perjalanan menuju ibukota

1799 Kata
“Mel, lagi ngapain?” Sapa seorang pemuda yang lewat. Pemuda yang sedang naik di atas motor Ninjanya. Ia menghentikan motornya menyapa. “Loh, Dimas.” Melati menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Dimas. “Aku habis dari rumah Kakungku”. Jawab Melati. “Oh. Rumah kamu dekat sini ya?” “Iya. Tuh yang di depan.” Melati menunjuk sebuah rumah sederhana dengan ukuran 42m persegi. “Kamu dari mana mau ke mana? Kayanya rumah kamu kan di kampung sebelah. Kok sampe sini?” tanya Melati penasaran. “Aku habis dari rumah Diki”. Jawabnya singkat. Dimas adalah teman sekelas Melati. Di wilayah ini satu Sekolah Menengah Atas (SMA) membawahi beberapa desa. Termasuk Desa tempat tinggal Melati juga Dimas. SMA Negeri 1 Kembang Sari. Karena tepatnya terletak di Desa Kembang Sari. “Ya udah Mel. Sudah larut. Aku mau balik dulu.” Pamitnya. “Iya hati-hati di jalan Dim.” Pemuda bertubuh tinggi seratus tujuh puluh centi dengan postur tegap tidak terlalu berisi itu menstater motornya dan berlalu. Melati pun kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumahnya. *** Dua hari dengan cepat telah berlalu. “Sudah selesai semua persiapan kamu Nak?” Tanya Bu Retna pada putrinya. “In shaa Allah sudah Bu.” “Yakin nggak ada yang ketinggalan.” Ia meyakinkan. “In shaa Allah nggak Bu.” Bu Retna dan Rina akan mengantar Melati ke stasiun. Setelah semua persiapan selesai. Mereka memanggil mang ujang, tukang ojek di dekat rumah mereka untuk mengantar ke stasiun. Sementara itu Rina membonceng Bu Retna menggunakan motornya. Mereka berangkat lebih awal karena hendak mampir dulu ke sebuah counter handphone. Melati berencana menukar tambah Handphone miliknya dengan Handphone baru dengan spesifikasi yang lebih tinggi. “Mau cari apa mbak?” Sapa penjaga counter ramah. “Saya mau tukar tambah HP Bang. Bisa?” “Bisa mbak. Silakan di pilih. Mau yang baru atau yang bekas?” Penjual itu mengeluarkan beberapa merk dan jenis HP dari yang baru ataupun yang bekas dan menunjukkan pada Melati. “Saya lihat-lihat dulu bang”. Melati membolak-balik HP untuk mengecek kelayakan. “Silakan mbak. Walaupun HP bekas tapi sudah di format pabrik. Jadi file atau data pengguna lama sudah di hapus dari perangkat”. “Iya bang. Kira-kira kalo HP saya ini di tukar sama yang itu tapi bekasnya aja saya nambah berapa ya?” Melati mengeluarkan HP dengan Merk S*****g J2 prime dari kantong tasnya. “Oh ini”. Penjual itu mengecek HP Melati dengan seksama. “Buat mbaknya saya kasih lima ratus ribu aja deh.” “Emm. Iya deh. Saya ambil yang ini aja bang. Bekas dulu aja.” Melati memberikan HP miliknya. “Mau di stel di sini atau mbaknya yang stel sendiri?” Tanya penjaga counter dengan rambut ikal sebahu. “Saya stel sendiri aja bang”. “Oke. Aksesori di HP lama kaya kartu sudah di ambil mbak?” “Sudah bang. Tinggal saya pindahin aja ke yang baru”. Setelah memindahkan kartu miliknya Melati menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan pada penjaga counter itu. “Makasih banyak mbak.” “Sama-sama bang.” Melati berlalu dan menuju ke tempat ibu dan adiknya yang sedang menunggu. “Kak Mel beli HP apa?” Tanya Rani penasaran. “Kakak Cuma tukar tambah sama HP bekas juga kok”. “Coba liat dong.” Pinta Rani penasaran. Melati mengeluarkan HP yang baru saja di tukarnya. “Wah masih bagus ya.” “Iya Ran. Menghemat dari pada beli baru.” “Sudah. Ayo cepetan. Nanti keburu telat.” Bu Retna menegur kedua putrinya. “Oke siap ibu cantik.” Rani segera naik di atas motor. Mereka melajukan kendaraan ke arah Stasiun. Setelah sampai dan membeli tiket, Rina dan bu Retna menemani Melati menunggu kedatangan kereta yang akan dinaiki. “Nak, jangan lupakan pesan ibu ya. Hati-hati.” Pesan Bu Retna dengan wajah sendu. Melati tatap wajah tua ibunya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan sang ibu. Baru kali ini ia akan berada jauh dari ibunya. Melati tersenyum menanggapi dengan menganggukkan kepala. “kamu harus rajin bantu ibu Ran. Gantikan kakak ngantar ibu kepasar. Jangan bandel.” Melati ganti berpesan pada adiknya. “ish pa’an sih kak Mel. Aku juga ngerti tugas dan peranku. Lagian kak Mel mau pergi jauh dan dalam waktu lama. Jangan lupa sering-sering telpon ibu. Dan duit jajanku ditambah ya.” Katanya sambil nyengir. “Duit saja cepet.” Melati menonyor kepala adiknya sambil tertawa. “Hai Mel, kamu mau kemana? Kita ketemu lagi di sini.” sapaan suara Dimas mengejutkan Melati. “Eh, hai Dimas, aku mau ke kota.” Melati menanggapi. Dimas menyalami bu Retna. “Siapa dia kak Mel?” Tanya Rani penasaran. “Kenalin. Ini Dimas. Teman sekolah kakak”. Melati memperkenalkan. Dimas mengulurkan tangan hendak menyalami Rani. Rani juga hendak mengulurkan tangannya. Tapi Melati menyiku lengan Rani memberi isyarat. Akhirnya Rani menangkupkan tangan di dadanya. “Rani bang.” Rani tersenyum kikuk. “Dimas.” Sedikit kikuk karena penolakan tiba-tiba. “Temannya Kak Mel cakep ya.” Ucap Rani asal. “Hus.” Bu Retna menegur. Dimas yang di puji merasa malu. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nak Dimas mau kemana?” Tanya Bu Retna mencoba mencairkan suasana. “Kebetulan saya juga mau ke kota bu. Mau daftar kuliah.” “Oh gitu. Nak Dimas naik kereta apa?” “Naik... Ekspress Bu.” jawab Dimas dengan menyebut sebuah nama kereta. Mendengar jawaban Dimas Bu Retna manggut-manggut. “Kamu mau ngapain ke kota? Mau kuliah juga.” Dimas ganti bertanya pada Melati. Melati menggeleng sambil tersenyum menanggapi pertanyaan Dimas. “nggak Dim, aku mau kerja. Di panggil Bik Mut katanya ada lowongan.” “oh, semoga kamu betah. Oh ya. Kalo gitu kita barengan saja. Kebetulan ketemu di sini.” Tawarnya canggung. “oke.” Satu jam menunggu. Kereta sedikit terlambat dari jadwal kedatangan. Karena alasan teknis di Stasiun sebelumnya. Melati berpamitan dengan menyalami dan mencium punggung tangan ibunya dengan takzim. Walaupun ada sedikit air mata, Melati berharap bisa meringankan beban ibunya. Ia ingin membahagiakan beliau di hari tuanya. Setelah itu Melati menyalami Rani. “semoga dapat jodoh bos ganteng Kak.” Bisiknya di telinga Melati. Melati mendorong kepala adiknya. ‘Dasar bocah ini. Bukannya sedih masih bisa saja dia menggodaku. Heran!’ ucap Melati dalam hati. Dimas pun berpamitan dengan Bu Retna dan Rani. “Hati-hati Mel, Nak Dimas. Ibu titip Melati sampai di kota ya.” Pesan bu Retna untuk Dimas. “iya bu, in shaa Allah.” Jawab Dimas sambil tersenyum. Dimas membantu Melati membawa bawaan. Melati membawa sebuah ransel besar berisi pakaian. Dan sebuah karton kecil berisi oleh -oleh untuk bik Mut. Dan sebuah tas selempang berisi perlengkapannya. Ternyata nomor duduk Melati dan dimas bersebelahan. Setelah menaruh barang di rak bagasi kereta mereka pun duduk. Kecanggungan mulai terasa. Melati mencoba bersikap biasa. Di sekolah ia tidak dekat dengan siapa pun kecuali Juwita. Jadi duduk bersebelahan dengan Dimas membuatnya sedikit kurang nyaman. “kamu gak nyaman ya Mel?” tanyanya seolah mengerti perasaan Melati. Melati menggeleng pelan. Tidak ingin membuat Dimas tersinggung. Kemudian mengeluarkan buku dari tas kecil yang dia bawa. Dimas pun sibuk dengan gadgetnya. Mungkin itu juga pengalihan yang dilakukannya. Supaya tidak terlihat canggung. Kereta mulai berjalan. Melati melihat keluar jendela. Menikmati hamparan alam yang hijau. Sungguh indah alam ciptaan Tuhan. Tak terasa Kantuk menyerang dan Melati pun tertidur. Entah berapa lama Melati tertidur. Hari mulai menjelang sore. Melati terbangun dari tidurnya. Kebetulan hari ini Melati sedang libur sholat. “Permisi Dim. Aku mau ke kamar kecil.” “Oh iya Mel.” Dimas membuka headset yang menutup telinganya. Dan berdiri. Memberi ruang untuk Melati lewat. Sepuluh menit kemudian Melati kembali ke tempat duduk. Terdengar pengumuman bahwa tempat tujuan sudah dekat. Dan sepuluh menit lagi kereta akan sampai. *** Kereta telah berhenti dan para penumpang bersiap-siap untuk turun. Setelah keluar dari gerbong. Melati melihat mentari yang hendak bersebunyi. Semburat jingga mulai menyapu ufuk barat. Pertanda waktu hampir gelap. Melati mengambil HP dari tasnya dan menghubungi Bibinya. “Assalamualaikum. Bibi di mana? Melati sudah sampai stasiun.” Ucap Melati. “Bibi lagi tunggu di kantin. Sebentar lagi bibi ke situ. Kamu jangan ke mana-mana”. “iya bik.” Dimas masih berdiri di dekat Melati. Terlihat ragu. Seolah ada yang ingin disampaikan. “Kamu belum di jemput Dim?” tanya Melati “Sudah. Abang lagi nunggu. Ehm aku boleh minta nomor hp kamu?” tanyanya ragu. “Siapa tahu nanti kalo ada butuh sesuatu.” imbuhnya. “Boleh. Nih kamu tulis.” Melati menyodorkan Hp agar Dimas bisa melihat jelas. “Oke makasih Mel.” Tidak lama kemudian Hp milik Melati berbunyi. Nomor baru tertera di layar. “itu nomorku. Di save ya?” ucap Dimas sambil tersenyum. “Oke.” “Melati.” Suara bik Mut memanggil dari bagian belakang. Melati menoleh. Bik Mut berjalan mendekat ke arahnya. Di salami bibinya itu. “apa kabar bik?” sapa Melati. “Alhamdulillah sehat. Ini siapa?” ucapnya menunjuk Dimas. “Teman sekolah bik. Tetangga kampung juga.” “oh. Gantengnya.” Ucap Bik Mut sekenanya. Yang di puji hanya tersipu. Begitulah bik Mut. Walaupun mereka berdua keluarga, namun berbeda karakter. Karakternya yang terkesan blakblakan sama seperti Rani. “ish bibi. Apaan.” Melati menarik lengan menarik lengan baju Tak berapa lama Dimas di panggil oleh abangnya. Mereka pun berpisah. *** Mereka menaiki taxi online menuju rumah majikan Bik Mut. Sebelumnya bik Mut sudah meminta izin dari majikannya karena hendak membawa Melati. Dan sementara Melati menginap di rumah majikannya itu. Rumah yang besar dengan aksen mewah. Dengan hiasan interior yang menawan. Melati terkagum-kagum melihat kemewahan rumah itu. “kamu tunggu di sini. Bibi panggil ibu dulu.” Melati berdiri di sebuah ruangan. Tak berani duduk walaupun kakinya pegal. Karena tidak ada yang mempersilahkan. Bik Mut menaiki tangga ke lantai atas. Tidak berapa lama bik Mut turun bersama seorang wanita paruh baya. Seorang wanita cantik dengan balutan hijab berwarna pastel. Wajahnya yang cantik di balik usia yang sudah tidak muda lagi. Tidak tampak keriput karena perawatan yang di jalaninya. Beliau tersenyum ramah pada Melati kemudian menyalami Melati. Melati menyambut uluran tangan Bu Rose dan mencium punggung tangannya . “ini keponakanmu Mut?” ucapnya lembut. “Iya Bu.” jawab bik Mut sopan. “Siapa namamu nak?” tanyanya lagi. “Melati nyonya.” Melati sedikit menundukkan kepala. “Sesuai namanya. Cantik sekali. Jangan panggil nyonya. Panggil saya ibu. Saya lebih suka dipanggil ibu”. “Baik Bu.” Melati tersipu. “Kamu pasti lelah. Makanlah. Dan istirahat. Kamu pasti belum mandi juga. Kamu bisa membersihkan diri. Semoga kamu nyaman. Kalau ada sesuatu tanyakan pada bibimu. Jangan sungkan.” “Baik Bu.” Ternyata majikan Bik Mut sangat ramah. Cantik dan Ramah. Tidak seperti sosok majikan yang terlihat di film-film
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN