2 - A NIGHT TO FORGET

2058 Kata
Amara sedang mematut diri di depan cermin dan menyempurnakan riasan wajah ketika Amy mengetuk pintu kamar. “Oui!” Mengenakan maxi dress merah yang dibelinya dari butik Claudie Pierlot kemarin, Amara membiarkan rambunya tergerai. Ajakan Jacques untuk makan malam langsung disanggupinya tanpa berpikir panjang. Waktunya di Paris tinggal dua hari dan setelah bertukar begitu banyak cerita, Amara merasa makan malam ini adalah hal paling sederhana yang bisa dia lakukan untuk membalas semua kebaikan Jacques. “Mau keluar dengan Jacques lagi?” tanya Amy setelah dia duduk di ujung tempat tidur. Amara mengangguk. “Dia tahu gue akan pulang ke Indonesia dan pengen ngajak makan malam untuk terakhir kali.” Melalui bayangan di cermin, Amara menatap sahabatnya. “Kenapa, Amy?” Amy menghela napas. “Gue tahu nggak berhak buat ikut campur urusan lo, tapi lo yakin Jacques nggak ada ketertarikan sama sekali? Nggak ada laki-laki yang melakukan apa yang dilakukan Jacques tanpa sebab, Mara.” “I know what I’m doing, Amy, don’t worry about it.” “Gue cuma nggak mau lo nyesel atau dikejar rasa bersalah begitu nyampe Jakarta. I don’t want you to experience that.” Amara mengerutkan dahi dan menoleh. Dia perlu tahu alasan Amy menyebut kata itu. “Nyesel gimana maksud lo?” “Ryan.” Mendengar nama itu, Amara kembali memandang cermin dan merapikan rambutnya dengan sisir. Amara memang menceritakan kejadian yang menimpanya di depan Moulin Rouge kepada Ryan, tetapi dia menyimpan bagian tentang Jacques dan juga pertemuan-pertemuannya dari pria itu. Tidak ada yang salah dari tindakannya menghabiskan waktu dengan Jacques. Kecupan di pipi yang diberikan pria itu setiap kali mereka bertemu pun sebatas kecupan salam yang dilakukan banyak orang di Eropa, bukan sesuatu yang berkonotasi s*****l. Amara justru terkejut mengetahui Amy menyinggung nama Ryan mengingat sahabatnya itu tidak pernah menyuarakan keberatan setiap kali Amara pergi dengan Jacques. “Nggak ada hubungan apa-apa antara gue dan Jacques. Dia selalu bersikap sopan dan nggak pernah sekalipun nyoba hal-hal yang nggak pantes. He respects me, Amy. Gue nggak liat alasan kenapa harus dikejar perasaan bersalaha terhadap Ryan sementara gue merasa nggak melakukan apa pun yang bisa masuk kategori membahayakan hubungan kami. Gue cuma nggak mau kami bertengkar lewat telepon misalkan gue cerita tentang Jacques. Ryan bisa punya tendensi buat bersikap posesif berlebihan. I will worry about it when it happens. Saat ini, nggak terjadi apa-apa antara gue dan Jacques yang harus bikin gue ngerasa bersalah sama Ryan.” “Kalau memang lo ngerasa kayak gitu, gue nggak bisa bilang apa-apa lagi.” Amara meletakkan sisir yang tadi digunakannya dan bangkit dari hadapan cermin. Duduk di samping Amy, dia meraih tangan sahabatnya itu dan menggenggamnya erat. “Amy, gue paham banget lo khawatir sama gue, terlebih gue baru beberapa hari kenal Jacques. Mungkin juga lo ngerasa bersalah karena nggak bisa temenin gue jalan-jalan. Tapi selain kejadian di depan Moulin Rouge, dan beberapa kali gue jalan sama Jacques, gue masih baik-baik aja, ‘kan? Gue nggak pernah pulang larut dan selalu ngabarin lagi ada di mana. Justru Jacques bikin gue nyaman dan aman karena dia tahu Paris lebih banyak daripada gue.” Amy tersenyum dan menepuk tangan Amara. “Lo benar, Mara. Gue cuma … nggak mau lo sakit hati.” “Sama siapa? Jacques?” Amara tergelak. “Jacques itu cuma kenalan, Amy. Gue nggak mungkin jatuh cinta sama pria yang gue bahkan nggak tahu latar belakangnya. Bisa aja dia bohong dengan semua yang dia bilang ke gue. Tapi gue enjoy ngabisin waktu sama dia. Dan kami nggak akan ketemu lagi kalau gue udah pulang ke Indonesia. Mungkin setahun dari sekarang, lo perlu ngingetin gue lagi siapa itu Jacques.” Amy tergelak. “Jam berapa dia bakal jemput lo?”  Amara mengecek jam tangannya. “Mungkin sebentar lagi. Gue minta dia nggak usah naik biar nggak perlu cari tempat parkir.” “Have fun, Mara! Gue lega pengalaman kamu di Paris jadi lebih menyenangkan setelah penjambretan itu. And you look super gorgeous in that dress!” Setelah mereka berpelukan, Amy membiarkan Amara melanjutkan aktivitasnya. Memastikan tampilannya sudah prima, Amara segera turun meski Jacques belum mengabarinya. Menunggu di bawah akan lebih menyingkat waktu hingga pria itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Udara Paris malam itu bisa dibilang cerah meski sore tadi sempat hujan. Mara sengaja membawa jaket untuk berjaga-jaga jika cuaca kembali berulah nanti. Dia sengaja tidak bertanya ke mana Jacques akan membawanya karena percaya dengan pilihan pria itu. Tidak lama kemudian, Jacques pun berhenti di depan Amara. Namun kali ini dia tidak membawa mobil melainkan skuter. Amara tidak mampu menahan tawa melihat Jacques mengenakan helm. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan melihat ini. “Semoga enggak keberatan aku jemput pakai motor. Aku mau kasih kamu pengalaman yang berbeda. I promise you it will be a special night.” Amara menggeleng. “Kamu benar-benar tahu cara memberikan kejutan.” Menyodorkan helm, Jacques membalas, “Do you trust me?” “I do.” Amara naik ke bagian belakang motor dengan susah payah dan setelah memastikan helnya terpasang erat dan mengancingkan jaketnya rapat, dia melingkarkan lengannya pada pinggang Jacques. “Sudah siap?” “Let’s go!” Amara tidak keberatan dengan embusan angin yang menampar wajah dan rambutnya. Merasakan duduk di belakang Jacques dan menyaksikan Paris tanpa terhalang kaca mobil, Amara tidak tahu lagi apa yang bisa melebihi sensasi ini. Liburannya di Paris kali ini memang jauh dari kata membosankan!   ***   La Bourse et La Vie yang bermukim di 12 Rue Vivienne menjadi pilihan Jacques untuk makan malam mereka. Dipenuhi panel-panel kayu berwarna olive grey serta kursi yang dicat hijau gelap, tempat itu membuat Amara langsung jatuh cinta. Karena semua menu dalam bahasa Prancis, Amara membiarkan Jacques memilihkan menu untuknya setelah memberitahu apa yang tidak disukainya. “Tu es splendide sur cette robe, Mara.” “Terima kasih, Jacques, meski aku nggak tahu kamu ngomong apa.” Amara memang sesekali mendapati Jacques bicara dalam bahasa Prancis, terutama jika mereka sedang makan atau ketika Mara ingin membeli sesuatu. Membaca artikel tentang orang-orang di Paris yang enggan berbahasa Inggris, kehadiran Jacques jelas sangat membantu. Dia bahkan cukup sering mendapat diskon sekalipun tidak tertera adanya potongan harga hanya karena Jacques berbahasa Prancis. Jacques tergelak. “Kamu terlihat cantik sekali dengan baju itu.” “Haruskah aku mulai waspada karena tiap kali cowok ngomong begitu biasanya nggak jauh dari rayuan?” Jacques menggeleng pelan sebelum menyeka mulutnya dengan serbet. “Enggak ada yang salah dengan sebuah pujian, ‘kan? Aku selalu melakukannya tanpa maksud apa pun.” “Oke, aku tetap harus waspada.” “Kalau memang itu membuat kamu merasa lebih baik.” Setelah makan malam yang dihidangkan­—Amara akan selalu ingat ketika foie gras de canard yang menjadi menu andalan restoran ini menyentuh lidahnya pertama kali dan smoked eel yang membuatnya ingin membersihkan piringnya karena begitu luar biasa—dan satu gelas anggur putih, Amara tidak mampu lagi bisa berpikir. Bukan hanya perutnya yang penuh, tapi juga jiwanya. Amara lupa terakhir kalinya dia merasa seperti ini. “Terima kasih juga sudah mengajakku ke sini, Jacques. Ini mungkin makan malam terbaik yang pernah aku rasakan. Nggak cuma atmosfernya yang sangat Paris, tetapi juga makanannya. Aku pasti akan kangen makan di sini.” “Aku senang mendengarnya.” Makanan penutup mereka pun datang. Sekalipun Amara yakin perutnya tidak lagi bisa terisi makanan, dia tidak menolak ketika Jacques menawarkan makanan penutup. Yang tersaji di hadapan Amara adalah sorbet lemon thyme dengan cokelat parut yang diletakkan di atas minyak zaitun. Kombinasi yang menurut Amara tidak biasa, terlebih menggunakan minyak zaitun sebagai bagian dari makanan penutup. Begitu pramusaji meninggalkan meja mereka, Amara menatap Jacques. “Kalau besok timbanganku naik, kamu harus bertanggung jawab.” Jacques tidak mampu menahan tawa. “Dari semua restoran di Paris yang pernah aku coba, enggak ada yang mengalahkan desert ini. Rasanya seperti aku masuk ke surga setelah makan ini tanpa harus mati lebih dulu.” Amara semakin penasaran dengan rasa sorbet ini setelah mendengar pengakuan Jacques yang dianggapnya berlebihan. Namun, satu yang dia pahami tentang Jacques adalah pria itu tidak pernah berdusta jika menyangkut makanan. Kelembutan sorbet ini benar-benar di luar akal sehat Amara. Belum lagi parutan cokelat dan rasa daun timi yang tidak berlebihan menjadikan kombinasi yang tadi dianggapnya aneh, terasa pas. Amara tidak sadar bahwa Jacques memperhatikannya menghabiskan makanan penutup itu dalam hitungan menit. Begitu menyadarinya, Amara langsung menutupi muka dengan tangan. “Aku kampungan, ya?” “Kampungan? Justru sebaliknya, Mara. Aku suka melihat wanita yang enggak malu-malu untuk menghabiskan makanan yang dia nikmati. Aku suka makanan enak, jadi aku pun nggak malu untuk bersikap seperti kamu di depan siapa saja.” “Ini enak sekali, Jacques! Aku pikir kamu berlebihan waktu tadi bilang rasanya seperti ke surga tanpa harus mati terlebih dahulu, tapi ini benar-benar … enak!” Amara lantas memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya pada dinding di belakangnya. “Aku nggak bisa langsung tidur habis ini. Aku perlu melakukan sesuatu untuk membakar semua kalori yang masuk.” “Mungkin kamu mau menyusuri Seine setelah ini?” “Apa nggak bahaya?” tanya Amara begitu dia membuka mata. “Mara, aku enggak akan ajak kamu ke sana kalau tahu di sana bahaya. Lagipula, orang akan berpikir dua kali jika melihatku.” “Kenapa begitu?” “Punya badan tinggi sepertiku punya keuntungan tersendiri.” Amara mengeluarkan tawa kecil. “Dan kamu sudah membuktikannya waktu mengembalikan tasku yang dijambret.” “There you go!” “Kenapa nggak? Mungkin jalan-jalan di sepanjang Seine akan membuatku semakin jatuh cinta dengan Paris.” “Aku pikir kamu sudah jatuh cinta?” “And I owe it all to you, Jacques.”   ***   Ide yang dicetuskan Jacques terbukti ampuh untuk mengusir kantuk. Jacques pun memilih lokasi yang menjanjikan pemandangan Paris tanpa cela. Semenjak turun dari skuter, Amara sudah dimanjakan dengan gemerlap lampu yang memenuhi Eiffel. Selama beberapa menit, dia hanya berdiri di trotoar dan memanjakan matanya dengan keindahan yang tidak bisa disaksikannya setiap hari. Jacques harus menyentuh lengan Amara untuk menyadarkannya. Turun ke sisi yang berbatasan langsung dengan sungai yang membelah Paris ini membuat Amara teringat dengan gambaran Paris yang selama ini dilihatnya di film-film atau dibacanya di majalah. Mengunjungi Paris kurang lengkap jika tidak menyusuri Seine. Senyum di wajah Amara belum juga luntur meski saat ini dia lebih ingin menyelonjorkan kaki dan menyandarkan kepalanya pada sofa. Namun menyadari Jacques berjalan di sampingnya membuat Amara melupakan semua itu. “Aku sering jalan-jalan di sini jika bosan atau butuh menyegarkan otak.” “Apa nggak semakin ruwet pikiran kamu denger lalu lintas kendaraan?” Jacques menggeleng. “Ini bagian dari Seine yang aku suka. Enggak begitu banyak orang, tapi dari sini bisa lihat Eiffel. Jangan kira meski aku besar di sini dan sering melihat Eiffel, aku jadi bosan. Orang Paris kadang lupa bahwa Eiffel lebih dari menara atau atraksi turis, tapi ada sejarah panjang yang menyertainya.” Dengan susah payah, Amara menahan diri untuk tidak membiarkan tubuhnya berdekatan dengan Jacques. Namun berada di tempat yang jauh dari kerumunan, ditambah anggur yang tadi diminumnya dan aroma parfum kayu-kayuan yang menguar hebat dari tubuh Jacques membuat Amara kesulitan mendengarkan ucapan Jacques. “Mara, kamu baik-baik saja?” tanya Jacques dengan wajah khawatir. “Kiss me, Jacques.” Kalimat itu keluar begitu saja tanpa mampu Amara tahan. Dia sadar konsekuensi atas permintaannya itu, tapi merasakan bibir pria itu sudah dibayangkannya sejak makan malam tadi. Amara mengusir jauh-jauh nama Ryan saat ini karena pria itu tidak perlu tahu. Amara akan terus dibayangi kesempatan yang terbuang saat pesawatnya mulai meninggalkan Paris dua hari lagi. Dia bahkan tidak peduli jika Jacques menganggapnya sebagai w************n. Pikirnya, mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini. Apa yang harus ditakutkan dari sebuah ciuman? “Kamu yakin? Karena aku enggak bisa janji akan bisa berhenti jika melakukannya. Dan aku jelas enggak mau kamu menyesalinya besok.” Didorong rasa tidak sabar, Amara mengangkat tumit kakinya hingga dia bisa menyatukan bibirnya dengan Jacques. Bibir pria itu begitu lembut, seperti pria yang belum dewasa sementara sisa dari sorbet lemon dan daun timi yang telah bercampur dengan anggur putih membuat Amara enggan melepaskan ciuman. Dengan penuh keyakinan, Amara melingkarkan lengan pada leher Jacques, memancing pria itu agar bereaksi atas pagutan bibir mereka. Dan Amara pun berhasil. Meski tidak tergesa-gesa, Jacques mulai membalas ciuman Amara lebih dalam. Amara tentu tidak berencana mencium Jacques saat pria itu menjemputnya tadi. Semuanya terjadi karena gabungan beberapa faktor. Namun yang paling utama adalah karena dia menginginkannya. Begitu ciuman mereka berakhir, Amara mencengkeram kemeja linen putih yang dikenakan Jacques, tidak peduli jika aksinya itu menyisakan kusut. Mengarahkan bibirnya ke telinga Jacques, Amara mengungkapkan keinginan yang mulai mendesak untuk dipenuhi. “Aku ingin lebih dari sekadar ciuman, Jacques.” “Tu es sûr, Mara?” (1) Sekalipun tidak memahami pertanyaan Jacques, Amara mengangguk. Dia tidak peduli bahkan jika pertanyaan Jacques bukan seperti yang diduganya. “Make love to me,” bisiknya. Amara hanya diam saat Jacques menjauhkan wajahnya dan tatapan mereka bertemu. Ketika jemari Jacques membelai pipinya, Amara menanti dalam cemas balasan dari pria itu. “Let’s go to my place.” Bibir Amara dan Jacques kembali bertemu, kali ini membiarkan nafsu mengendalikan mereka. Meski ada perasaan tidak rela saat Jacques mengakhiri ciuman, Amara sadar mereka harus melakukannya agar bisa cepat pulang. Senyum yang diberikan Jacques meyakinkan Amara dia meminta hal yang sangat masuk akal dari pria itu. “Mau aku gendong?” Belum sempat menjawab, lengan Jacques sudah mengangkat tubuh Amara. Tanpa bisa berontak, tawa Amara menggema penuh dengan kebahagiaan sementara gairah yang menjalarinya semakin menuntut untuk dipuaskan. Amara pun tidak ragu bahwa memori tentang malam ini akan menguntitnya hingga ke Jakarta.   (1) Apakah kamu yakin, Mara?    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN