3. Takdir yang Membawa Mereka

1017 Kata
Harusnya memang Naya tidak perlu menjemput Rayya di club malam itu. Harusnya Naya tidak perlu mendengarkan perkataan ibu tirinya yang memaksa untuk menjemput saudari tirinya itu. Harusnya Naya tidak perlu menurut pada wanita itu setelah selama ini perlakuannya pada Naya maupun adiknya—Kevin—tidak bisa disebut seperti perlakuan Ibu pada anak. Harusnya dan harusnya yang terus menerus berputar di kepala Naya sepanjang brangkar berisi salah satu korban tabrakan itu kini dilarikan ke Unit Gawat Darurat rumah sakit terdekat yang bisa mereka jangkau. “D-dia... Dia bakal baik-baik aja, kan, Nay? Dia pasti bakal baik-baik aja, kan?” Rayya yang entah sudah kembali pada kesadaran penuhnya atau tidak—karena seingat Naya pengaruh alkohol wanita itu tadi cukup tinggi—tengah merancau di samping Naya yang berjalan cepat dengan suara parau dan sarat akan ketakutan. Wanita itu pasti sadar bahwa karena kegilaannya, ada nyawa lain yang kini dipertaruhkan karena tindakan mereka. Sadar? Benarkah Rayya sudah sadar? Meski sekarang Rayya bicara seolah sudah benar-benar sadar dari pengaruh alkoholnya, Naya masih benar-benar meragukan hal itu atau mungkin tidak peduli lagi dengan apa saudari tirinya itu katakan. Nyatanya fokus Naya saat ini hanya tertuju pada sosok yang kini tak sadarkan diri dan bersimbah darah di sampingnya, fokus pada orang itu hingga— “Maaf, kalian hanya boleh mengantar sampai di sini.” Salah satu perawat yang ikut mendorong brangkar itu menghentikan langkah Naya dan Rayya tepat di depan pintu UGD, lantas meninggalkan mereka dengan menutup kembali pintu yang bergerak otomatis itu dengan menorong ranjang pasien masuk agar bisa cepat-cepat menerima penanganan. “Gimana ini, Nay? Gimana kalau dia—nggak! Gue nggak ngelakuin kesalahan apa pun! Lo yang nyetir dan lo yang harus tanggungjawab kalau ada apa-apa sama orang itu. Lo yang harus tanggungjawab dan bukan gue!” Rayya berseru histeris dan bergerak mundur hingga perlahan wanita itu memutar tubuhnya lantas berlari dari sana. Berlari meninggalkan Naya yang masih berdiri di depan ruang UGD, meninggalkan Naya yang masih gemetar ketakutan karena apa yang terjadi beberapa puluh menit lalu. Naya menyaksikannya, Naya tidak bisa melupakan apa yang dilihatnya tadi dari kepala. Pria itu, dengan keadaan tubuhnya yang tergencat, juga darahnya yang mengalir dari beberapa bagian tubuh. Keadaan itu benar-benar tidak bisa luput hilang dari benak Naya, bahkan meski sosok itu kini sudah berada di dalam UGD sana. Naya tidak bisa menepis apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Wanita itu bahkan hingga tidak peduli, bahwa di tubuhnya kini berlumuran darah dari korban kecelakaan di balik mobil pribadi itu. Darah yang membercak di sebagian tangan, pakaian bahkan wajah wanita itu. Semuanya menempel di sana menjadi penghias wajah Naya yang pias dan pucat bukan main. *** Naya buru-buru melepas sabuk pengamannya begitu sadar bahwa dirinya tidak bisa terus berdiam diri di sana. Wanita itu langsung membuka pintu mobil dan berlari menghampiri tempat terjadinya tabrakan itu meski dirinya harus berlari dengan degup jantung yang berpacu begitu kencang. Kedua mata wanita itu sudah berkaca-kaca dengan keadaan yang dia lihat. Pecahan kaca mobil, badan mobil yang ringsek, sebagian bahkan berada di bawah truk yang pasti menghantamnya begitu keras. Bagaimana ini... Bagaimana kalau—? Suara benturan lain terdengar begitu Naya berada semakin dekat dengan lokasi kejadian. Mata Naya memindai bagaimana seorang lelaki turun dari bagian kemudi truk besar yang sudah menghancurkan mobil pribadi itu—ah, masih bisakah Naya mengatakan bahwa truk itu yang menghancurkan dan menyebabkan kecelakaan ini? Jika nyatanya, mobil yang dikemudikan olehnya-lah yang menjadi penyebab dan andil bagian dari peristiwa yang terjadi saat ini. “Ya Tuhan... Ya Tuhan bagaimana ini?” seruan pria itu terdengar panik, berusaha melongok ke bagian mobil pribadi yang ringsek karena truk yang dia kendarai menghantamnya begitu keras. Satu kesimpulan yang bisa Naya ambil dari apa yang dilihatnya, sepertinya pengemudi truk itu masih terlihat baik-baik saja dan mungkin hanya terkena cidera ringan karena pria itu justru terlihat lebih panik setelah melihat mobil yang baru saja ditabraknya. Pria itu cemas bahkan takut dengan apa yang akan dia hadapi. Persis sebagaimana keadaan Naya saat ini. “Pak? Mas! MAS YANG ADA DI DALAM ANDA DENGAR SAYA?! MAS!” Pria pengemudi truk itu mencoba melongok, dengan keberanian yang coba dia kerahkan pada dirinya sendiri, memanggil pria yang terjebak di dalam mobil itu untuk menjaga kesadarannya. “Pa-Pak... ba—” “Ya Tuhan kakinya kejepit, Mbak! Kakinya... Darah! MAS?! MAS KAMU HARUS DENGAR SAYA!” Pria itu berteriak lagi, terlihat benar-benar panik. Naya yang mendengar suara ketakutan dan bergetar itu alhasil merogoh seluruh bagian pakaiannya untuk mencari benda yang—ketemu! Ponselnya itu beruntung berada di saku jaketnya. Dengan tangan bergetar dan kepanikan serta ketakutan tinggi Naya berusaha menghubungi nomer darurat. Wanita itu langsung menempelkan ponselnya ke telinga setelah selesai menekan beberapa tombol di sana. Menunggu dalam hitungan kacau di kepala, Naya berdoa sampai sambungan di seberang sana menjawabnya dengan suara layanan yang ramah namun tetap tidak mampu membuat Naya tenang dengan pikirannya. “Halo? Dengan—” “To-tolong! Ambulance! Tolong datangkan ambulance ke sini secepatnya! Kecelakaan, di sini ada mobil yang kecelakaan dan seorang pria sekarang dalam keadaan tergencet di dalam mobilnya! Tolong! Saya mohon tolong datangkan ambulan secepatnya! D-dia, dia mengeluarin banyak darah!” suara Naya benar-benar tidak bisa dikondisikan. Bahasanya kacau, susunan katanya berantakan. Wanita itu bahkan sudah menitikan air mata saking takutnya. Setelah diminta sedikit lebih tenang. Naya diminta menyebutkan di mana letak lokasi mereka saat itu, hingga informasi yang diberikan Naya dapat memudahkan petugas yang bersangkutan agar bisa langsung menuju ke tempat kejadian dan memberikan pertolongan mereka seperti yang Naya inginkan. Wanita itu tidak lagi berpikir apa-apa ketika sambungan teleponnya berakhir. Melepaskan begitu saja ponselnya tanpa tenaga hingga benda itu membentur jalan aspal dan berakhir di sana tanpa mendapat perhatian. Naya tidak peduli, karena setelahnya, yang Naya lakukan adalah mendekati celah mobil seperti yang dilakukan supir truk itu. Berusaha melongok siapa pun pengemudi yang berada di dalam sana. “Tolong... Tolong bertahan sampai bantuan datang.” Pinta Naya memohon dengan sangat, tanpa sadar dirinya sudah berlutut di antara darah yang mengalir dari si pengemudi di dalam mobil itu yang merembes keluar dan membasahi daratan aspal yang kini basah dan merah dengan kentalnya darah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN