II. Sesudahnya

1772 Kata
Jakarta, 2021. Grizella dilema, ditatapnya Aarave yang kini juga menatapnya. Sudah sedari sepuluh menit lalu Aarave membawanya ke taman kota yang cukup sepi di hati libur seperti ini. Wajah laki-laki itu tersenyum manis sambil mengusap pucuk kepalanya. Terlihat natural dan begitu murni, ah ... mungkin jika kejadian kemarin tidak ada, Grizella akan merasa sangat bahagia. Sayangnya, Aarave berhasil mematahkan hatinya. Tepat di hari jadi keseratus mereka. "Astaga, gue beruntung banget bisa punya lo!" ucap Aarave seperti dengungan yang menyakiti telinganya. Bukannya senang, kalimat Aarave justru menimbulkan himpit sesak dalam dadanya. Soal bahasa gue-lo, memang tidak pernah terganti menjadi aku-kamu meski mereka sudah menjalin hubungan. Awalnya, Grizella pikir ini semua karena kebiasaan. Namun, kenyataannya berbeda, semua ini justru karena memang tidak ada perasaan. "Kita putus aja, ya?" tanya Grizella, tangannya menyingkirkan tangan Aarave dengan lembut, tidak ingin laki-laki itu sadar bahwa dia tahu semuanya. Jujur saja, rasanya sangat sesak. Grizella pikir mencintai dan dicintai Aarave adalah hal terindah. Nyatanya? Zonk, Grizella bahkan tidak mendapatkan secuil saja rasa cinta darinya. Aarave terlihat terkejut mendengar pertanyaannya, dia terbatuk sebentar. "Zella, kenapa lo bilang gitu?" Aarave mengusap tengkuknya. Grizella akui, Aarave cukup pandai bermain peran sekarang. Ekspresi terkejut dan sedikit marah itu benar-benar tampak natural, seperti memang benar laki-laki itu mencintainya. “Gue capek aja jalanin hubungan kaya gini.” “Oh, okey kalau itu mau lo.” Grizella sudah menduganya, jadi dia tidak perlu terkejut bukan? Meski kenyataannya begitu sesak karena dengan mudahnya Aarave mengiyakan ajakan putusnya. Dia sudah mempersiapkan diri agar tidak patah, tapi akhirnya patah juga. Namun, dia masih beruntung karena tidak perlu membuang air mata. Dia terlihat tenang karena air matanya memang sudah terkuras habis semalaman. “Makasih karena ngertiin gue,” ucap Grizella tersenyum tipis. “Gue juga ngerasa hubungan kita terlalu flat, jadi ya gimana lagi? Gue nggak tega bikin lo tersiksa kalau terus sama gue.” Jika sedang tidak berakting, Grizella pasti akan mendengus keras disertai air mata. Flat katanya, padahal ... memang dasarnya tidak ada perasaan. "Terlalu datar, ya? Nggak ada cemburu, nggak ada ngambek, marahan, debat, dan posesif?" tanya gadis itu sebiasa mungkin. Bodohnya, Aarave menganggukkan kepala. "Gue tahu lo ngerasa nggak ada rasa gitukan pacarannya?" "Jadi?" "Ya kaya kata lo tadi, nggak papa kita putus," ulang Aarave. Grizella terdiam sejenak. Dia sebenarnya tidak sanggup, Grizella begitu menyukai Aarave sejak kecil. Menjadi pacar Aarave adalah sesuatu yang begitu membuatnya bahagia dan kini sesuatu itu harus direnggut paksa karena Aarave sudah menemukan cintanya, diterima oleh cintanya yang sesungguhnya. Namun, ini keputusannya, mendengar Aarave memutuskannya justru lebih menyakitkan daripada laki-laki itu menerima dengan mudah ajakan putusnya. Gadis itu pun beralih menatap Aarave yang kini menatapnya dengan serius. "Ya udah, makasih, ya?" °^°^°^°^°^°^° "Ya udah, makasih, ya?" Aarave berkedip cepat. Laki-laki itu tidak percaya bahwa Grizella benar-benar mudah melepasnya. Dia pikir Grizella tidak akan berani memutuskan dirinya karena sedari awal gadis itu selalu berusaha membuatnya jatuh cinta. Tiga bulan, dan Aarave tidak bisa berbohong jika Grizella itu menyenangkan. Dia pikir, dia harus penuh usaha mengajak Grizella putus, kemudian Aarave harus meyakinkannya dengan berbagai macam alasan yang sudah dia persiapkan. Namun, siapa sangka jika Grizella justru yang memutuskan dirinya? Dia terkejut, egonya sedikit tersentil begitu sadar bahwa Grizella tidak menangis karena kehilangan dirinya. Dia pikir alasan Grizella menerimanya adalah gadis itu mencintainya. Kenyataan yang memilukan, membuat dadanya panas bukan main. "Segampang itu?" tanya Aarave berhasil menimbulkan garis halus di dahi Grizella. "Memang harus gimana? Lo juga segampang itu nerima ajakan putus gue, ‘kan?" Dia terbungkam. Grizella benar. Memang rencananya akan memutuskan gadis itu, bukan? Jadi kenapa dia harus keberatan Grizella segampang itu memutuskannya? Lagi pula ada Grizelle yang menantinya, cinta pertama yang sudah menunggu kabar gembira bahwa hati dan raga Aarave sepenuhnya milik gadis itu. "Iya, 'kan? Kalau gitu gue mau pamit, ya?" Aarave tetap membisu, bahkan setelah Grizella menghilang dari pandangannya, Aarave belum bisa bergerak. Tiga bulan lebih, tidak mungkin Aarave lupakan lamanya hubungan mereka, dan selama itu pula Aarave sebenarnya mulai mengenal Grizella lebih dari sebelumnya. Gadis itu ternyata lebih menyenangkan jika hanya berdua dengannya. Dia bisa sama persis dengan Grizelle yang hangat saat hanya bersama dirinya. °^°^°^°^°^°^° Langit berubah begitu cerah setelah Grizella menapakkan kakinya di depan sebuah kedai makanan. Gadis itu mengusap pipinya degan kasar, menghapus setiap jejak air mata yang jatuh tidak diiringi hujan. Padahal, gadis itu berharap bahwa langit pun ikut menangisi nasibnya. Namun, nyatanya langit malah berpesta bahagia melihatnya terluka. Grizella mengambil cermin dari tas selempang yang setia menemaninya ke mana pun. Dilihatnya wajah kuyu dan mengenaskan miliknya. "Jijik banget, cuma gara-gara cowok gue sekacau ini," gumamnya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia tidak menyangka akan menangis lagi setelah semalaman menangis hebat. Tapi setidaknya dia tidak menangis di depan Aarave. Dia mulai memoleskan sedikit bedak untuk menyamarkan bekas tangisannya. Sebenarnya sedikit memalukan karena beberapa pengunjung yang akan masuk ke kedai menatapnya yang sedang asyik memoleskan bedak ke wajahnya. Ah, tapi kalau sudah terlanjur malu, Grizella jadi tidak masalah. Bahkan Grizella mengambil liptin sebagai pemanis bibirnya. Setelah semuanya selesai, Grizella menarik napas dalam-dalam kemudian memasuki kedai dengan senyum andalannya. Teng. Lonceng berbunyi begitu pintu di buka. Lima detik dia menjadi pusat perhatian beberapa orang, sebelum akhirnya semua beralih menatap barista di kedai itu. "Nj*r, ngapain lo ke sini pakai bedak setebel itu?!" tanya laki-laki berbaju hitam itu dengan celemek coklat yang menempel apik di dadanya. Grizella meringis tanpa dosa. "Biasa." Suasana kedai menjadi panas, pengunjung wanita banyak yang berbisik-bisik tentang kedekatan mereka. "Aarave?" Grizella mengangguk. "Putus." Laki-laki berambut hitam itu pun mendengus. "Bangk*, baru tiga bulan udah putus?!" "Ya gimana, Ka, nggak cocok," jelas Grizella seadanya. "Dia yang nggak cocok sama lo, kalau lo udah jelas cinta sama dia!" "Udah deh, Ka, nggak masalah kok." "Masalahnya apa yang gue bilang beneran terjadi, 'kan? Dia suka sama Grizelle." Grizella dibuat bungkam. Tanpa Raka beritahu pun sejak awal Grizella sudah tahu. Aarave mencintai Grizelle, sejak dulu. °^°^°^°^°^°^° Grizelle memekik senang begitu Aarave mendudukkan diri di depannya. Wajahnya terlihat fresh dengan make up tipis dan bibir terlapisi liptin segar. Celana selutut dengan hoodie abu-abu membungkus tubuh mungilnya dengan begitu apik. Aarave tidak bisa berbohong bahwa Grizelle lebih menarik daripada Grizella yang senang menggunakan rok pendek. Mantannya itu terlihat terlalu feminim. "Maaf lama," ucap Aarave dengan senyum tidak nyaman. Grizelle mengangguk, gadis itu menyodorkan satu cup minuman yang dipesannya untuk Aarave. "Nggak papa, tapi udah clear semua, 'kan?" "Udah," kata Aarave. Bibir laki-laki itu sudah membuka ingin meneruskan ucapannya, namun urung karena pelayan datang membawakan makanan mereka. "Aku udah pesenin makanan kesukaan kamu," kata Grizelle penuh semangat. Aarave terdiam menatap spaghetti bolognese di depannya. "Kenapa nggak dimakan, Rave?" tanya Grizelle. Aarave tersenyum canggung, dia tidak suka dengan spaghetti bolognese. Namun, ingin mengatakannya kepada Grizelle rasanya tidak enak, Aarave takut jika gadis itu merasa tersinggung. "Eh, ini karena aku takjub aja kamu hafal kesukaan aku," jawab Aarave berbohong. Dia hanya tidak ingin mengecewakan Grizelle. "Rave, aku jahat nggak, sih, sama kakak?" Grizelle berubah menjadi sedih. Entah pura-pura atau sungguhan, tidak ada yang tahu bukan? Aarave menelan spaghetti itu dengan susah payah. "Jahat gimana?" "Ya... aku ngerebut kamu," gumam Grizelle meski Aarave masih mampu mendengarnya. Aarave meneguk minumannya. "Mana ada, aku dari awal cintanya sama kamu." "Tapi, kamu udah duluan jadian sama kak Zella." Meski begitu, apa yang Aarave yakini adalah sebuah kesalahan bila mengatakan bahwa Grizelle telah merebutnya dari Grizella. Nyatanya, tiga bulan bersama tidak berhasil membuatnya merasakan apa yang orang sebut cinta. "Zelle, enggak ada yang salah. Yang salah itu aku karena udah bikin kakak kamu terlibat dan manfaatin dia buat jadi pelampiasan." Ya, Aarave sangat yakin jika yang salah adalah dirinya. Salah karena terlalu gegabah melampiaskan rasa patah hatinya. "Cuma, boleh kalau kita umumin tentang statusnya menunggu waktu? Aku nggak mau kamu dicap sebagai pengganggu." °^°^°^°^°^°^° "Bunda masakin kalian banyak makanan!" ucap Soraya sambil merentangkan tangannya. Grizella, Grizelle, dan Aarave bertepuk tangan heboh menyambut Soraya. Bram sebagai suami yang telah menikmati tingkah laku sang istri selama pernikahan mereka pun hanya diam tersenyum tipis. "Makasih, Bunda ... pengertian banget deh!" seru Grizella membuat pipi Soraya bersemu. Hebat bukan, meski baru saja patah, Grizella mampu terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Bahkan senyum dan wajah Grizella tampak seperti orang yang benar-benar tidak memiliki luka. Alasan berkumpulnya mereka karena kedua orang tua kembar yang sedang ada urusan di luar kota. Jadilah, mereka dititipkan di rumah Aarave. Sebenarnya, kejadian ini bukanlah yang pertama, malah sudah menjadi rutinitas setiap kedua orang tua mereka ada acara. Namun, malam ini si kembar hanya akan di rumah Aarave untuk makan malam, untuk tidur mereka akan kembali ke rumah. "Jelas dong, anak Bunda 'kan kumpul semua!" Senyum Grizella sedikit meredup begitu menangkap Grizelle dan Aarave yang sudah saling bercanda tawa. Ah, sepertinya posisi duduk yang membuat Aarave ada di antara mereka adalah kesalahan besar. "Oiya, Zella, gimana kejutannya?" Semua langsung menatap Grizella yang terdiam kaku. Dia lupa memberitahu Soraya bahwa kejutan itu adalah sebuah rahasia yang cukup diketahui oleh dia, Soraya, dan Tuhan. "Kejutan apa?" tanya Aarave dan Grizelle semakin membuat Grizella keringat dingin. °^°^°^°^°^°^° Bandung, 2014. “Kakak aku mau duduk depan!” Grizelle kecil tampak marah saat mengetahui kakaknya sudah dinaikan oleh sang papa di kursi bagian depan mobil mereka. Gadis berkucir dua dengan pita berwarna merah itu merengek dan menarik tangan sang kakak dengan gemas. “Turun, Kak! Kakak di belakang sama mama aja!” Grizella, gadis kecil berkucir kuda itu tampak memelas. Wajahnya menatap sang mama yang berdiri di belakang adik kembarnya. “Ma, hari inikan Grizella yang di depan?” “Itukan kalau kita sekolah, Kak!” Grizelle kecil cemberut. Rada pun sedikit menunduk, mengelus pelan cengkeraman tangan Grizelle di tangan Grizella. “Adek, jatah adek hari ini di belakang. Nggak boleh curang, ya?” “Nggak mau! Kalau kakak tetep di depan, Grizelle nggak ikut!” Sean tampak menghela napas lelah. Pria itu pun meletakan kotak kardus yang baru saja dia angkat. “Adek, kasihan–” “Huaaa! Mama sama Papa nggak sayang Grizelle! Grizelle emang bukan anak Papa sama Mama!” Akhirnya, Grizella menghela napas lelah. Ini bukan pertama kalinya Grizelle ingin di depan saat giliran Grizella yang di depan. Anak sulung dari Sean lantas melepas dengan lembut cekalan tangan sang adiknya. “Ya udah, kamu minggir. Kakak di belakang lagi.”   °^°^°^°^°^°^°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN