Kediaman keluarga Matatula saat ini sedang ramai, pada siang bolong seperti ini rumah mereka kedatangan tamu dengan wajah bengisnya. Melia yang kala itu sedang bersantai diruang keluarga sontak saja panik, lantas langsung menelpon suaminya.
Tamu itu adalah Anam dan kedua anak lelakinya, seperti yang sudah diketahui. Mendengar cerita Azka mengenai kejadian disekolah, sampai puteri semata wayang keluarga Anam menangis membuat ketiga lelaki ini murka, Anam maupun Bian yang pada saat itu sedang berada dikantor buru-buru pulang kerumah. Apalagi melihat Nadia ikut menangis, membuat kekesalan ketiganya menambah. Ami-nya Ainun itu paling tidak bisa melihat anak-anaknya menangis.
"Perkosa?" Zakaria membeo dengan dahi mengerut bingung, matanya melirik Ainun yang katanya ingin diperkosa oleh anak bungsunya itu. Gadis itu terlihat baik-baik saja, Ainun dengan sang Ami tengah bercanda ria sambil memakan cupcake bersama isterinya dibar dapur.
Melihat gurat ketidakpercayaan membuat Azka menyahut. "Beneran Om Zak, aku bahkan sampai ngeliat Ainun sampai menangis badannya gemetar ketakutan." Azka meyakinkan.
"Tunggu-tunggu." Zakaria memotong. "Kayaknya ada kesalah pahaman, Zander tidak mungkin kaya begitu. Loe juga Nam, ngomong napa! Kenapa jadi dua anak Loe doang yang emosi." Zakaria melotot kesal pada sahabatnya yang adem ayem menyaksikan.
Anam yang sedari tadi diam menaikkan alisnya. "Ya sebenernya sih gue juga kurang percaya sama cerita tersebut, Ainun-kan masih agak lugu siapa tau aja disalah tangkep. Tapi Loe-kan tau, dua jagoan gue ini sensitif kalau soal Ainun." Ujar Anam.
Bian merespon tidak suka. "Jadi Abi biasa aja pas ngeliat Ainun sama Ami nangis? Ainun ketakutan Abi!" Sewot Bian.
Anam bangkit dari acara sender-sender santainya, sedikit takut juga melihat emosi sisulung. "Santai dong Bian ganteng, Abi juga marah, tapi-kan yang tersangkanya itu si Zander ngapain kita marah-marah sama bokapnya?" Tanya Anam dengan bahasa gaulnya.
Mendenger itu, Bian terdiam. "Iyah juga ya." Tukasnya, lalu setelah itu menyender pada sofa sambil bersedekap d**a diikuti oleh Anam yang kembali bersender santai.
"Loh, kok pada nyantai sih? Katanya kita mau ngebantai keluarga Matatula?!" Azka berseru kesal melihat Ayah dan juga Kakaknya yang malah bersantai.
Bian menepuk bahu Azka, wajahnya menampilkan ekspresi serius. "Yang jadi tersangka-kan si Zander, terus ngapain kita ngebantai keluarganya?" Bian merevisi kalimat Anam tadi.
Bibir Azka piringkan, tak lama bergumam. "Iyah juga ya, yaudah deh." Dan Azka-pun ikut bersender pada sofa, tangannya juga bersedekap seperti Anam dan juga Bian.
Helaan napas pelan terdengar dari bibir Zakaria, matanya menatap malas ketiga lelaki yang duduk bersampingan dengan gaya yang sama. Saat ini Zakaria seolah melihat Anam dengan versi era-nya masing-masing, kedua putera Anam ini mewarisi penus sifat absurd sahabatnya itu. Emosi, posesif dan protektif, aneh, bobrok. Lengkap sudah.
"Terus, adanya gue disini buat apa?"
Sebelum menjawab Anam menguap kencang sampai mulutnya terbuka lebar, sontak saja Bian yang berada tepat disampingnya menutup hidung. "Ih, napas Abi bau bangke!" Serunya spontan.
Anam mendelik. "Ya ampun Bang, jujur amat sama bokap sendiri!" Selorohnya, lalu setelah itu tertawa.
"Bang Bian baru tau? Napas Abi-kan bau bangke fakboi." Azka ikut menyahut, sambil menggaruk tengkuknya.
"Fakboi apaan Az?" Anam mengernyit bingung, sepertinya ia belum mengecek istilat terbaru anak muda masa kini.
Sebelum Azka menjawab dan semakin memperpanjang pembicaraan absurd itu, Zakaria buru-buru menyela. "Kok kalian malah ngobrol?" Tanyanya. "Anam, jawab pertanyaan gue! Loe jangan lupa ya kalau gue itu sibuk." Tukasnya kesal.
Anam menggaruk pipinya, matanya itu terpejam karena mengantuk. Bahkan kedua anaknya-pun melakukan hal yang sama, khas Anam benar-benar terciprat sempurna kepada anak-anaknya. Zakaria jadi penasaran, bagaimana absurdnya Ainun? Apakah gadis itu anggun dan lembut seperti Nadia? Ataukah malah seperti Ainun, Zakaria tidak bisa membayangkan sebuah rumah tangga yang diisi oleh puteranya dan juga Ainun nanti.
Belum juga Anam mengambil napas untuk menjawab, suara salam seseorang yang datang dari pintu dengan tumpukan map mengalihkan fokusnya. Disana, Zander berjalan dengan langkah terburu-buru tampak seperti sedang mengejar bebek dan angsa yang terlepas.
"Mangsa datang, serbu!" Anam berseru heboh, dan dengan kompaknya Bian maupun Azka mengikuti Aba-aba. Mendekat kearah Zander yang sangat terkejut karena pukulan tiba-tiba dari ketiga pria itu.
"Jadi Loe yang bikin adek gue ketakutan sampai nangis? Hah!" Seruan Bian itu bersamaan dengan satu bogeman minta diwajah Zander, mendengar seruan itu membuat Zander tersadar jika ketiga lelaki ini adalah bodyguard-nya Ainun.
Berbeda dengan kedua anaknya yang memilih memukul dengan kepalan tangan, Anam lebih memilih jongkok dibrlakang Zander dan menggunakan kedua jari telunjuknya lalu mencocok-kan kebokong Zander dengan gerakan cepat.
"Argh!" Zander berteriak, kesakitan karena pukulan luarbiasa dari kakak beradik itu dan tersiksa karena kegelian akibat kelakuan absurd Ayahnya.
Melihat sang putera yang sudah babak belur dan tersiksa karena kegelian, akhirnya Zakaria bertindak. Buru-buru ia menarik sang putera dari amukan triple-gesrek itu. "Udah udah, astagfirullah hal'azim!"
Buru-buru Zander berlindung dibelakang sang Ayah, napasnya tersengal. Kalau saja hanya bogeman, Zander masih bisa menahan dan kalau mendesak pun masih bisa melawan. Tapi ini, tusukan dibokongnya itu membuat rasa sakit berlipat-lipat karena kegelian, fokusnya untuk menghindar-pun jadi hilang.
"Om ngapain sih pake ngebantuin segala? Kita-kan belum puas buat mukulin dia!" Seru Azka emosi, baru saja ingin mendekat Zakaria menahannya.
"Udah cukup, emang kalian enggak mau mgedengir penjelasan anak saya dulu? Seperti yang Abi kalian bilang, Ainun itu anak yang lugu. Bisa saja dia salah tangkap dengan apa yang diucapkan oleh Zander." Zakaria mencoba meredam udara panas, ternyata kedua putera Anam ini juga mewarisi kekuatan sang Ayah.
Mendengar hal itu, Bian dan Azka terdiam saling tatap lalu mengangguk. Mereka duduk terlebih dahulu, mengikuti sang Ayah alias Anam yang ternyata sudah bersender kembali. "Ya ampun Zak! Ada tamu kebesaran begini kok gak dikasih jamuan." Anam sengaja berseru, menyindir Melia yang tengah berada didapur bersama isteri dan puterinya. Tetapi ketika dilirik, Melia tetap adem ayem.
"Kok gak kedengeran sih?" Gumamnya kesal. Anam-pun kembali melakukan hal yang sama. "Ada tamu kok gak dikasih jamuan sih!" Tetapi hasilnya tetap nihil.
Karena kesal, Anam-pun merebut paksa ponsel Zakaria dan menelpon salah satu nomor. Sengaja, agar para ciwi-ciwi itu menatap kearahnya. Pantas saja perkelahian mereka ketiga ciwi-ciwi itu adem ayem, seruan saja tidak terdengar.
"ABI ADA APA NELPON!" Melia berseru kala melihat ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama sang suami. Zakaria yang sadar-pun mendengus kesal.
"MEL, AKU MAU KOPI YA!" Bukannya Zakaria yang menyahut, tapi Anam. Tamu terlaknat yang pernah diterima oleh Zakaria.
Bian menyenggol tangan Anam, membuat pria itu menoleh. "Aku mau Bi." Ujarnya.
Kepala Anam mengangguk. Tapi sebelum kembali berteriak, Azka buru-buru memotongnya. "Azka mau juga dong Bi."
"No! Kamu masih sekolah, s**u cokelat aja!" Tolak Bian, yang diangguki setuju oleh Anam. Setelah melihat kepasrahan putera bungsunya, lantas Anam kembali berteriak.
"MAAF YA MEL, KOPINYA DUA SAMA s**u COKELAT SATU." Anam berteriak tanpa malu sekalipun. Setelah itu kembali duduk dengan santai, matanya bertemu dengan mata Zakaria yang tengah menatapnya. "Kenapa loe?"
Zakaria memutar bola matanya malas, percuma saja marah-marah. Manusia sejenis Anam ini tidak akan bisa dikalahkan jika hanya dengan memarah-marahi saja. Jadi biarlah spesies Anam ini bertindak sesukanya.
Zander yang duduk didepan ketiga manusia yang tadi menyerangnya hanya dapat melongo melihat tingkah ketiganya, padahal kekuatan mereka kala memukulinya tadi sangat kuat. Tapi mengapa ketika sedang seperti ini malah terlihat aneh.
"Saya menunggu penjelasan kamu-loh." Anam menatap Zander, walaupun terlihat sahtai tapi tatapan itu sukses membuat Zander gelagapan.
Kegugupan Zander bertambah kala melihat tatapan kedua lelaki disamping Anam, mengapa mereka kompak sekali sih? Dan juga, mengapa perubahan ekspresi keduanya sangat cepat? Tajam, Jenaka dan sekarang sudah menajam lagi. "Pertama-tama saya mau minta maaf, saya sudah membuat Nunuy menangis."
"Nunuy?" Azka membeo, dahinya mengernyit dengan masih menyorotkan tatapan tidak suka.
"Panggilan kesayangan saya buat Ainun." Zander langsung terdiam kala mendapat tatapan tajam dari ketiganya. "Ma-maksudnya, bi-biar beda aja." Lanjutnya. Setelah dirasa aman, Zander kembali menjelaskan.
***
"Sstt, jadi gitu Om ceritanya." Zander meringis ketika Ibunya menekan luka dibibirnya.
Anam mengangguk paham, yang diceritakan Zander tadi memang sangat mirip dengan tebakannya. Setidak suka-tidak suka dirinya pada Zander, tapi Anam tahu jika putera sahabatnya itu tidak sampai melakukan hal tersebut. Mengingat, Zakaria berkepribadian cukup keras. Ini pasti hanya kesalahpaham antara pendengaran dan otak kecil puterinya, Anam hanya membuka tangan saja ketika kedua puteranya berkata ingin menyerang Zander. Toh itu hak mereka, Bian dan Azka hanya tengah berperan sebagai seorang kakak yang baik.
"Makanya, kalau punya mulut tuh dipake yang bener! Jangan asal ngomong!" Ujar Melia gemas, dan dengan sengaja menekan luka Zander sampai sang empu meringis.
Nadia yang melihat-pun merasa kasihan. "Maaf ya Nak Zander, Abi sama Abang-abangnya Ainun emang galak. Jadi asal pukul aja, padahal-kan belum dengerin penjelasannya."
"Gakpapa Nad, Zander emang butuh pelajaran!" Melia yang menyahut, tampak sangat gemas dengan sibungsu.
Zakaria berdehem, lalu memijat pangkal hidungnya. Drama macam apa ini? Sampai-sampai ia harus merelakan setengah harinya bekerja. "Jadi bagaimana? Pihak kalian sudah mau memaafkan?" Tanya Zakaria sambil menatap para duplikat Anam.
"Bang ditanya tuh!" Nadia menyenggol Azka yang tengah sibuk meniupi pisang cokelat buatan Melia.
Yang pertama bersuara adalah Bian. "Kalau saya sih iya, maaf juga langsung bermain tangan tanpa mendengar penjelasan lebih dulu. Walaupun saya gak menyesal sama sekali, karena kalaupun Zander tidak ada niatan sekalipun, dia tetap sudah membuat Ainun menangis. Dan itu adalah sebuah kesalahan." Ujar Bian sambil mengelus punggung Ainun yang tengah memeluknya.
Zakaria mengangguk, yasudah-lah. "Kalau Azka bagaimana?" Tanyanya kepada putera Anam paling absurd. Lihatlah, bahkan tanpa malunya menghabiskan satu piring piscok.
"Azka ngikut Bang Bian aja." Jawabnya cuek. "Tapi awas aja kalau Ainun sampe ditangisin lagi! Azka timpah Mr. Zander pake candi borobudur!" Ancam Azka dengan tatapan tajam, setelah itu kembali menikmati makanannya.
"Kalau Ainun bagaimana? Mau maafin Zander gak?" Kini Melia yang bersuara, karena tadi mendapat bisikan dari Zander. Sepertinya, puteranya itu takut jika sang pujaan hati tetap marah.
Mendengar ada yang menyebut namanya, Ainun menyembulkan wajahnya, ketika melihat seluruh tatapan menuju kearahnya Ainun terdiam sebentar.
"Gakpapa kok kalau gak dimaafin." Melia kembali berujar, dan langsung diberi tatapan tidak suka dari Zander. Tidak-tidak, gadis kesayangannya itu harus memaafkannya.
"Allah aja maha memaafkan, masa Ainun enggak?" Anam ikut membujuk, kalau ia tidak ikut serta dalam pengeroyokan Zander mungkin ia tidak akan melakukan ini. Karena ikut serta dan merasa tidak enak, jadi yasudahlah.
"Tapikan Ainun bukan Allah, Ainun manusia biasa." Jawaban Ainun itu sukses membuat Anam mengatupkan bibirnya kembali, Anam seolah tengah berbicara pada dirinya sendiri. Ainun itu dirinya versi keras kepala, ada saja jawabannya untuk pembelaan diri.
"Jadi, Ainun gak mau maafin nih?" Tanya Bian.
Ainun terdiam sebentar, matanya melirik wajah Zander. Mendengar penjelasan pria itu membuat dirinya merasa bersalah, ya walaupun masih takut juga. Pertanyaan Zander masih terngiang-ngiang dikepalanya. "Yaudah, Nunuy maafin Kang Omeh."
"Hah? Kang Omeh?" Tanya Melia dengan kedutan bibir. Sedangkan Zander menunduk, menyembunyikan senyum senangnya. Bahaya jika dirinya kecyduk oleh ketiga iblis itu.
Ainun mengangguk kecil. "Iyah, Omeh itu orang yang pikirannya jorok mulu." Jawabnya pelan.
Anam menautkan alisnya, berpikir keras. Ketika menemukan jawabannya, lantas dirinya terkekeh. "Omes kali Inun sayang, bisa aja ah kamu ini!" Ujarnya sambil mencubit gemas pipi Ainun.
"Ainun tau kok." Jawabnya cepat.
"Loh? Kalau tau kenapa nyebutnya Omeh?"
"Karena Inun lebih suka Omeh daripada Omes, emang ada masalah?" Pertanyaan ketus sang puteri itu membuat Anam membisu, memilih memgangguk saja. Sedangkan Zakaria terkekeh, Anam ternyata dapat merasakan bagaimana menyebalkan dirinya dari puterinya sendiri.
"Terus, kok manggilnya Akang sih?" Melia kembali menyahut.
"Kan Omeh itu udah tua, kalau dipanggil Kakak Abang atau Mas kemudaan. Kalau dipanggil Om kasian juga. Jadi Akang aja." Ainun kembali menjawab dengan pemikiran uniknya.
"Inun gak boleh ngomong gitu." Nadia menegur, tidak enak dengan kedua orangtua Zander.
Ainun menoleh dengan mata yang mengerjap pelan. "Kenapa Mi? Kan Kang Omeh emang udah tua, katanya umur dia dua puluh tujuh tahun. Bukannya itu udah tua ya? Bang Bian aja dua puluh empat tahun."
"Iya, Kang Omeh emang udah tua. Kasihan belum nikah-nikah." Zakaria menyahut, meledek sang putera yang hanya terdiam. Tak berani membuka suara.
"Cie, kalian punya nama panggilan kesayangan ya?" Melia berseru menggoda.
"Enggak tuh, Nunuy gak sayang Kang Omeh cuma sekedar menghormati aja. Menghormati yang lebih tua." Celetuk Ainun polos.
Zakaria mau tak mau tertawa, kalau saja Raka ada disini pasti dialah yang paling kencang tertawa. "Kamu bener-bener duplikat Abi kamu ya Ainun."
Anam mendengus, dengan mata mendelik kesal. "Yasudah deh, udah sore. Kuy guys kita pulang!" Serunya seraya bangkit.
Azka buru-buru meneguk s**u cokelat sampai tandas, lalu menyahuti seruan Abinya. "Kuy!"
Nadia meringis melihat kelakuan mereka. "Maafin kelakuan mereka ya, anak-anak emang mirip banget sama Abinya."
Melia tertawa. "Gakpapa, malahan seru Nad rumahnya rame." Tukasnya ketika sampai didepan rumah.
"Makasih Ya Tante Melia, s**u cokelat sama pisanh cokelatnya enak banget." Ujar Azka seraya bersalaman, setelah itu masuk kedalam mobil bersama Ainun. Matanya melotot ketika melihat Zander yang mencuri-curi pandang keadiknya. "Jaga pandangan!"
Zander langsung meringis. "Sorry sorry."