Part 1- Awal Perkenalan

1322 Kata
Enam tahun yang lalu...  Rumah Sakit Pratama Husada. "Yasna!" sahut seorang pria paruh baya berjas putih dengan mengalungkan stetoskop di lehernya. Pria itu berjalan ke arah gadis berambut panjang kecoklatan yang dibiarkan tergerai.  "Eh, dokter Farhan. Ada apa, dok?" tanya Yasna-- wanita berumur dua puluh tiga tahun yang baru saja keluar dari ruangan administrasi rumah sakit tempatnya bekerja selama hampir dua tahun ini. Tepatnya setelah ia lulus kuliah dua tahun yang lalu.  Pria bertubuh tinggi dan tambun itu tersenyum tipis. "Makan siang bareng yuk di restoran depan. Sekalian saya mau mengenalkan kamu seseorang," ucapnya dengan suara yang lembut.  "Eh?" Yasna tampak bingung. Karena ia biasanya akan makan di kantin khusus karyawan rumah sakit yang sudah disediakan. Menu makanannya pun selalu berganti setiap hari jadi tidak membosankan. Biasanya ia juga bertemu dokter Farhan yang sering makan di kantin juga, dan ini pertama kalinya dokter Farhan mengajaknya makan di luar. Dan mengenalkannya dengan seseorang? Siapa? "Sudah ayo ikut saja. Saya yang traktir." Dokter Farhan menaik-naikkan alisnya. Dia memang terkenal ramah pada semua karyawan di rumah sakit ini meski dirinya adalah dokter spesialis bedah yang cukup senior di rumah sakit. Ia juga bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi kedokteran swasta.  "Oke deh, dok. Kalo ditraktir kan saya jadi lega," canda Yasna yang membuat dokter Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar kamu nih. Ya udah saya ke ruangan dulu ya lepas jas dulu." Dokter Farhan pun berlalu ke ruangannya yang berada di ujung lalu segera kembali dalam waktu kurang dari lima menit. "Suka makanan Jepang, kan?" "Asal bebas sianida dan racun-racun lain mah, doyan, dok." Yasna tersenyum tipis sembari berjalan beriringan dengan dokter Farhan. Beberapa kali mereka berpapasan dengan karyawan atau tenaga medis lain yang langsung menyapa pria paruh baya di sebelahnya. Membuat Yasna jadi minder sendiri, pasalnya dia hanya karyawan biasa yang tidak berkaitan apapun dengan dunia medis. Hanya karena salah satu dokter di sini adalah pamannya, jadi ia direkomendasikan untuk bekerja di sini. Tentunya dengan serangkaian tes yang harus Yasna lewati dan ia berhasil lolos.  "Bisa aja kamu. Kasian dong masih muda udah diracunin. Mana belum nikah lagi." "Ih! Dokter. Pake diperjelas." Yasna terkekeh geli. Hanya butuh berjalan kaki sepuluh menit dari rumah sakit, Yasna dan dokter Farhan sampai di sebuah restoran makanan Jepang. Mereka pun membuka pintu masuk dan langsung disambut suara bel yang khas saat pintu terbuka. Para karyawan di sana juga ramah menyapa mereka.  Dokter Farhan tampak berbicara dengan salah satu karyawan yang langsung menunjuk meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela. Pria itu pun tampak tersenyum dan menghampiri Yasna lagi. "Yuk." Yasna hanya mengangguk. Banyak tempat kosong di restoran ini tapi karyawan wanita tadi malah menunjuk satu meja dengan empat kursi yang di salah satu kursinya sudah terisi oleh seorang pria yang duduk membelakangi mereka berdua. Wanita itu semakin bingung.  Lalu ketika pria itu menoleh dan berdiri, pria itu langsung menyalami dokter Farhan dengan sopan. Mata kecoklatannya melirik ke arah Yasna sekilas sebelum mempersilahkan dokter Farhan duduk di sebelahnya.  "Ayo duduk, Yasna." Dokter Farhan menyuruh Yasna duduk tepat di depan pria yang tidak wanita itu kenal. "Iya, dok." Seorang pelayan pun datang dan mengantarkan buku menu ke Yasna, dokter Farhan dan pria itu.  "Saya mau satu paket chicken katsu dan sup jamurnya ya. Minumnya teh ocha hangat saja." Dokter Farhan langsung memesan menu itu setelah melihat sekilas buku menunya. "Kamu pesan apa, Yasna? Ramen di sini enak loh. Kamu kan suka banget makan mie." Yasna tersenyum malu-malu. Memang dokter Farhan adalah dokter yang paling dekat dengannya, dan karena dokter Farhan yang ramah jadi mungkin dia tahu sedikit banyak tentang kebiasaan para karyawan di rumah sakit. "Saya mau beef spicy ramen dan orange juice deh." "Kalo saya curry ramen satu dan teh ocha dingin saja satu," ucap pria di sebelah dokter Farhan itu.  "Baik. Silahkan ditunggu." Pelayan itu pun segera pergi setelah mencatat pesanannya.  "Wah! Sama-sama suka ramen kayaknya nih," ledek dokter Farhan yang semakin membuat wajah Yasna terasa panas. "Udah cocok kayaknya." "Apa sih, dok? Saya kan nggak suka sushi dan lagi males makan nasi jadi ya pesan ramen aja," elak pria itu dengan wajah yang sama memerahnya. Imut sekali. "Oh iya kalian belum kenalan. Ini loh namanya Yasna. Karyawan di rumah sakit. Dia lulusan terbaik di kampusnya dulu. Cantik, kan?" tanya dokter Farhan yang membuat Yasna semakin ingin menenggelamkan dirinya saat itu juga.  "Namanya wanita ya cantik, dok."  "Ah, kamu ini. Badak dipakein bando aja pasti kamu bilang cantik," cibir dokter Farhan sembari memutar bola matanya dengan malas. Ia lalu menatap Yasna yang sibuk memainkan jari-jarinya. "Pria ini namanya Razan, Yasna. Dia mahasiswi saya dulu sewaktu sarjana kedokteran. Sekarang dia sedang tahun kedua mengambil kuliah spesialis anak. Umurnya hanya  beda dua tahun sama kamu. Ya kan, Razan? Umur kamu masih dua puluh lima, kan?" Ia menoleh pada pria di sampingnya.  Razan hanya mengangguk kecil. Ia memang tergolong mahasiswa yang pintar dan pernah mendapat kelas akselerasi saat SMA dulu. Wajar jika di umur semuda itu dia sudah bisa ambil kuliah spesialis kedokteran. Mungkin dua atau tiga tahun lagi ia bisa lulus. "Iya, dok." "Nah, Yasna baru dua puluh tiga tahun. Cocok, kan?" "Hah? Cocok kenapa, dok?" tanya Yasna yang semakin tak mengerti. "Ini loh. Razan sedang mencari calon istri," ucap Dokter Farhan dengan santainya. Uhuk! Yasna merasa udara di sekitarnya mendadak menjadi pengap.  Seorang pelayan mengantarkan makanan pesanan mereka.  Yasna langsung meminum orange juicenya. Dokter Farhan malah terkekeh geli sementara pria bernama Razan itu terlihat santai sekali, sama sekali tidak merasa gugup seperti yang ia rasakan sekarang.  "Razan ini anak tunggal di keluarganya. Ibu dan ayahnya juga sudah tua dan ingin segera menimang cucu. Jadi dia disuruh segera menikah. Dan Razan dibebaskan untuk memilih calon istrinya, tapi dia malah menanyakan ke saya. Aneh sekali anak ini memang." Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lalu kenapa saya, dok?" tanya Yasna yang terlihat tidak nyaman. Ia pun juga sungkan dengan dua pria di depannya ini. Ia hanya seorang karyawan biasa sementara mereka berdua adalah dokter spesialis dan calon dokter spesialis. Apa pantas? "Kan masih banyak dokter dokter yang single atau perawat gitu. Saya kan cuma karyawan biasa." Ia tersenyum kikuk. Dari ekor matanya, ia bisa melihat bagaimana Razan memperhatikannya tanpa ekspresi. Entah apa yang tengah pria itu pikirkan. "Bagi saya, mau dokter atau bukan... yang penting dia bisa menjadi istri serta ibu yang baik untuk anak-anak saya nanti." Razan akhirnya angkat bicara. Membuat Yasna langsung menoleh padanya. Tatapan pria itu begitu tajam dan yang jelas dia memang tampan. "Lagipula saya sudah banyak mendengar tentang kamu dari dokter Farhan. Jika memang beliau merekomendasikan kamu, saya pikir pilihannya tidak mungkin salah." Ia tersenyum tipis, nyaris tak terlihat seperti senyuman.  "Nah. Tuh Razan aja nggak keberatan kok. Lagian umur kamu juga sudah cukup untuk menikah toh." Farhan tersenyum geli melihat wajah kemerahan Yasna saat ini. Ia senang sekali menggodanya karena Yasna sejak awal adalah gadis yang sopan dan pintar. Dia juga keponakan dari dokter Yastri, salah satu dokter spesialis kandungan di rumah sakit yang sama. "Yastri juga setuju kok." "Loh, tante Yastri sudah tahu?" tanya Yasna yang seolah dibuat kaget terus sejak awal. Farhan mengangguk santai. "Jadi, bagaimana? Kalo boleh, mungkin minggu depan Razan akan menemui keluargamu. Kalian juga bisa melanjutkan komunikasi untuk saling mengenal satu sama lain." Yasna menelan ludahnya dengan susah payah. "Minggu depan?" Ia merasa ini terlalu cepat. Apalagi ia tidak mengenal siapa Razan dan tiba-tiba pria itu mau datang melamarnya?  "Orangtua saya juga sudah tahu dan kata dokter Farhan kamu pasti setuju. Jadi saya akan segera menemui keluargamu, jika kamu mengijinkan." Lagi-lagi Razan terlihat begitu santai. "Tapi dok... " "Bukannya orangtua kamu juga ingin kamu segera menikah, Yasna?" Dokter Farhan memang banyak tahu soal Yasna, terutama dari Yastri. Ia banyak bertanya soal Yasna dari rekan kerjanya itu. Dan setahunya orangtua Yasna ingin agar Yasna cepat menikah. Apalagi Yasna merantau dari Yogyakarta dan hanya tinggal sendiri di ibukota ini. Sementara Yastri sendiri sudah mengajak Yasna untuk tinggal bersama tapi gadis itu sungkan dan mengatakan ingin hidup mandiri. "Kalo udah ada jodohnya, kenapa harus ditunda?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN