Monica melempar ponselnya penuh amarah begitu sebuah panggilan dari seseorang selesai ia terima. Tidak disangka usahanya merecoki pikiran anaknya tentang gadis berstrata rendah seperti Ana masih saja membuat Reksa bersikeras mengejarnya, padahal menurut informan nya, Reksa pun tahu jika gadis itu sudah memiliki calon suami.
Dasar licik!
Monica mengumpat kasar untuk Ana yang dianggapnya begitu murahan. Sudah memiliki pasangan tapi masih saja mendekati anaknya. Kalau bukan karena uang, lalu apalagi yang diinginkan gadis itu pada anaknya.
Ternyata gertakan waktu lalu sangat tidak berpengaruh sama sekali pada Ana sampai-sampai dia masih punya muka bertemu dengan anaknya. Masih ia ingat foto-foto kiriman Dini beberapa hari lalu yang mengabadikan kedekatan anaknya dan gadis rendahan tersebut penuh tawa kemudian menyuap makanan. Dan baru saja ia juga mendengar bahwa Reksa pergi keluar sebelum jam kerjanya selesai. Bukankah sudah dapat dipastikan jika anaknya tersebut ingin mengganggu rencana pertemuan gadis murahan itu dengan calon suaminya.
Tidak!
Monica harus mencegah Reksa datang dan mengacaukan pertemuan tersebut. Jika tidak maka pernikahan gadis murahan itu akan gagal dan hal tersebut berarti kesempatan Reksa bersama Ana akan semakin terbuka lebar. Monica berpikir keras agar anaknya mau tidak mau harus berhenti memikirkan perasaan menggebunya pada Ana.
Dengan cepat, ia mengambil ponsel yang tengah dibanting dan tergeletak di karpet bulu ruang tamunya sehingga benda canggih tersebut tidak mengalami retak sedikitpun. Dihubungi nomor anaknya untuk segera datang menemuinya.
****************************
Reksa hendak pergi ke lokasi pertemuan Ana dan calon pilihan orang tuanya karena rasa penasaran tentang sosok laki-laki yang dipanggil Wira oleh gadis tersebut, namun di tengah jalan Monica, Mama nya menelpon memintanya bertemu. Meski waktu pertemuan masih dua jam lagi, karen Reksa memang memilih datang dan menunggu lebih awal sebelum pasangan tersebut tiba.
Monica selalu membuatnya tidak bisa menolak bahkan disaat penting guna menuruti rasa penasaranya kali ini. Ia pun memutar mobilnya kearah rumahnya yang memang berlawanan jalur dan merelakan terlambat datang. Ia ingin segera datang dan menyelesaiakn apa yang hendak dibicarakan oleh Mama nya kemudian bergegas menuju Cafe.
Setiba di rumah, Monica sudah menunggunya di sofa ruang tamu seperti biasanya. Begitu Reksa datang, ia hanya menoleh seraya tersenyum tipis.
"Duduklah dulu" perintah Monica yang melipat kedua tanganya di depan d**a serta menopang satu kako diatas kaki satunya. Reksa duduk berhadapan dengan Monica.
"Ada apa Mama memintaku datang. Biasanya menungguku pulang terlebih dulu" Tanya Reksa sarkatis.
"Untuk apa menunggumu pulang lebih dulu kalau kemungkinan kapan malam ini sampai di rumah saja belum pasti" Jawab Monica mencibir.
"Jangan bertele-tele Ma, aku sedang sibuk ada operasi. Sebaiknya segera selesaikan apa yang ingin Mama sampaikan"
Monica menatap sinis pada anaknya yang terlihat sangat kesal. Senyum tipisnya kini terlihat megejek kebohongan anaknya tentang kegiatan operasi yang menjadi alasan bijak untuk menutupi tingkah konyol anak satu-satunya tersebut.
"Tidak ada operasi, Mama tahu pasti mengenai jadwalmu"
"Ma, jika tidak ada yang penting sebaiknya aku pergi. Ada hal lain yang jelas lebih penting daripada harus berada disini" Reksa bangun dari posisi duduknya.
"Lepaskan dia" Ujar Monica tajam saat Reksa baru saja hendak melangkahkan kakinya berjalan keluar.
"Apa maksud Mama" Reksa menoleh kearah Mama nya.
"Siapa yang harus dilepaskan?" lanjutnya mengulang ucapan Monica yang tidak dimengertinya.
" Gadis itu, berhentilah mengejar orang yang hanya mempermainkanmu. Sadarlah jika perempuan itu hanya mengeruk uangmu saja" Reksa mengepalkan tanganya menahan geram atas tuduhan tak berdasar dari Mamanya pada Ana.
"Kukira akal sehatmu masih berguna dengan menghancurkan masa lalu lewat perempuan itu kemudian meninggalkanya. Ternyata otakmu terlalu bodoh, mudah saja ditipu dengan kepolosanya" Reksa semakin menggelap. Emosinya seakan sudah sampai di ubun-ubun ingin diledakan seketika.
"Sudah Mama bilang berkali-kali, jauhi dia" Monica menatap nyalang sebagai ancaman pada Reksa.
"Cukup!" Bentak Reksa dengan menahan deru nafasnya yang naik turun meredakan emosinya.
"Mama tidak berhak menuduhnya tanpa dasar. Dia tidak ada hubunganya dengan masa laluku dan dia tidak pernah sekalipun mengeruk sepeser uangku, jadi jangan hina dia sedikitpun. Mama tidak pernah tahu betapa baiknya dia." Bela Reksa. Monica berdiri menghampiri anaknya, kini keduanya saling berhadapan.
"Tidak ada perempuan baik yang mendekati laki-laki kaya padahal dia akan menikah" Reksa membelalakan mata mendengar pernyataan barusan.
Jadi, Mama nya menyelidiki Ana diam-diam?
"Terserah apapun yang Mama katakan tentang dia. Yang jelas aku akan tetap bersamanya" Reksa tidak tahan dengan perdebatan sengit antar dirinya dan Monica. Dilangkahkan cepat kakinya keluar tanpa perduli pada teriakan Monica untuk menghentikan niatnya.
Reksa yang diliputi amarah tersisa mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Dia tak habis pikir bagaimana seorang ibu begitu mengekang kehendak anaknya yang usianya saja sudah pantas memiliki anak. Wajar saja jika memang semua bentuk pengekangan itu adalah rasa sayang yang ingin ditunjukan padanya. Namun ini jelas salah, salah besar. Pengekangan yang didominasi kekuasaan serta penghinaan pada Ana membuat semua sangat tidak manusiawi sama sekali.
Reksa mengabaikan panggilan Monica berkali-kali saat ia menyetir hingga rasa muak membuatnya mematikan dan melempar sembarang ponselnya ke jok belakang agar suara deringanya tidak membuatnya semakin membakar emosi.
Dan tanpa ia prediksi sebelumnya karena terlalu diliputi rasa muak berlebihan hingga konsentrasinya tidak seimbang antara memperhatikan jalan dan memikirkan kalimat-kalimat dari mulut Mamanya, membuat mobil Reksa yang hampir saja bertabrakan dengan truck di depanya mendadak membanting stir guna menghindari tabrakan. Namun seorang wanita yang tengah berdiri di pinggir jalan sembari menunggu taksi lewat, menjadi sasaran mobilnya yang banting setir.
Badan wanita itu dibentur keras mobil Reksa hingga tubuhnya terdorong ke belakang dan tergeletak bersimbah darah karena kepalanya terantuk pinggiran trotoar.
Semua orang mengerubungi wanita tersebut dan mobil Reksa yang sudah berhenti. Sang pengendara yang tampak shock hanya bisa bisa memejamkan mata sejenak kemudian keluar sebelum warga mengamuk menyiksanya di tempat.
"Maaf Bapak-bapak, Ibu-ibu, saya akan tanggung jawab membawanya ke rumah sakit. Jadi mohon bantuanya untuk memasukan kedalam mobil saya" ujar Reksa mencoba menenangkan caci maki beberapa orang di tempat kejadian bahkan ada beberapa orang yang menarik kerah bajunya hendak melayangkan bogem pada wajah tampanya, mamun Reksa bisa mengatasi dengan itikad baik segera menolong korban terlebih dahulu daripada meributkan tentang kecelakaan yang diakuinya memang kesalahan dirinya.
Reksa menghampiri korban seorang wanita dengan hijab berwarna biru tengah tergeletak. Warna biru langit hijabnya sudah bercampur pekat merah darahnya. Segera ia cek denyut nadinya berharap korban masih memiliki kesempatan bertahan untuk sampai ke Rumah Sakit.
Ditemani dua orang warga yang kebetulan rumahnya di sebelah lokasi kejadian, wanita tersebut ditidurkan di jok belakang mobil Reksa. Satu orang ibu-ibu yang tadi membantu memasukan wanita tersebut kedalam mobil, ikut menemani ke Rumah Sakit dan duduk sambil memangku kepala korban.
Reksa meminta maaf berkali-kali pada warga kemudian segera melajukan mobilnya kearah tempatnya bekerja. Dan kejadian ini mengingatkanya pada Ana, lagi. Karena dulu ia mulai mengenal gadis itu lebih intens adalah ketika kecelakaan seperti ini menimpa dirinya.
Ditepiskan bayangan Ana sejenak dan perihal pertemuan yang hendak diiukutinya karena bagaimanapun ia seorang Dokter, sudah jelas prioritasnya adalah keselamatan pasien terlebih lagi pasien tersebut adalah akibat ulahnya sendiri.
Sesampai di tempatnya bekerja, beberapa perawat segera menerima pasien kemudian dilarikan menuju ruang gawat darurat.
****************************
Ana mengelus dadanya naik turun dengan kasar. Dihembuskan nafasnya berkali-kali menenangkan detak jantungnya yang memburu.
Ia bersyukur berkali-kali karena Tuhan masih memberinya keselamatan. Jika bukan karena teriakan warga mungkin saja ia sudah menjadi salah satu korban tabrakan beruntun antara sebuah taksi dan pengendara motor ugal-ugalan. Dan tepat saat motor tersebut menghantam taksi yang tengah menurunkan penumpang, motor Ana tepat berada didepan taksi tersebut namun dengan jarak seratus meter .Begitu mendengar teriakan warga yang pada awalnya ia abaikan, namun lirikan sekilas dari spion membuatnya sadar lebih cepat. Dibelokan motornya kearah kiri hampir saja menubruk kios bensin milik warga sebelum remnya digerakan sangat gesit.
" Mbak tidak apa-apa?" tanya salah seorang warga sambil memberikanya segelas air putih. Ana melihat kerumuan orang yang menghampiri taksi serta pengendara motor tersebut. Memang jika kita berada dekat dengan kendaraan umum, sebaiknya lebih waspada karena kadangkala mereka berhenti tanpa menayalakan lampu sein terlebih dahulu saat menurunkan dan menaikan penumpang.
Memang akibat telepon dari Mamanya tentang kecelakaan yang dialami kakak Wira tentu saja membuatnya panik. Dengan menggila ia bergegas menuju Rumah Sakit yang ternyata milik Reksa. Namun tanpa ia sadari kepanikanya telah membuat nyawanya terancam.
Begitu mobil polisi datang, warga menaikan korban beserta motornya yang terlihat rusak parah. Ana tidak begitu memperhatikan lagi karena kerumunan warga begitu padat dan dirinya lebih memilih duduk sambil menenangkan tubuhnya yang lemas dan bergetar saking kagetnya.
Ponselnya berbunyi dari Mamanya yang menanyakan ia sudah sampai dimana karena sedari tadi ia belum juga sampai membuat Rima khawatir bukan kepalang. Begitu Ana menjawab bahwa dirinya hampir saja menjemput maut, Rima sontak menyuruh suaminya untuk menjemput anak bungsu mereka di lokasi kejadian. Karena dengan keadaan Ana yang masih kaget membuatnya sedikit takut mengendarai motor untuk pulang beristirahat, sendiri.
Rima menutup teleponya di seberang kemudian ia kembali bergabung dengan Wira dan kakak iparnya yang tengah menunggu di depan ruang IGD.
"Ada apa Tante?" tanta Wira begitu melihat Rima begitu pucat pasi setelah menutup telepon.
" Ana... Ana hampir saja mengalami kecelakaan karena mengebut untuk datang kesini" jelas Rima lirih. Mendengar hal itu Wira tampak amat cemas.
"Lalu bagaimana keadaanya Tan?"
"Dia masih shock tapi Om Hendra sedang menjemputnya disana" Wira sedikit lega. Dalam hati ia ingin menghampiri gadis nya untuk mengetahui keadaanya secara langsung namun kondisi kakaknya yang belum tentu didalam sana lebih penting. Bagaimanapun kakaknya lah satu-satunya saudara yang ia punya.
"Syukurlah Tante, semoga Ana memang baik-baik saja" harap Wira sekaligus menengangkan Rima.
"Memang sepertinya Tuhan belum membolehkan kami untuk saling bertemu, belum saatnya" Wira tersenyum kecut dibalas dengan tepukan halus pada pundaknya dari Rima.
---------------------------------------------