Sayup sayup terdengar suara azan maghrib dari luar sana. Namira kini sedang berbaring di atas ranjang bersama dengan Kiara yang sudah mulai terlelap di sampingnya.
Biasanya Kiara tidur bersama dengan Bu Arini neneknya, dan kamar ini di biarkan kosong kalau malam hari. Hanya kalau siang saja Kiara tidur di kamar ini.
Tangan Namira terus menerus menepuk b****g Kiara dengan pelan. Membuat balita itu semakin terlelap dalam tidurnya.
"Akhirnya tertidur juga." kata Namira seraya bernapas lega.
Perlahan Namira bangkit dari tidurnya. Lalu duduk di samping Kiara. Menatap anak kecil yang kini sudah terlelap dan terlihat sangat tenang. Entah kenapa tiba-tiba saja perasaan Namira menghangat saat melihat Kiara. Padahal bertemu juga baru tadi siang.
Ceklek.
Suara pintu kamar Kiara terbuka. Bu Arini melangkah pelan saat masuk ke dalam kamar itu.
"Nak, Mira." panggilnya lirih. Namun masih bisa terdengar oleh Namira.
"Iya, Bu." sahut gadis itu.
"Kamu mandilah. Kamu temui Bik Sri, dia sudah menyiapkan kamar untuk kamu. Biar Kiara aku yang jaga," ujar Bu Arini dengan ramah.
"Oh, iya Bu." Namira bangkit dari tempat duduknya. Perlahan dia melangkah keluar dari kamar itu.
Namira berjalan pelan menuruni anak tangga menuju ke lantai satu untuk menemui Sri. Namira tahu kalau Sri pasti berada di dapur. Dan benar saja saat Namira datang, Sri sedang makan malam di dapur sendirian.
"Lama banget sih datangnya, aku sudah nungguin dari tadi sampai lapar." kata Sri saat melihat Namira mendekat.
"Mbak, kamar aku di mana?" tanya Namira.
"Entar, sekarang makan dulu. Setelah selesai baru aku antar kamu ke kamar." ujar Sri seraya mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya.
"Iya, Mbak."
Akhirnya Namira ikut makan bersama dengan Sri di dapur. Namira mengambil makanan yang ada di atas meja. Lalu duduk di kursi yang ada di samping Sri. Gadis itu makan seraya menundukkan wajahnya. Sri sesekali menatap Namira dengan tatapan sinis. Tapi Namira tak peduli akan hal itu. Bagi Namira mendapat tempat tinggal sudah sangat bersyukur, setidaknya Namira tidak luntang lantung di jalanan seperti beberapa hari lalu hingga dia nekat mencuri tas orang lain hanya demi makan.
Berada di rumah Bu Arini membuat Namira bersyukur. Namira berjanji akan selalu baik sama wanita dewasa itu. Karena secara tidak langsung Bu Arini sudah menolongnya dengan memberikan tempat tinggal di rumah ini, juga gaji karena Namira bekerja sebagai baby sitter cucu kesayangan Bu Arini.
Selesai makan malam, Sri mengantar Namira ke kamarnya. Kamar yang sudah dari tadi ia bersihkan atas perintah Bu Arini.
Ceklek.
Sri membuka pintu kamar itu.
"Nih kamar kamu, tadi sudah aku bersihkan. Ada kamar mandi kecil di dalam sana." ujar Sri seraya menunjuk ke arah sudut kamar Namira.
"Terima kasih, Mbak." ujar Namira lirih.
"Kalau kamar aku di sebelah sana. Kalau butuh apa apa jangan panggil aku."
Namira langsung mengernyit saat mendengar ucapan Sri.
"Udah, kamu mandi sana." setelah mengatakan itu, Sri langsung melangkah pergi dari kamar Namira. Dan berjalan menuju ke kamarnya sendiri.
"Mbak Sri, tunggu." panggil Namira saat melihat Sri membuka pintu kamarnya hendak masuk ke dalam kamar itu.
"Opo maneh? (Apa lagi?)" sahut Sri. Menatap tak suka pada Namira. Sri malas karena biasanya orang baru selalu merepotkan.
"Itu, Mbak. Aku..." Namira bingung, mau langsung bicara sama Sri tapi takut dan merasa tidak enak.
"Ngomong aja cepetan." Sri masih menunggu Namira bicara.
"Mbak, apa boleh aku pinjam bajunya. Aku tidak punya baju ganti Mbak. Besok pagi aku mau izin sama Bu Arini untuk pulang sebentar mengambil baju di rumah." terpaksa Namira meminjam baju Sri untuk kali ini. Karena Namira tidak membawa apa apa saat dirinya pergi. Semua bajunya ia tinggal di tempat Kos terakhir yang ia tempati. Namira tidak tahu lagi apakah pakaiannya masih ada di sana atau tidak.
Sri menatap Namira sejenak, hingga beberapa saat kemudian dia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu dengan keras hingga membuat Namira kaget.
Namira mengembuskan napas dalam-dalam saat melihat Sri yang marah padanya. Perlahan Namira melangkah pergi meninggalkan kamar Sri. Namira tiba-tiba saja Sri memanggil namanya.
"Namira," panggil Sri.
Seketika Namira menoleh dan melihat Sri berdiri di depan pintu kamarnya seraya membawa piyama di tangannya.
"Iya, Mbak?"
"Mau kemana kamu? Katanya mau pinjam baju."
"Oh. I-iya Mbak." Namira bergegas mendekat.
Segalak galaknya Sri, dia punya hati nurani juga. Tidak tega melihat Namira.
"Terima kasih banyak, Mbak Sri. Terima kasih banyak." ucap Namira terharu. Tak menyangka kalau Sri mau membantunya.
"Tidak usah lebay begitu terima kasihnya. Jangan lupa cuci bersih baju itu." setelah itu Sri kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Iya Mbak." ujar Namira lirih. Bibirnya tersenyum.
***
Namira kembali ke dalam kamarnya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah seharian berpanas panasan di jalan, akhirnya sekarang Namira mendapatkan tempat tinggal juga.
Selesai mandi dan berganti pakaian dengan piyama milik Sri. Kini Namira salat magrib di kamarnya. Di atas nakas ada mukena, mungkin itu Bu Arini atau Sri yang menyiapkan.
Setelah selesai salat magrib, kini Namira kembali ke kamar Kiara untuk sejenak melihat gadis kecil itu.
"Mira?" sapa Bu Arini saat melihat Namira berdiri di depan pintu.
"Maaf, Bu. Rara hanya ingin melihat Kiara sebentar."
"Masuk sini, nak Mira." ujar Bu Arini. Tangan kanannya melambai ke arah Namira.
Namira mengangguk. "Iya, Bu." kemudian berjalan mendekat.
"Duduklah nak Mira." Namira mengangguk pelan seraya menatap Bu Arini dan Kiara secara bergantian.
"Terima kasih banyak nak Mira sudah mau menjadi pengasuh Kiara. Ibu merasa sudah tua, cepat capek kalau gendong Kiara seharian. Apalagi kemarin Kiara habis di suntik imunisasi, jadi anak itu sering rewel beberapa hari ini."
Namira mengangguk pelan tanda mengerti apa yang Bu Arini katakan. Pantas saja Kiara selalu nangis ternyata anak kecil itu di suntik imunisasi.
"Tapi badan Kiara sudah tidak panas lagi, Bu."
"Iya, tapi Kiara masih rewel. Untung ada nak Mira yang membantu menenangkan Kiara. Ibu akan senang sekali kalau nak Mira mau menjadi pengasuh Kiara."
"Harusnya Namira yang harus berterima kasih pada Bu Arini, karena Bu Arini sudah memberikan tempat tinggal untuk Rara."
"Bolehkan kalau Ibu panggil kamu Mira?"
"Boleh, Bu. Mira, Namira, Rara sama saja, hehe."
"Nama Mira mengingatkan Ibu pada seseorang."
"Oh..." Namira manggut manggut.
Entah kenapa Namira merasa Bu Arini seperti Ibunya sendiri. Sudah lama Namira tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, ibu tiri Namira sering marah marah kalau Namira berada di rumah. Karena itulah Namira mencari pekerjaan di luar kota dan pulang sebulan sekali.
Tak lama berselang kini terdengar suara mobil dari luar rumah. Dan Bu Arini yakin itu adalah anaknya pulang dari kantor.
"Nak Mira, kamu jaga Kiara di sini ya. Ibu mau keluar, sepertinya anak Ibu sudah pulang." ujar Bu Arini.
"Iya, Bu." sahut Namira.
Kemudian Bu Arini berjalan keluar dari kamar itu meninggalkan cucunya bersama dengan Namira.
Di halaman rumah. Seorang pria baru saja turun dari mobil masih memakai pakaian dinas-nya.
Teguh Saputra seorang Polisi yang masih muda bertubuh tinggi 180 cm berhidung bangir, alis mata tebal. Jangan lupakan otot tubuhnya. Keren habis pokoknya.
"Assalamualaikum..." ucap Teguh saat memasuki pintu rumahnya.
"Waalaikumussalam, eh mamas Teguh." ujar Sri saat membukakan pintu untuk Teguh. Perempuan itu memasang senyuman yang sangat manis di depan Teguh.
"Ekhem!" Teguh berdeham. Membuat Sri tersadar dari lamunannya.
"Eh. Maaf, maaf, Pak Teguh." ucap Sri malu.
Teguh menggelengkan kepalanya pelan, tak menghiraukan perempuan itu. Dan kini Teguh berlalu begitu saja masuk ke dalam rumah.
"Kamu sudah pulang, Nak?" sapa Bu Arini saat melihat anak laki-lakinya pulang.
"Iya, Bu. Baru saja sampai rumah." Teguh berjalan mendekati Ibunya kemudian mencium punggung tangan wanita dewasa itu di samping tangga.
"Bagaimana kabar Kiara hari ini, Bu?" tanya Teguh sedikit khawatir dengan anak perempuannya yang beberapa hari ini selalu rewel.
"Kiara baik-baik saja, dia sekarang sedang tidur bareng Mira." jawab Bu Arini.
Deg.
Tubuh Teguh mematung.
'Mira?' batin Teguh saat mendengar nama itu.
"Kamu kenapa Nak?" tanya Bu Arini saat melihat Teguh melamun.
"Em ... Tidak, tidak apa-apa Bu. Teguh ke kamar dulu mau mandi." pamitnya buru buru.
"Iya, Nak."
Setelah pamit. Teguh buru buru masuk ke dalam kamarnya. Ia masih teringat ucapan Ibunya tentang Mira.
Pria muda itu melepaskan jaket kulit yang masih melekat di tubuhnya. Menaruhnya di atas nakas. Ucapan Ibunya tadi yang menyebut nama Mira kini masih terngiang di telinganya.
"Mungkinkah dia...?"
Karena penasaran Teguh kini buru buru keluar dari kamarnya, berjalan beberapa langkah menuju ke kamar Kiara anaknya yang berjarak dua ruangan dari kamarnya.
Sesampainya di depan pintu tiba-tiba saja Teguh merasa gugup. Entah kenapa dia merasa tidak siap membuka pintu kamar itu, tapi Teguh penasaran.
"Aku harus melihatnya... Iya benar, aku harus melihatnya." gumamnya sendiri di depan pintu.
Teguh mengembuskan napas dalam-dalam sebelum dia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu.
Setelah beberapa saat kemudian akhirnya Teguh membukanya.
Ceklek.
Akhirnya Teguh berhasil membuka pintu itu setelah beberapa saat lalu sedikit ragu.
Suara derit pintu terdengar pelan karena Teguh tidak mau mengganggu anaknya tidur.
Deg.
Langkah kaki Teguh tiba tiba-tiba berhenti.
"Di-dia?"
***