Bab 6 Diawasi

1609 Kata
Begitu pulang kerja, Arash tidak bisa menemukan Bilqis. Dia sudah mencari diseluruh rumah, tapi Bilqis tetap tidak terlihat. “Di mana dia?” tanya Arash pada Beni begitu ia masuk rumah. Suaranya terdengar kesal dan gelisah. “Dia?” ulang Beni bingung. “Maksud anda… Bu Bilqis, Pak?” tanyanya memastikan. Arash mendecak. “Iya, Bilqis. Kenapa dari tadi saya tidak lihat dia? Kemana dia pergi?” tanyanya dengan wajah datar, dan tatapan tajam. “Maaf, Pak. Saya juga tidak tahu. Saya baru pulang setelah mengurus urusan Nona Amber. Saya belum sempat menemui Bu Bilqis,” jelas Beni cepat-cepat, wajahnya terlihat takut. “Ya Tuhan, Beni!” Arash menaikkan suaranya. “Saya sudah bilang, kamu harus mengawasi Bilqis. Ikuti dia kemanapun pergi. Kok bisa malah kamu tinggalkan dia seharian?!” Beni langsung menunduk. “Maaf, Pak.” Arash mendesah kasar, lalu membuka tiga kancing teratas kemejanya, mencoba menahan emosi. “Saya tidak mau tahu. Cari keberadaan Bilqis sekarang. Temukan dia. Dan bawa dia kembali ke sini.” Suaranya tegas, tak bisa dibantah. Tanpa menunda, Beni segera pergi. Arash sendiri langsung menemui satpam untuk mencari tahu kapan dan ke mana Bilqis keluar dari rumah. Tak sampai 30 menit, Beni kembali dengan napas sedikit ngos-ngosan. “Bagaimana? Kamu sudah tahu di mana Bilqis?” tanya Arash cepat. “Sudah, Pak. Bu Bilqis… pergi ke Jepang. Kemungkinan besar sekarang beliau masih di pesawat, karena keberangkatan tadi jam sebelas siang,” jawab Beni. “Apa? Jepang?!” Arash menoleh tajam, wajahnya terkejut. “Iya, Pak. Setelah dicek, Bu Bilqis sudah memesan tiket itu sejak beberapa hari lalu. Sepertinya… rencana awalnya untuk bulan madu. Tapi karena bapak tidak ikut, beliau pergi sendirian,” jelas Beni dengan cepat. Arash menarik sudut bibirnya, seperti meremehkan tapi juga terdengar pahit. “Kalau begitu, atur orang untuk mengawasinya di sana. Saya mau tahu dia ke mana, ngapain, dan ketemu siapa. Laporkan semuanya,” katanya dengan tegas. “Baik, Pak.” Beni langsung pergi lagi. Arash menghela napas panjang, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa. Kepalanya disandarkan, matanya menatap kosong ke langit-langit ruangan. “Kasihan sekali kamu, Cis…” gumamnya pelan. “Pergi bulan madu sendirian. Harusnya kamu bilang… biar aku yang temani.” Sudut bibirnya terangkat tipis—entah mengejek atau menyembunyikan rasa lain. Arash mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Bilqis. Namun, nomor Bilqis tidak aktif. Berkali-kali dicoba, tetap nihil. Kesal, Arash bangkit dan naik ke lantai dua. Tapi bukan menuju kamarnya sendiri—melainkan menuju kamar yang ditempati Bilqis. Begitu pintu terbuka, aroma lembut parfum Bilqis langsung menyergapnya. Aroma yang sama seperti dulu… sewaktu mereka masih sekolah. Arash melangkah perlahan masuk, matanya menyapu setiap sudut kamar. Tidak banyak yang berubah, hanya bertambah beberapa barang milik Bilqis. Ia duduk di tepi ranjang, memejamkan mata. Entah kenapa, aroma itu membuat dadanya terasa sesak sekaligus nyaman. Jujur, ia masih punya sedikit perasaan pada Bilqis. Tapi rasa benci dan dendam jauh lebih besar. Rasa itu menutupi segalanya, termasuk sisa-sisa cinta yang tersisa entah sejak kapan. Saat membuka mata, tatapannya tertuju pada sebuah foto Bilqis yang berdiri di atas meja kecil. Arash langsung meraihnya. Bilqis terlihat jauh lebih cantik dari dulu. Sekarang ia berjilbab… berbeda dengan masa sekolah ketika jilbab hanya ia pakai saat pergi ke sekolah saja. Arash menatap foto itu lama. Terlalu lama. Membuat perasaan aneh kembali muncul di hatinya. Sadar dirinya mulai goyah, ia cepat-cepat meletakkan kembali foto itu. Bukan ini tujuannya. Tujuannya muncul lagi di kehidupan Bilqis hanya untuk satu hal. Mencari keadilan… untuk ayahnya. Dengan langkah cepat, Arash keluar dari kamar Bilqis sebelum perasaannya makin kacau. Malam itu, Arash memutuskan untuk tidur di rumah itu. Ia malas pulang ke apartemen yang paling sering ia tempati. --- Sejak hari pertama tiba di Jepang, Bilqis sudah sadar ada seseorang yang mengikuti langkahnya. Ia tidak terkejut—bahkan nyaris ingin tertawa. “Ar… Ar… harusnya kalau peduli, kamu sendiri yang menyusul ke sini,” gumamnya setiap kali melihat bayangan pria asing itu dari kejauhan. Tapi Bilqis tidak berusaha menghindar. Ia tetap menjalankan liburannya sesuai rencana yang sudah ia tulis: mengunjungi tempat wisata, mencoba kuliner halal, berbelanja barang-barang yang ia suka, dan menikmati waktunya tanpa gangguan siapa pun. Setiap malam ia pulang ke hotel dengan hati ringan—seolah tidak ada beban apapan dalam hidupnya. Padahal Bilqis hanya mencoba menghibur dirinya sendiri, untuk sejenak melupakan berbagai masalah yang terus berdatangan beberapa waktu terakhir ini. Sementara itu, tidak satu pun keluarga menghubunginya. Kedua orang tuanya jelas tidak tahu ia sedang berada di luar negeri sendirian. Arash? Tentu tidak pernah menghubungi. Yang ada hanya chat dari sahabat-sahabatnya yang memastikan ia baik-baik saja. Di Jakarta, suasana justru berkebalikan. Hampir setiap hari Arash menodong Beni dengan pertanyaan yang sama. “Bagaimana Bilqis? Hari ini dia ke mana? Bertemu siapa saja? Dan kapan dia akan?” Suara Arash selalu terdengar datar, tapi matanya tidak pernah benar-benar tenang. Beni berdiri tegap. “Hari ini Bu Bilqis hanya berbelanja, Pak. Setelah itu beliau tidak keluar dari hotel lagi. Selama di Jepang, dia tidak pernah bertemu siapa pun. Dan… menurut jadwal cutinya, lusa beliau sudah harus ada di Jakarta. Jadi kemungkinan besar besok beliau pulang,” jelasnya dengan cepat. Arash mengangguk pelan sambil menyembunyikan senyum tipis. “Bagus.” Ia mencoba terlihat tak peduli, padahal jari-jarinya mengetuk meja—tanda bahwa ia justru lega. Arash kembali bertanya, “Selama empat hari ini Bilqis tidak merasa aneh? Apa dia tahu sedang diawasi?” Beni menghela napas kecil. “Sepertinya Bu Bilqis sudah tahu. Bahkan… dia sering menatap Jack dengan tatapan aneh. Tapi Bu Bilqis tidak pernah melakukan apa-apa, Pak. Dia tetap menikmati liburannya.” Arash menunggu. “Lalu?” “Jack bilang… Bu Bilqis pernah membelikan dia minuman.” “Apa?!” Arash spontan berdiri. Alisnya menyatu. “Untuk apa Bilqis membelikan Jack minuman?! Memang Jack tidak mampu beli sendiri? Apa dia sangat miskin sampai mengemis minuman pada istri orang,” sinisnya jelas cemburu. Beni mengangkat bahu, takut-takut. “Saya tidak tahu, Pak. Mungkin… Bu Bilqis kasihan. Jack kan mengikuti beliau seharian tanpa jeda. Dan mungkin saat itu Jack belum sempat pesan minuman,” tebaknya untuk meredam suasana. Arash mendengus, jelas tidak suka. “Katakan pada Jack, jangan pernah menerima makanan atau minuman apa pun dari Bilqis. Dan jaga jarak! Dia ke sana untuk mengawasi, bukan untuk dekat-dekat.” “Baik, Pak,” jawab Beni cepat, sambil melirik ekpresi Arash. Dalam hati Beni sendiri heran—kenapa Arash bisa terdengar… cemburu? Tapi tentu saja ia tidak berani menanyakan itu. Setelah gajinya dipotong 5% gara-gara kehilangan jejak Bilqis beberapa hari lalu, ia tidak mau ambil risiko lagi. --- Hari terakhir di Jepang, Bilqis memutuskan untuk tidak pergi ke tempat wisata lagi. Ia hanya berjalan santai di sekitar penginapan, menikmati udara dingin yang menenangkan, mencoba meredam pikirannya sebelum besok kembali ke Indonesia. Kembali pada hidupnya yang rumit. Pada Arash. Pada pernikahan yang terasa seperti beban. Dan pada tekanan orang tuanya. Jack, pengawas yang dikirim Arash, sebenarnya sudah menjaga jarak cukup jauh hari itu. Ia bahkan memesan makanan di kafe sebelah restoran tempat Bilqis masuk, berharap tetap tak terlihat. Tapi tiba-tiba Bilqis muncul tepat di hadapannya, membuat Jack terkejut hingga hampir tersedak minumannya sendiri. “Kenapa terkejut?” tanya Bilqis santai. Ia menarik kursi dan duduk di depan Jack. “Sorry, you have the wrong person,” ujar Jack cepat sambil hendak bangkit. Bilqis tertawa kecil. “Sudahlah, tidak usah mengelak. Saya tahu kamu diperintahkan Arash untuk mengawasi saya, kan?” Langkah Jack terhenti. Ia menatap Bilqis sekilas, lalu mencoba pergi lagi. “Atau justru Beni yang menyuruh kamu?” tambah Bilqis, menaruh tas kecilnya di meja. “Santai saja. Saya tidak berniat menyulitkan kamu. Saya cuma bosan. Lima hari di Jepang tanpa satu pun orang yang bisa diajak ngobrol itu menyiksa.” Jack menatapnya datar, masih tetap waspada. “Duduklah. Saya tidak akan mengingitmu,” ucap Bilqis tegas. “Tidak perlu. Cepat katakan apa tujuan Anda menemui saya?” balas Jack. Bilqis tersenyum lebar. “Kenapa? Takut Arash marah? Tenang saja, dia tidak akan tahu kalau kamu tidak melapor. Harusnya kamu juga tidak perlu bilang soal minuman yang kuberikan. Jadi kamu tidak dapat teguran dari Beni.” Jack terperangah. “Dari mana Anda tahu?” Bilqis menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku sudah lama mengenal Arash. Meskipun sekarang dia berubah… aku tahu jelas wataknya.” Jack akhirnya duduk kembali. Ia menyerah. Bilqis memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman, lalu kembali bertanya, “Sudah berapa lama kamu bekerja untuk Beni dan Arash?” “Cukup lama,” jawab Jack datar. “Mereka pernah menolong saya ketika tidak ada satu pun orang yang mau menerima saya.” Bilqis mengangguk pelan. “Kalau begitu… apa yang sebenarnya terjadi pada Arash?” tanyanya perlahan. “Kenapa dia berubah? Dan kesibukan apa yang membuat dia bahkan tidak punya waktu untuk menghubungi saya? Dan apa memang dia sekarang suka gonta-ganti wanita?” tanyanya, menatap Jack penuh penasaran. Jack terdiam sejenak. Lalu ia mengalihkan pandangan. “Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada Pak Arash. Sejak saya bekerja sampai sekarang… sikapnya tidak pernah berubah.” Bilqis menatapnya dalam. Jack tetap melanjutkan dengan tegas, “Kalau Anda ingin tahu soal Pak Arash, tanyalah pada Beni. Dia yang paling lama bersama beliau.” Tanpa menunggu reaksi Bilqis, Jack berdiri dan pergi. Kini ia mengerti bahwa Bilqis mendekatinya bukan karena iseng atau butuh teman bicara—melainkan ingin mencari tahu masa lalu Arash. Bilqis mendecak pelan, menatap meja yang kini kosong di depannya. Ia gagal lagi menggali jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi pada Arash setelah mereka putus dulu? Mengapa sikapnya berubah menjadi sekeras dan sedingin sekarang? Bilqis bertekad akan menemukan jawabannya. Mungkin saja dengan begitu, ia bisa mulai berdamai dengan Arash. Meski tidak bisa menjadi pasangan sesungguhnya, setidaknya mereka bisa berdamai. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN