau lulusan dari Spanyol?"
"Yes, Mr. Zelvin,"
"No, nama saya bukan Zelvin. Tapi Javin, sepertinya saya lupa mengganti papan nama itu." Ucapnya sambil tersenyum.