3. Rencana Gila

1325 Kata
Nafasku tercekat di tenggorokan saat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Papa. Mataku mengerjap tak percaya pada wajah beliau yang terlihat begitu serius, lalu mengalihkan pandanganku pada Mama yang sudah menghujaniku dengan senyum keibuan miliknya. "Nah, Mas Evan sudah mengatakan tujuannya datang ke rumah kita. Jadi bagaimana menurutmu, Sayang?" suara Ayah membuyarkan kemelut dipikiranku. Kutatap Ayah yang kini menatapku dengan tatapan berbinar, sementara di sebelahnya Jeje terlihat tegang menunggu jawabanku. Tunggu! Jawaban? Ini serius aku harus memberikan jawaban?! Kuedarkan pandangku ke setiap orang yang kini menatapku menunggu(?) Mulai dari Papa-Mama, Ayah-Bunda, Zia-Ardi, Anna-Kak Gibran, Cicit, dan... Jeje yang tak luput dari tatapan bingungku. Aku menelan saliva-ku susah payah, masih tak percaya dengan situasi yang kuhadapi detik ini. "Udah sih Mbak, tinggal terima bilang 'iya' aja lama banget! Abis itu kan beres, Bang Jeje jadi Kakak iparku deh! Iya nggak Bang?" sela Cicit ditengah kesunyian mengerling menatap Jeje yang duduk di sebelahnya. Dengan senyum lebar Jeje menyambut perkataan Cicit, keduanya ber-toss-ria membuatku mendengus sebal melihat mereka. Apalagi setelah mendengar ucapan Cicit yang masih dapat kudengar jelas meski dia bermaksud untuk berbisik. "Coklatnya 10 batang ya, Bang!" kata Cicit yang langsung dihadiahi anggukan oleh Jeje. Cih! Dasar Cicit cicit melati ali baba, masa minta sogokan semurah itu! Hei dimana harga dirimu, Dek! Oke salah fokus, Meta! "Ekhm!" aku menyela, membuat keduanya yang kini asik cekikikan menoleh menatapku. Kutatap mereka dengan sorot geram, tapi adik resekku itu malah meletin lidahnya songong. Sementara Jeje cuma nyengir sok ganteng. Dihhhhh amit-mait dehhhh. Ya Tuhan, bagaimana kalau hamba punya adik dan suami yang suka berkomplot menjatuhkan hamba seperti mereka. Eh? Suami? Tunggu! Memangnya aku mau terima lamaran Jeje? Ngga enak aja! Nggak semudah itu kelesssss.. "Anu Mama, Papa... Ayah, Bunda... Meta boleh izin bicara dulu sama Jeje?" tanyaku memastikan. Aku tak bisa diam saja sebelum mendengar penjelasan Jeje tentang maksud semua ini. Dan aku juga tidak mungkin langsung nolak tanpa mencoba pura-pura berpikir sementara Papa sama Mama sudah jauh-jauh datang dari Jerman. Mama menatapku lembut, lalu tersenyum. "Silakan, Sayang, tapi Mama harap setelah kalian bicara Mama bisa dapat jawaban yang nggak mengecewakan Mama sama Papa ya." Glup Ini mah kok kedengarannya kaya sebuah ancaman yak?! Aku kaya dihipnotis suruh jawab 'iya' gitu.. Kubalas senyuman Mama ragu dan beralih pada Jeje dengan tatapan ganas. Mengisyaratkan padanya untuk ikut denganku. Aku berdiri, begitupun dengan Jeje yang mulai mengikuti langkangku menuju balkon di samping rumah. Kutatap Jeje tajam setelah kami hanya berdua, meletakan kedua tanganku yang melipat di depan d**a menuntut penjelasan. "Lo apa-apaan sih?!" tanyaku heran tak habis pikir. "Apanya yang apa-apaan?" Ia membalas sok tak mengerti. Aku mendengus dan menatapnya kesal. Aku semakin bingung jawaban apa yang harus kuberikan pada Papa dan Mama. Mereka sudah jauh-jauh datang ke sini, dan sebenarnya tak ada masalah jika aku harus menjadi menantu mereka sekalipun, karena jujur aku memang sudah sayang dan menganggap Papa Mama seperti orangtuaku sendiri. Tapi kenapa harus Jeje anaknya?! Kenapa harus Jeje yang aku nikahi agar menjadikanku menantu mereka?! Huhu ini mah kaya disuruh makan buah si malapetaka, eh si malakama apa ya? Ah pokoknya gitu... nolak susah, nerima pun gimana gitu, hiks. Papa sama Mama kenapa punya anak Jeje doang sih? Aku rela deh jadi menantu kalian asal dengan anak laki-laki Mama Papa yang lain. berondong 18 tahun juga nggak apa-apa (Sumpah ini mah modus author-nya promosiin ceritanya yang laen -_-) yang penting jangan Jeje! "Jangan sok gak ngerti deh! Maksud lo apa lamar gue kaya gini tanpa bilang dulu ke gue?!" Jeje malah memadang tampang bingung mendengar bentakanku. "Lah, kan waktu itu aku udah lamar kamu, Sayang. Eh kamu-nya malah marah-marah nggak nerima juga nggak nolak. Aku pikir itu karena kamu anggap aku bercanda, so... karena aku serius ya udah aku suruh Papa-Mama lamarin kamu buat aku, biar kamu tau kalau aku nggak bercanda," katanya mantap. Astaga nagaaaaaa... masa sih yang waktu itu beneran ajakan nikah yang serius dari Jeje?! Aduh ini anak otaknya di mana ya? Siapa pun yang denger apa yang dia omongin waktu itu pasti nyangkanya main-main lah! Dan emang iya waktu itu aku nggak nerima dan nggak nolak lamarannya?! Perasaan aku nolak deh. Aku kan marah-marah gitu! Itu artinya nolak kan?! Nah.. Sekarang aku malah ragu sama pertanyaan yang kucoba jawab sendiri itu. "Ya tapi pokoknya nggak gini juga caranya Jefan! Terlepas dari yang lo bilang tentang gue yang waktu itu nggak nolak dan nggak nerima lamaran main-main lo. Seenggaknya lo harus omongin dulu sama gue sebelum ngajak Mama Papa ke sini, " geramku mulai naik pitam melihat ekspresinya yang biasa-biasa saja. Ya Tuhan, dia nggak tau apa kalo aku galau tingkat galaxy bimasakti gini?! Dia sih enak nggak akan kena cercaan kalo aku nolak lamarannya, bakal dapet belas kasihan malah dari semua orang yang hadir saat ini. Tapi aku?! Aku nggak bisa bayangin gimana dikucilinnya aku kalau sampai nolak lamarannya, terlebih sama Mama Papa. Aku nggak sanggup kalau mereka kecewa sama keputusanku! Tapi menerima lamaran Jeje rasanya... "Aku cuma takut kamu anggap aku main-main lagi kalau cuma kata yang keluar dari mulut aku. Maka dari itu aku buktiin dengan tindakan, membawa Mama dan Papa ke sini. Karena aku tau Meta, kamu nggak akan pernah anggap aku serius kalau aku nggak ngelakuin ini." Aku terdiam melihat perubahan ekspresi wajahnya. "Emang apa salahnya sih kalau kita menikah? Kamu sayang sama orangtuaku dan orangtuaku juga begitu, kita udah kenal satu sama lain hampir sepuluh tahun Meta! Bunda juga udah merestui niatku waktu aku bilang tentang hal ini seminggu lalu," tambahnya, kali ini memasang ekspresi sangat serius. Ya, kami memang sudah kenal hampir sepuluh tahun. Sejak duduk di bangku SMP lebih tepatnya. Dan perlu kalian tau, Jeje jarang sekali memperlihatkan ekspresi seperti ini--serius dan... apa ya? Sulit rasanya menjelaskan ekspresinya. Yang pasti ekspresi seperti ini terakhir kali kulihat saat kami kelas 2 SMA. Saat itu Jeje terang-terangan melarangku untuk dekat dengan kakak kelas yang menurutnya tidak pantas untukku, dan karena hal itu juga aku sempat tidak bicara dengan Jeje selama sebulan karena aku keras kepala dekat dengan Kakak kelas itu, sampai akhirnya aku menangis di depan Jeje dan mengakui kalau anggapannya itu benar, dan akhirnya kami baikan lagi. Loh?! Aku kok jadi ngenang masa lalu gini sih?! "Ya, kamu memang bener tentang aku yang udah sayang pake banget sama Mama Papa, dan aku tau mereka pun begitu. Aku juga tau Ayah Bunda juga udah sayang sama kamu. Tapi pernikahan bukan hanya sebatas itu Je! Ini tentang kita, tentang waktu yang akan kita lewati disisa hidup kita selanjutnya," kataku tak mau kalah. Nah kan, aku jadi ikut-ikutan ber-aku-kamu lagi kayak Jeje. Ah, tapi bodo amatlah... ini kan lagi serius jadi aku nggak perduli. "Aku nggak masalah dengan itu, aku bawa kedua orangtuaku ke sini tentu aja dengan banyak pertimbangan, Ta. Tentang kemungkinan apa yang terjadi sama hubungan kita, termasuk apa yang kamu bilang barusan. Aku sudah siap lahir batin, berdua.. ngabisin sisa waktu aku sama kamu," ujarnya penuh dengan keyakinan. Aku melongo, bahkan aku nggak nyangka kalau Jeje akan mengatakan itu. Jadi dia udah bener-bener serius mikirin hal ini? Dan hasilnya? Seyakin ini?! "Ta-tapi... gimana kamu bisa seyakin ini? Sementara kamu tau baik aku ataupun kamu nggak punya rasa satu sama lain." Aku berusaha keluar dari dominasinya yang sempat megurungku dipembicaraan ini. Jeje menghela nafas, menatapku lebih lembut dari sebelumnya. "Kita punya, rasa sayang antara sahabat yang selama ini kita miliki satu sama lain. Dan bagiku, itu cukup sebagai pondasi dasar untuk memupuk rasa yang kita butuhkan selanjutnya," katanya yang entah mengapa sedikit membuatku kecewa. Ada bagian hatiku yang menginginkan lebih atas pernyataannya itu. Tapi apa? Aku pun tidak tau. "Ck, pokoknya kamu jelasin ke Mama-Papa kalau aku sama sekali nggak terlibat keputusan kamu yang sepihak ini!" seruku langsung berbalik hendak meninggalkannya. Sayang, kain batik yang kupakai terlalu merepotkan hingga aku yang tak hati-hati justru menginjak ujungnya hingga tubuhku oleng dan nyaris jatuh. Tapi sebuah tangan kemudian menarikku, namun karena tenaga yang digunakannya terlalu kuat tubuhku justru condong dan akhirnya jatuh menimpanya. Dan dimulailah malapetaka yang semakin mengerikan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN