perkenalan.

812 Kata
Melati Maudya Putri, seorang gadis cantik berusia belia. Sembilan belas tahun usianya. Gadis desa dengan tubuh ramping dengan kulit kuning langsat khas Indonesia. Gadis ayu, sesuai dengan namanya. Melati baru saja selesai melaksanakan Ujian Akhir Sekolah dan saat ini, ia sedang menunggu waktu untuk menerima hasil dari pendidikannya selama tiga tahun dalam masa SMA. Melati tinggal di sebuah desa yang bernama Kembang Sari. Desa yang terletak di sebuah kabupaten yang lumayan jauh dari ibu kota. Melati tinggal dan hidup dengan ibunya, Retna Wati, seorang ibu tunggal. Ayahnya meninggal semenjak Melati berusia lima tahun, akibat kecelakaan kerja. Meninggalkannya bersama ibu dan adiknya yang masih berusia dua tahun, Rani namanya. Semenjak kepergian ayah Melati, Bu Retna menghidupi kedua putrinya dengan membuka kios kecil-kecilan di samping rumahnya dan berjualan nasi pecel. Melati dibesarkan dengan sangat baik, walaupun Bu Retna hanya seorang ibu tunggal. Kepribadian Melati yang introvert, kecuali dengan orang yang memang akrab dengannya, membuat beberapa teman sekolahnya merasa sungkan padanya. Melati mempunyai sahabat karib sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, namanya Juwita. Kepribadian mereka bertolak belakang. Melati yang pendiam dan Juwita yang ceria. Namun, karena sifat Juwita yang demikian membuat Melati nyaman bersahabat dengannya di saat teman-teman lainnya merasa sungkan padanya. Mereka menganggap Melati tidak mudah bergaul dan susah akrab dengan siapa saja. Walaupun demikian, Gadis dengan tinggi badan 160 cm itu termasuk anak yang berprestasi di sekolahnya. Setelah selesai melaksanakan ujian sekolahnya, bibi Melati, yang bernama Mutmainna, atau biasa yang dipanggil Bik Mut, mengajaknya ke Ibu Kota untuk bekerja. Bik Mut sudah lama merantau dan bekerja sebagai asisten rumah tangga di Ibu Kota. Ada sebuah tawaran pekerjaan dari bibinya, yaitu mengasuh seorang anak dari anak majikannya. Atau bisa di bilang menjadi pengasuh cucu majikan bibinya. “Assalamualaikum," sapa Bibinya dari seberang saat sambungan telepon terhubung pada suatu sore. “Wa alaikum salam," jawab Bu Retna. “Gimana kabarnya Yu?” (Yu, panggilan untuk kakak perempuan). “Alhamdulilah sehat Mut. Kamu gimana?” “Aku juga sehat Yu, Alhamdulillah." “Ada apa ini? tumben kamu telepon." “Hehe. Aku mau tanya, Yu, Apa Melati sudah selesai ujian sekolah?” “Sudah ... Ada apa memangnya?” “Melati ada rencana masuk kuliah ya?” “Kayanya enggak, Mut. Yayu nggak punya biaya untuk kuliah Melati." “Kan kakung sama pamannya bisa bantu biayai, Yu." “Hush, Yayu nggak mau merepotkan, Mut. Kamu tau kan kalo kakung Melati sudah cukup renta, dan pamannya juga baru menikah. Yayu nggak mau menjadi beban mereka." “Terus Melati sudah ada rencana kerja, Yu?” “Kayanya belum tau juga mau kerja apa. Mungkin sementara biar bantu-bantu di rumah saja," ujar Bu Retna saat mendapati pertanyaan demikian. Karena, ia sendiri belum terpikir apa yang harus dilakukan Melati selepas sekolahnya. “Aku ada tawaran kerjaan untuk Melati. Kira-kira boleh nggak, Yu?” “Kerja apa memangnya?” “Jadi pengasuh anak dari anak majikanku." “Kamu ngomongnya kok ribet banget sih, Mut. Ngomong yang jelas dong." “Cucu dari majikanku maksudnya, Yu," ucap Bik Mut dengan salah tingkah karena sejak tadi terus mendapat teguran dari sang kakak. “Nah, gitu kan jelas." “Gimana, Yayu kasih izin nggak?” “Kamu tanya sendiri sama Melati. Lagian dia juga nggak ada pengalaman kerja. Apa bisa di terima?" ungkap Bu Retna ragu. “Dicoba dulu kali, Yu. Siapa tahu masih rezeki." “Coba kamu tanyakan sendiri langsung sama Melati." “Iya deh. Mana anaknya?” “Ini Mel. Bik Mut mau bicara sama kamu." Bu Retna menyodorkan HP di tangannya. “Assalamualaikum, bik," sapa Melati. “Wa alaikum salam. Gimana kabarmu, Mel?” “Alhamdulilah sehat, bik. Bibi gimana?” “Bibi juga sehat, Mel. Oh iya, Bibi mau tanya, ada kerjaan di anak majikan Bibi, untuk jadi pengasuh. Kamu mau nggak?” “Pengasuh?” “Iya. Cucu majikan Bibi. Anaknya umur sekitar tiga tahunan, Mel." “Tapi aku nggak ada pengalaman, Bik. Apa bisa?” “Dicoba dulu aja, Mel. Kali aja rezeki kamu." “Emm. Boleh deh Bik. Tapi tunggu Melati habis terima hasil kelulusan yah." “Kapan itu terima hasilnya?” “Dua minggu lagi, Bik." “Ya sudah. Mudah-mudahan lulus dengan hasil terbaik." ujar Bik Mut memberikan doanya yang terbaik untuk keponakannya. “Aamiin. Makasih banyak doanya, Bik." “Iya sama-sama ... ya udah, bibi mau lanjut kerja dulu ya. Assalamualaikum." “Wa alaikum salam." Melati memberikan kembali HP pada ibunya. “Kamu yakin mau kerja di Ibu Kota?” tanya Bu Retna memastikan. Pasalnya selama ini, Melati tak pernah jauh darinya. “In shaa Allah, bu." “Apapun keputusan kamu, in shaa Allah ibu dukung selama itu baik, nak. Tapi ibu tidak memaksa kamu untuk membantu ekonomi keluarga kita. Yang penting pengalaman dalam hidup kamu bertambah. Dan yang paling penting kamu bisa menjaga diri serta kehormatan keluarga," nasehat dari Bu Retna. “Iya, bu. Terima kasih nasehatnya. In shaa Allah akan selalu Melati ingat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN