Chapter 4

959 Kata
Bab 4 – Bandingkan Dengan Siapa? (1/2) Kaisar menyaksikan Laura menghina wanita yang di cintainya. Adegan yang cukup dramatis memang. Laura dan nona-nona dayang lainnya dengan cepat mengangkat rok mereka untuk membungkuk memberinya salam. Tetapi dia memberi tatapan tegas pada mereka semua. Saya sudah melihat Sovieshu beberapa kali sebelumnya di istana, dan saya menatapnya dengan tenang alih-alih menyapa kedatangannya. Sovieshu memandang Laura kemudian menoleh ke arah Rastha. “Oh ya ampun, Rastha..” Sovieshu menghela nafas. Mata Rastha basah, mungkin karena terkejut dan tatapan lebar yang diberikan padanya membuatnya tampak seperti binatang malang yang ketakutan. “Jangan menangis.” Suara Sovieshu lembut. Meskipun dia berusaha menenangkan Rastha, air matanya mulai menetes ke wajahnya. “Aku bilang jangan menangis.” Kini suaranya tidak simpatik, Rastha tetap tidak berhenti. Dia tampak tidak takut dengan sikap dingin dan kejamnya kaisar. Saya terus menatapnya. Ketika Rastha terus menangis, yang mengejutkan saya, Sovieshu mengeluarkan sehelai sapu tangan bersulam emas dan memberikannya pada Rastha. Air matanya tidak berhenti mengalir bahkan ketika dia menawarkan sapu tangan tersebut. Rastha menerimanya. Dan dia menghela nafas, lalu menyeka wajahnya sendiri. Kaisar : “Kamu sangat sedih.” Ada nada khawatir dalam suaranya dan sudut hati saya mulai berdenyut lagi. Tidak, ini adalah reaksi alami. Ya, tentu saja ini sangat alami. Saya mengingatkan diri saya tentang apa yang dikatakan Countess Eliza semalam. Saya membalikkan badan dan menginstruksikan para nona-nona dayang untuk mengikuti saya lagi. Permaisuri : “Ayo pergi! Kaki saya terasa sakit.” Saya tidak akan bisa menghentikan Sovieshu dari keinginannya untuk memiliki selir. Tetapi saya bebas untuk mengalihkan pandangan saya darinya. Para nona-nona dayang dengan cepat mengikuti saya. Kaisar : “Tunggu! Berhenti disitu!” Sovieshu memanggil sebelum kami mengambil beberapa langkah maju. Pertama Rastha, dan sekarang dia. Sovieshu melototi Laura dan menunjuk ke arahnya. Kaisar : “Tinggalkan nona dayang itu, permaisuri!” Perintahnya. “Untuk apa?” Saya berbalik ke arahnya. “Tinggalkan dia!” Ada nada tegas yang ditekankan oleh Sovieshu. “Dia adalah nona dayang saya. Anda harus memberitahu saya alasannya.” Kulit Laura mendadak pucat pasi. Saya pun juga merasakan angin yang tidak menyenangkan bertiup di dalam pikiran saya. Tentunya dia tidak akan menghukum Laura hanya karena apa yang dikatakannya tadi pada Rastha kan? Sementara perilaku Laura memang tidak patut ditiru, tetapi statusnya masih tetap saja seorang dayang milik permaisuri. Sedangkan status Rastha masih belum jelas, bahkan dia belum menjadi selir yang sah. Dan dia bahkan lebih rendah daripada bangsawan. Bagi Sovieshu, menghukum Laura secara terbuka akan mempermalukannya di mata masyarakat. Seperti halnya diri saya, sang permaisuri. Saya menatapnya dan dia mengalihkan pandangannya ke Laura. Kaisar : “Dia memang nona dayang permaisuri tapi dia juga subjek ku. Beraninya dia berbicara seperti itu!” Permaisuri : “Kalau begitu saya akan memarahinya nanti.” Kaisar : “Kamu pikir sekedar omelan akan membuat seorang yang telah menyebut orang lain kotor itu berguna? Tentu saja tidak.” Sovieshu menyalak perintah ke para penjaga di dekatnya, dan mengarahkan dagunya pada Laura. Kaisar : “Kunci dia selama 3 hari dan berikan dia makan hanya dengan air dan roti keras!” Wajah Laura semakin pucat dan ketakutan, nona-nona dayang lain menjerit kecil merasa tidak percaya bahwa Laura benar-benar dihukum oleh kaisar. “Itu terlalu berlebihan, Yang Mulia.” Saya melangkah maju, tetapi Sovieshu mengarahkan tatapan dinginnya kepada saya. “Dia memanggil seorang wanita dikursi roda yang bahkan tidak bisa berjalan dengan sebutan kotor. Tidakkah menurutmu itu yang berlebihan?” Saya hanya bisa terdiam. Lalu dia melanjutkan, “Yah, kamu hanya menontonnya. Kamu mungkin berpikir itu tidaklah berlebihan. Bukan kah begitu?” “Nona-nona dayang saya hanya menghentikan dia karena dia menarik baju saya.” Saya berusaha untuk menjelaskan, tapi sepertinya itu terlihat sia-sia. Raut wajah Sovieshu berubah semakin gelap dan dingin. “Itu karena kamu berjalan menjauh darinya!” Permaisuri : “Yang Mulia...” Kaisar : “Dan apa yang salah dengan memegang gaun mu? Apakah pakaian sang permaisuri lebih mulia daripada tangan manusia?” Permaisuri : “ Kalau begitu saya akan meminta pelayan Anda untuk menarik ujung jubah Anda. Bahkan jika jubah Anda tidak semulia tangan manusia, apakah hal seperti itu masih bisa diterima?” Sovieshu mengangkat alisnya lalu menyeringai, “Kata-kata mu tidak masuk akal. Itu semua konyol. Apakah kamu benar-benar berpikir itu adalah situasi yang sama?” Permaisuri : “Lalu apakah menurutmu itu berbeda?” Kaisar : “Ya tentu saja ini dan itu berbeda.” Permaisuri : “Apanya yang berbeda?” Kaisar : “Rastha bukanlah pelayan!” Dia mempertegas. Rasanya saya ingin bertanya kepadanya apakah saya harus mengganti posisi dan bertanya apa yang akan dia lakukan jika seorang selir menarik ujung jubahnya? Kaisar : “Kunci nona dayang ini selama 5 hari!” Teriaknya. Sebelum saya bisa mengatakan hal lain, Sovieshu menambahkan masa hukumannya. Semakin saya menentangnya, semakin parah jadinya. Saya melihat Rastha duduk dibelakang Sovieshu dengan mata terbuka lebar, dia menatapnya seolah pria yang berada didepannya itu adalah semacam pahlawan. Kata-kata ancaman seperti ingin melompat keluar dari mulut saya, tetapi bahkan seorang permaisuri tidak bisa membatalkan perintah seorang kaisar. Saya bisa saja memanggil persidangan untuk menentang hukuman Laura, tetapi saat persidangan di buka, Laura pasti sudah dibebaskan. Laura : “Saya menerima hukuman tersebut, Yang Mulia.” Ketika saya merasa sedih karena kalah dari perdebatan Sovieshu, Laura dengan cepat melangkah maju. Wajah saya memerah karena malu dan juga marah. Kaisar : “Kamu bisa pergi sekarang.” Daripada bertanya alasan mengapa wanita itu berada di dekat istana utama, Sovieshu memuji saya karena telah bekerja keras sepanjang hari. Sovieshu dan saya bukanlah sepasang kekasih yang penuh dengan gairah. Tetapi kami adalah teman baik. Tapi sekarang kami bukanlah keduanya. Saya menggertakan gigi dan berbalik pergi. Sekarang saya semakin mengerti mengapa ibu saya menasehati untuk tidak terlibat dengan urusan selir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN