Bab 2

1863 Kata
Keyra duduk terisak di atas tempat tidurnya sembari membereskan semua barang-barang apapun mengenai Bintang. Mulai dari hadiah-hadiah Bintang, seperti baju, tas, sepatu, atau cenderamata sekalipun. Semua tak luput dari tangan Keyra untuk dimasukkannya ke sebuah dus besar. Ia tak mau masa depannya yang baru besok, akan terusik kembali ketika suatu saat ia melihat benda-benda ini. Ia tak mau kembali mengingat Bintang. Laki-laki dari masa lalunya yang sempat membuat ia benar-benar bahagia. Sampailah ia pada sebuah kotak musik cantik. Kotak berbentuk hati dengan ukiran nama mereka. Barang itulah yang paling disukai Keyra dibanding yang lainnya. Keyra ingat bagaimana sejarah ia bisa mendapatkan hadiah tersebut dari Bintang. Kala itu ultah Keyra yang ke 21 tahun. Entah karena apa tiba-tiba Bintang berniat ingin mengakhiri hubungan mereka. Keyra begitu hancur saat itu. Ia sangat kehilangan sosok Bintang. Apalagi ketika menyaksikan usai hubungan mereka, banyak gadis-gadis lain yang berusaha ingin memilikinya. Ingin menggantikan posisi Keyra di hati Bintang. Keyra semakin terpuruk. Pikirnya, Bintang sudah mencampakkannya. Padahal selama ini, Keyra sudah menyerahkan semua perasaannya terhadap laki-laki tersebut. Maka setelah kehilangan seperti itu, dunia Keyra seakan hancur begitu saja. Tetapi tepat tanggal 21 Agustus jam satu malam. Bintang datang ke rumah Keyra. Lebih tepatnya datang ke depan kamar Keyra. Dengan membawa kue beserta lilin yang menyala, juga rangkaian bunga mawar yang indah, dan kotak musik tersebut. Ya, rupanya Bintang hanya bersandiwara. Tentu saja untuk memberikan surprise kepada Keyra dengan cara yang ekstrim seperti itu. Keyra pun memeluk laki-laki tersebut seketika. Sembari terisak ia pun merasa dongkol, marah, terharu, juga bersyukur. Bersyukur karena perpisahan mereka tak benar-benar terjadi. Kini jika Keyra mengingat lagi kejadian itu, air matanya yang semula memang telah keluar, kini semakin tak bisa tertahankan. Pikirnya, kali ini perpisahan mereka tak main-main. Bukan karena untuk memberi kejutan. Tetapi memang karena berkeinginan untuk mengakhiri segalanya. Sekilas tatapan Keyra pun tertuju pada gaun pernikahan yang cantik, yang tengah terpasang di sebuah manekin tak jauh dari tempatnya duduk. Keyra berfikir bahwa gaun itulah yang akan menjadi saksi ia melangkah ke masa depan yang baru. Masa depan di mana Bintang tak ada di dalamnya. Keyra pun menghapus air matanya seketika. Ia harus bertekad. Bukankah ini yang ia putuskan. Jadi pantang untuk Keyra merasa menyesal. *** Bintang duduk termenung sendiri di bangku-bangku kecil yang berada di kedai kopinya yang tengah tutup. Tentu saja setelah benar-benar tak ada pengunjung juga karyawannya yang sudah berhamburan pulang. Dengan ditemani oleh beberapa minuman keras, ia begitu leluasa untuk mengekspresikan perasaan sedihnya. Kadang ia menangis, meluapkan emosi seorang laki-laki yang selama ini tak pernah ia tujukan pada siapapun termasuk Keyra. Karena sebelumnya ia adalah laki-laki yang kuat. Masalah apapun yang tengah menimpanya, tak akan membuat ia hancur dan rapuh seperti sekarang ini. Tetapi beda jika menyangkut Keyra. Ia seolah menjadi sosok lemah nan rapuh mungkin karena perasaan Bintang yang keterlaluan dalam. Ya, hanya karena wanita itulah ia akhirnya dapat menangis. Menjadi laki-laki cengeng yang sebelumnya tak ada kamus di dalam hidupnya. Ia menuang kembali minumannya ke dalam gelas. Hanya hitungan detik, Bintang pun kembali telah menghabiskan minuman tersebut untuk ke sekian kalinya. Badannya sudah benar-benar lunglai. Malah kerap kali, kepala Bintang pun harus terkapar tak berdaya di atas meja. Tetapi keadaan ia yang sudah seperti itu, sama sekali tak menyurutkan ia meneguk minuman-minuman di hadapannya. Ia masih tak mau menghentikan kegiatannya tersebut. *** Nana duduk di sebuah kursi di dalam dapur. Pandangannya serius memperhatikan sebuah buku menu yang ada di hadapannya. Perintah Candra, ia harus menghafalkan semua jenis-jenis kopi ini untuk membuatnya lulus di masa trening pada pekerjaannya. Karena dari beberapa orang pendang baru, hanya Nanalah karyawan yang sepertinya tak bisa berkembang. Kemampuannya masih sama ketika pertama kali ia memulai kerja di tempat ini. Bagaimana bisa berkembang. Kesehariannya hanya terus berkutat pada bermacam-macam pekerjaan. Pagi-pagi sekali, ia membantu di sebuah warung soto dekat rumah. Lalu sekitaran jam sepuluh ia membuka jasa mengantar anak TK pulang ke rumah. Kemudian setelahnya, baru ia berangkat ke coffee shop ini. Tetapi malam setelah usai, ia masih harus bekerja di sebuah tempat karaoke. Bukan sebagai pemandu, melainkan hanya sebagai tukang bersih-bersih usai tempat tutup malam harinya. Tetapi kini, pekerjaan yang terakhir itu pun harus ia iklaskan. Ya, tak lain hanya karena kegiatan yang saat ini Nana lakukan. *** Samar-samar Nana mendengar sebuah suara dari ruang depan. Nyalinya pun seketika sedikit menciut saat ia mengingat, bukankah seharusnya hanya ia lah yang berada di sini. Setelah ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua teman-temannya telah pergi satu jam-an yang lalu. Jantung Nana pun bergemuruh. Ada dua kemungkinan asal dari suara tersebut menurut pemikiran Nana. Mungkin seorang maling, atau bisa juga sebangsa mahkluk halus yang paling dibenci oleh gadis berperawakan kecil tersebut. Sedikit ragu, Nana harus membulatkan tekadnya untuk memperjelas kudua dugaannya tersebut. Dengan sangat pelan, ia mulai melangkah. Tentu saja dengan mengendap-endap ia berjalan ke ruang depan. Tempat itu dalam kondisi gelap gulita. Karena tadi ia sengaja tak menghidupkan saklar lampu agar tak ada orang lain tahu bahwa ia masih berada di kedai ini. Maka hanya remang-remang mata Nana berusaha mengitari ke setiap sudut ruangan yang penuh dengan bangku-bangku kecil tersebut. Namun di suatu sisi, ia seperti melihat seseorang. Seseorang yang sedang berdiam diri di salah satu bangku. Ketakutan Nana pun semakin menjadi. Refleks ia meraih barang apa pun yang ada di sekitarannya. Dan ia pun mendapatkan sebuah vas bunga panjang, yang tak lain akan ia gunakan sebagai sebuah senjata. Kalau-kalau orang tersebut benar-benar manusia, dan berniatan jahat terhadap tempat ini. Tetapi Nana tak mau gegabah. Ia menyadari bahwa jika ia melawan, tenaga kecilnya tak akan mungkin mumpuni bila dibanding tenaga orang jahat tersebut. Maka ia kembali mengendap-endap. Kali ini menuju ke samping ia berdiri. Tepatnya di mana letak saklar lampu ruangan ini berada. Langkahnya benar-benar hati-hati, karena ia tak ingin menimbulkan suara sekecil apapun. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, sampai akhirnya lebih dari lima langkah, Nana akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sebuah tembok penghubung antara ruangan ini dengan ruangan kamar mandi yang biasa digunakan untuk pelanggan. Ia meraba-raba permukaan tembok. Dan ia pun berhasil menemukannya. Sebuah saklar yang akan menunjukkan rupa si orang misterius tersebut. Ruangan pun seketika terang. Alhasil si manusia misterius pun dapat terlihat dengan begitu jelas. Walau dari padangan Nana hanya nampak punggungnya saja, karena dalam posisi membelakanginya. Bintang otomatis menegakkan kepalanya yang semula ia benamkan di permukaan meja. Mungkin ia tengah heran dengan cahaya yang tiba-tiba terang. "Hey, siapa kau!" lantang Nana sembari tangannya yang seakan siap mengayunkan vas bunga ke arah laki-laki di hadapannya tersebut. Bintang pun mendengarnya. Rupanya kondisi mabuknya saat ini tak mengurangi efek pendengarannya sedikit pun. Ia segera menengok ke belakang. Mencari tahu siapa pemilik suara lantang tersebut. "Mas Bintang," gumam Nana setelah menyaksikan dengan jelas siapa orang misterius yang dimaksudnya. Maka segera ia menurunkan tangannya yang semula siap melawan jika memang laki-laki dihadapannya adalah seseorang yang jahat. Tetapi rupanya ia salah. Kini dihadapannya nampak si pemilik kedai nampak duduk terdiam tak jelas di ruangan yang semula gelap. "Mas Bintang kenapa di sini?" tanya Nana dengan nada suara yang terbata. "Kalau aku sedang diberi tugas, oh ... tidak, maksudku hukuman oleh Mas Candra, untuk menghafal jenis-jenis kopi di sini," terang Nana berusaha menjelaskan. Karena ia tak ingin majikannya tersebut salah sangka dengan keberadaannya di tempat ini di jam sekarang ini. Nana tak mau jika Bintang beranggapan buruk. Bisa saja laki-laki itu akan berpikiran bahwa Nana akan melakukan perbuatan tercela di tempat kerjanya ini. Mungkin seperti mencuri atau sejenisnya. Itulah ketakutan Nana. Namun bintang yang diajak mengobrol pun seperti tak menyahut. Pandangannya memang masih menoleh ke arah Nana, begitu pun kedua Netranya. Tetapi ekspresi yang ditunjukkan bintang seperti tak berarah. Ia begitu tenang, seakan tak ada fikiran apapun di kepalanya. Nana pun terheran dengan sikap Majikannya tersebut. Maka ia segera melangkah menghampiri Bintang. "Mas Bintang kenapa?" tanya Nana sebelum benar-benar sampai di hadapan Bintang. Namun tiba-tiba saja bau alkohol pun menyeruak ketika jarak mereka semakin dekat. Nana pun akhirnya mengerti, bahwa Bintang sedang dikendalikan oleh minuman keras. "Mas Bintang mabuk?" Pertanyaan yang sia-sia Nana lempar. Pertanyaan yang tak akan mungkin dijawab oleh si lawan bicara. Ekspresi Bintang pun lain dari pada saat ia tersadar. Kini ia tiba-tiba melemparkan suatu senyuman. Senyuman yang tak pernah Nana lihat semenjak ia mengenal majikannya tersebut. Karena sikap Bintang selama ini adalah pemilik kedai yang dingin. Bukan galak, hanya saja tak begitu ramah pada karyawan-karyawannya. Ia terkesan cuek pada bawahannya. Mungkin karena itulah Bintang sering memasrahkan cara kerja coffee shop ini kepada Candra. Karyawan terlama yang menjadi bawahannya. "Keyra ... !" lirih Bintang memanggil kekasihnya. Ya, nampaknya sosok Nana saat ini menjelma menjadi sosok Keyra di mata Bintang karena efek minuman beralkohol yang diteguknya. "Bukan, Mas. Nama saya Nana, bukan Keyra," jawab Nana karena tak mengerti apa yang dimaksudkan Bintang. "Kayra ... !" Lagi-lagi nama itu yang Bintang sebutkan. Tetapi kali ini sembari ia berusaha beranjak, dan sembari berjalan menghampiri Nana. Namun langkahnya tiba-tiba harus terhenti, karena sesaat tubuhnya yang sempoyongan pun rupanya tak cukup kuat untuk melakukan niatannya tersebut. Nana berlari menghampiri. Berniat menopang tubuh tinggi besar tersebut agar tak benar-benar jatuh ke bawah. "Mas Bintang tak apa-apa?" tanyanya sambil mengarahkan lengan laki-laki itu agar berada di atas pundaknya. Nana segera membawa Bintang untuk kembali ke bangku yang semula. Setelahnya laki-laki itu pun juga kembali membenamkan wajahnya seperti saat Nana pertama kali melihatnya tadi. Nana kebingungan, harus bagaimana ia menghadapi Majikannya yang tengah mabuk seperti sekarang ini. Di sisi lain hari sudah sangat malam, dan ia ingin segera pulang. Tetapi di sisi lain pula ia tak tega jika harus membiarkan Bintang terkapar di sini, di antara udara dingin dengan t-shirt tipisnya. Lagi pula Nana juga berfikir, jika ia meninggalkan Bintang begitu saja, ia takut setelah esok rupanya Majikannya tersebut masih dengan jelas mengingat kejadian malam ini. Bahwa ia telah menelantarkan Bintang padahal dalam posisi tak berdaya karena minuman keras. Akhirnya keputusan pun harus Nana ambil. Terpaksa ia akan mengantarkan Bintang pulang ke rumahnya. Ke sebuah apartemen mewah yang pernah Nana kunjungi beserta teman-teman kerjanya saat Bintang pernah sakit Malaria beberapa bulan yang lalu. Ya, ia pun segera memesan taksi online guna mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Tempat yang berjarak tak begitu jauh dengan coffee shop yang sedang mereka singgahi ini. *** Bintang menghimpit tubuh Nana dengan tubuhnya. Wanaita itu terus meronta-ronta. Tetapi rupanya tenaga seorang pemabuk masih lebih besar di banding tenaga seorang wanita dalam kondisi sadar sepenuhnya. Beberapa kali ciuman ganas pun mendarat di bibir Nana. Sungguh ia tak bisa melawan sikap biadab Majikannya tersebut. Kini baju Nana, Bintang tanggalkan. Setelah itu, Bintang pun dengan leluasa menyalurkan semua hasratnya kali ini tanpa perlawanan sama sekali. Nana sudah pasrah. Karena pikirnya, tenaga yang ia keluarkan hanya sia-sia belaka. Perjuangannya yang terakhir hanyalah tinggal sebuah doa. Doa yang ia panjatkan agar Bintang masih mempunyai belas kasih padanya. Pada gadis yang hampir laki-laki itu nodai. "Jangan, Mas!" lirih Nana. Itulah ucapan terakhirnya sebelum Bintang telah benar-benar mengoyak keperawanannya dengan cara paksa. Akhirnya Nana pun hanya bisa menangis. Ia benar-benar telah hancur dan terpuruk. Baginya nasi telah menjadi bubur, keadaan tak akan mungkin bisa dikembalikan lagi. Ia pun akhirnya tertidur dengan luka hati maupun jasmani yang telah ditimbulkan oleh Bintang. Laki-laki yang mungkin keesokan harinya akan melupakan begitu saja kejadian malam ini. Kejadian di mana ia telah menghancurkan masa depan dari seorang Nana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN