Yah, setidaknya hal itu bisa membuat keadaan emosional mereka sedikit membaik. Meskipun nyatanya mereka masih berada dalam pilihan sulit antara kabur bersama atau membiarkan Dae-han menikah dengan gadis pilihan ibunya.
♠
Semenjak malam itu. Benar, malam di mana Ji-hyun dan Dae-han menghabiskan waktu di sungai Han, tidak ada lagi pertemuan di antara mereka sampai sekarang. Sudah tiga hari berlalu dan Dae-han tidak pernah membalas pesan, telepon, bahkan e-mailnya.
Sebenarnya, ada apa dengan lelaki itu?
Kenapa dia bersikap seperti ini?
Apa gadis yang akan dijodohkan dengannya ternyata jauh lebih cantik dan menarik daripada Ji-hyun?
Mengapa Dae-han bisa mengubah hatinya begitu cepat?
Jika memang begini akhirnya. Seharusnya, dari awal Dae-han tidak perlu berjanji untuk berusaha melepaskan diri dari perkawinan yang tinggal menghitung hari tersebut.
“Pria macam apa dia! Seenaknya sendiri meninggalkamu seperti ini.” So-ra yang muncul bersama setoples roti kering dan beberapa minuman kaleng. Ia langsung duduk di samping Ji-hyun. “Lupakan saja dia, masih banyak pria yang mau denganmu, Jung Ji-hyun.”
Ji-hyun tersenyum pahit, kemudian menggeleng. “Aku tidak bisa melakukannya Kwon So-ra.”
“Why?”
Ji-hyun menaruh ponselnya. “I don't know, I just can't.” Ia berhenti sejenak dan melihat jam dinding. “Aku harus bekerja. Kau mau pulang atau tetap di sini?” sambungnya.
So-ra menggerutu kecewa. Ia baru mengambil makanan dan Ji-hyun sudah mengusirnya. Kenapa gadis itu benar-benar tidak pengertian sih?
Tapi, pada akhirnya So-ra menyerah dan menutup kembali toples yang barusan ia ambil, kemudian berkacak pinggang. “Kau benar-benar tidak bisa melihatku senang, Jung Ji-hyun,” protesnya.
Ji-hyun meringis, lalu buru-buru mengambil tas lengan bewarna putih—pemberian Dae-han ketika mereka merayakan aniversarry. Ah, bagi Ji-hyun, melihat barang itu sama saja dengan melihat Dae-han. Menyakitkan, tapi melegakan.
Setelah mengunci pintu dan melambaikan tangan pada So-ra yang baru saja melajukan mobil, Ji-hyun menaikan resleting jaketnya, berharap bahwa hujan tidak turun malam ini. Ia khawatir jika harus menginap di cafe tempatnya bekerja karena malas membawa payung.
Jam menunjukkan pukul enam, ia harus segera pergi sebelum bosnya marah dan memutuskan untuk memotong gaji gadis itu. Tentu saja, Nyonya Han selalu mengancam akan memotong gaji karyawan yang sering terlambat.
Kakinya baru melangkah sebanyak tiga kali ketika seseorang menepuk punggung gadis itu. Ji-hyun berbalik, matanya membelalak ketika mengetahui bahwa orang yang sedang berada di depannya adalah cucu dari wanita yang pernah ia tolong dulu.
“Jung Ji-hyun, menikahlah denganku!”
♠
Woo-bin menggaruk kepalanya frustasi. Mendengar perkataan sang nenek barusan benar-benar membuatnya ingin mengucapkan sumpah serapah begitu saja.
“Tapi nek...”
“Tidak ada tapi-tapian, keputusan nenek sudah bulat. Jika kau benar-benar menginginkan harta warisan keluarga Choi, maka kau harus berhenti berhubungan dengan Samuel dan mendapatkan hati gadis yang telah menolongku beberapa hari lalu!”
Kim Eun-sang menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan berbalik membelakangi Woo-bin. Ia terpaksa bersikap seperti itu karena sudah tidak tahan lagi jika harus melihat sat-satunya cucu yang ia punya menjalin hubungan dengan sesamanya.
Woo-bin sangat tampan dan berpendidikan, tapi hatinya tidak. Ia terlalu polos, penuh rasa takut, dan kebingungan hingga terperangkap dalam traumanya sendiri. Masa kecil yang menyakitkan membuat pria itu menolak dan selalu menolak kasih sayang wanita.
Dulu, saat Woo-bin pertama kali mengakui hubungannya dengan Samuel pada Eun-sang, wanita itu hampir erkena serangan jantung. Eun-sang memang tidak menyalahkan Woo-bin atas trauma serta ketakutan yang selalu menghantui pria itu, tapi Eun-sang telah melakukan segala cara agar trauma tersebut bisa teratasi. Namun, tetap saja usaha tersebut sia-sia karena Woo-bin tidak memiliki niat untuk mengubah cara pandang serta menerima masa lalu sebagai bagian dari hidupnya,
“Tapi aku tidak mengenalnya, nek.” Woo-bin memelas.