"Aren't you supposed to seduced me?"

2384 Kata
Aku mengingat pertama kali kami bertemu dengan sangat jelas. Malam itu hujan turun lebat sekali di kota San Myshuno. Sebuah mobil Audi hitam parkir di pinggir jalan saat aku sedang berteduh di dalam bilik ATM umum. Pintu pengemudi terbuka, membuatku dapat melihat sosok di balik kemudi. Di sana dia, Leonardo Gavinsky. Semua orang di kota ini kenal siapa pria itu. Pengusaha muda paling sukses yang membangun pusat perbelanjaan paling besar di kota San Myshuno. Selalu ada embel-embel seksi di belakang namanya. Karena demi Tuhan, Leo adalah pria paling tampan yang pernah kulihat dalam hidupku. Dan pria tampan itu turun dari Audi hitamnya, berlarian membelah hujan, masuk ke bilik ATM sempit ini bersamaku. Aku tahu mataku nyaris melotot melihat keberadaannya, tapi aku tidak bisa menahan diriku. Aku hanya melihatnya di televisi ketika mampir ke toko serba ada. Tapi sekarang pria itu berdiri hanya beberapa jengkal di depanku. Dan saat itulah mata kami bertemu, mata paling hitam yang pernah kulihat. Ia memperhatikanku dari atas ke bawah, seperti mempelajariku. Aku tidak menyalahkannya. Kurasa semua orang akan melakukan hal yang sama jika jadi dia. Aku hanya menggunakan atasan yang lebih bisa dikatakan bra daripada atasan. Dan rok yang terlalu pendek untuk bisa dibilang rok. "Kau PSK?" Ia bertanya dengan nada yang santai. Mata hitam miliknya mengunci tatapanku. Leonardo memiliki suara yang berat dan dalam. Ada sesuatu di dalam suaranya yang menggelitik tubuhku dari kaki hingga kepala. Aku mengangguk, "Dan kau kesini untuk..." "Aku hanya ingin menarik cash." Balasnya, lalu mengalihkan tatapannya ke arah mesin ATM di depannya. Oh... Jadi dia bukan ingin berbisnis. Konyol sekali, bagaimana aku merasa kecewa. Tentu saja semua perempuan waras ingin tidur dengannya, dan aku tidak munafik. "Oh, maaf. Aku akan pergi-" "Tidak perlu." Katanya, memotong ucapanku. "Kau boleh tetap di sini. Hujannya terlalu lebat." Untuk sepersekian detik, aku hampir jatuh cinta pada lelaki ini. I mean, look at him. Leonardo Gavinsky memiliki postur wajah yang lebih mirip dewa Yunani daripada dewa Yunani sendiri. Dia seperti patung pahat berjalan dan segala hal di wajahnya adalah seni. Rambut hitamnya yang tebal, sedikit basah dan berantakan. Jatuh hingga menutupi setengah dahinya. Air menetes di pelipisnya yang tegas. Tiap tetesan itu membuatku kehilangan napas. "Terima kasih." Ada diam yang cukup lama di ruangan sempit itu. Aku memanfaatkan itu untuk memperhatikannya. Mulutnya terkatup rapat, hingga rahangnya tampak sangat keras. Leonardo memiliki hidung yang tegas, membuat lekukan matanya terlihat begitu dalam dan tajam bahkan saat ia sedang tidak bermaksud begitu. Lalu kemudian, wajah itu menoleh ke arahku. Mata hitamnya menemukan mataku yang diam-diam memandanginya. Hawa panas menampar wajahku. Secepat kilat aku menundukku. "Bukankah kau seharusnya mencoba menggodaku sekarang?" Tanyanya, suaranya berat dan dalam. Aku benci bagaimana suaranya menghantarkan efek tertentu pada tubuhku, padahal aku tahu dia hanya merendahkanku dengan pertanyaan itu. Dari balik bulu mataku aku bisa melihat ia sedang bersandar ke sisi kaca di belakangnya dengan tangan terlipat di d**a. Otot bicep-nya seakan meronta dari balik jas hitam itu. Aku mendongak, dan ketika mataku bertemu dengannya, aku menyesali diriku yang telah memuji ototnya. Karena tatapan itu penuh kesombongan, penuh remehan. Bukahkah aku sudah bilang aku hampir jatuh cinta? Dan inilah salah satu alasan kenapa itu tidak terjadi. "Untuk apa aku harus melakukan itu, Tuan?" Aku mengikutinya, bersandar ke sisi kaca di belakangku. "Bukahkah seperti itu cara kerja 'kalian'?" Dia melayangkan satu pertanyaan lainnya, alih-alih menjawabku. Aku tersenyum, terpaksa. "Iya, kadang-kadang. Tapi lebih sering 'mereka' yang menyebutkan harga, dan aku yang memutuskan untuk menerimanya atau tidak." Tatapannya sekali lagi menyapu tubuh. Mata hitamnya menatapku dengan sangat liar. Hawa panas menyelimuti setiap bagian tubuhku yang dilewati matanya. "Jadi aku harus membayar berapa agar bisa menghabiskan waktu bersamamu?" Tekukku hampir jatuh ke lantai saking kagetnya. Tidak pernah dalam sejarah hidupku, aku memikirkan scenario ini. Bahkan bermimpi pun aku tidak berani. Tapi Leonardo Gavinsky adalah tipikal pria sombong yang berego tinggi. Meskipun aku rela tidur dengannya secara gratis, aku tidak ingin memberinya kepuasan untuk mengetahui hal itu. Terlebih bagaimana pertanyaan singkat itu membuat jantung berdebar hebat. Aku menyilangkangkan kedua tanganku di d**a, berlagak tidak tertarik, "Cukup mahal." Dewi batinku memaki cukup keras karena sikapku. Sebuah tawa singkat lepas dari mulutnya, tawa mengejek, "Dan cukup mahal itu berapa, nona?" "500 dollar per jam." ketusku, asal. Aku tahu aku tampak konyol. Orang gila mana yang ingin membeli p*****r dari jalanan seharga- "Kali dua, deal?" What the hell? Dalam 3 tahun hidupku sebagai p*****r jalanan, itulah pertama kalinya seseorang rela membayarku setara dengan biaya hidupku untuk setengah tahun. Dan terlebih orang itu adalah seorang Leonardo Gavinsky? "D-deal." Aku berusaha mengatur suaraku agar tidak terdengar gugup, tapi itu kegagalan total karena Leo kembali tersenyum mengejek ke arahku. Aku tahu aku harusnya merasa terhina, tapi senyum itu adalah senyuman paling manis yang pernah kulihat. "Apakah seribu dollar bisa membuatku tahu namamu?" Tanyanya, masih di posisi itu, bersandar dengan tangannya yang terlipat di d**a. "Delilah," Bisikku, semakin menunduk, "Tapi kau boleh memanggilku sesukamu." Lalu kemudian dia diam. Tatapannya tidak sekali pun beralih dariku. Seolah ia mengawasi setiap gerak-gerikku. Dan hal itu membuatku sangat... sangat gelisah. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah terlanjur sombong dan mencoba menggoda Leonardo sekarang hanya akan membuatnya semakin sombong. Tapi kemudian aku menertawakan kekonyolanku. Siapa aku hingga berani menyombongkan diri di hadapan Leonardo Gavinsky? Jadi kubuang ego bodohku itu dan mulai berjalan mendekatinya. Dia sangat-sangat tinggi, membuatku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Mata hitam itu menatapku begitu tajam dan liar. Sesuatu di antara kakiku berkedut akibat tatapannya. Jadi aku mencoba memfokuskan pandanganku ke tubuhnya. Jelas sekali hujan berhasil membasahi jas dan kemeja putih di dalamnya, karena aku bisa melihat dengan jelas otot perut yang menjiplak dari balik semua kain itu. Tepat sebelum jemariku menyapu tubuhnya, aku terdiam. Aku mendongak, membuat tatapan kami kembali terkunci. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, aku bisa merasakan napasnya yang berhembus dari balik bibirnya yang terbuka. Dia, Leonardo Gavinsky, pria paling terhormat di kota. Fakta itu menamparku dengan keras. Aku hanya gadis kotor dan menyentuh tubuh sempuranya mendadak terasa seperti dosa. "What's wrong?" Suara berat itu membawaku kembali ke realita. Aku menarik kembali jemariku yang melayang di udara, menarik kembali tubuhku darinya. "Aku sungguh minta maaf." Bisikku, menatap sepatuku karena terlalu malu untuk melihat wajahnya, "Aku tidak seharusnya membuatmu membayarku semahal itu. Dan juga, jika kau berjalan sedikit lagi ke depan, kau akan menemukan club malam yang menawarkanmu gadis yang jauh lebih 'hebat' dengan harga yang lebih masuk akal." Tau-tau sebuah tangan terulur, menarik daguku. Memaksaku untuk menatap wajah sempurna yang saat itu berada tepat di hadapanku. Leo mencondongkan tubuhnya. Membuat wajahku terlalu dekat dengan wajahnya hingga hidung kami nyaris menyentuh. Hawa panas menampar wajahku dari titik jemarinya yang menyentuh daguku. Menjalar hingga ke ujung kaki. "Delilah, katamu?" Bibirku terbuka hendak menjawabnya, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar. Tatapanku terkunci olehnya. Sehingga ketika mata hitam itu turun menatap bibirku, aku bisa melihat bagaimana ia berubah sayu. "3000 dollar untuk satu malam," Bisiknya, suaranya tersengagal. "Deal?" What?! "Tuan, kau bisa menemukan gadis lain-" "4000 dollar," Suaranya serak. Ia mengigit bibirnya, menatap bibirku lekat, "Say yes." Tatapannya sangat dalam dan menghipnotisku. Sebelum aku menyadarinya, kepalaku mengangguk pelan, "Yes..." Leonardo Gavinsky bisa saja membawaku ke hotel terdekat yang bisa ia temui, tapi malam itu Audi hitamnya berhenti di sebuah pekarangan mansion mewah yang terletak di kawasan paling pinggir kota San Myshuno. Butuh 2 menit penuh jalan kaki, hingga kami tiba di sebuah ruangan yang tampak seperti kamar tidur. Ralat: kamar tidur bangsawan. Aku tidak ingin menjelaskannya secara detail, tapi bahkan udara di mansion ini terasa terlalu mahal untuk kuhirup. "Jangan diam saja di sana, berbaringlah bersamaku," Suara berat itu berasal darinya. Dia setengah tidur setengah bersandar ke sebuah ranjang king size yang lebih mirip singgasana. "Baik, Tuan." Aku pun memberanikan diri menghampirinya. Tapi otakku terus dipenuhi dengan pertanyaan bodoh seperti: haruskah aku mencuci kakiku dulu sebelum naik ke singgasananya? Haruskan aku berlutut? Dia tiba-tiba tertawa, membuyarkan lamunanku. Lagi, aku hanya berdiri di depan ranjangnya mematung. "Kenapa lagi sekarang? Kau berubah pikiran?" Katanya, dengan nada mengejek. Aku berjalan ke sisi tempatnya tidur, berhenti di pinggir kasur. "Harusnya aku yang bertanya itu padamu? Kau yakin tidak ingin berubah pikiran? Aku tidak keberatan untuk pulang-" Sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku, tubuhku terhuyung ke depan. Hanya dengan satu tarikan, aku jatuh di atas tubuhnya. Mataku melotot pada wajahnya yang kurang satu jengkal dari wajahku. "Kau terlalu banyak berpikir, Delilah." Bisiknya pelan di depan bibirku, menggesekkan ujung hidungnya dengan hidungku. Aku bisa merasakan napasnya menghembus di bibirku. Sebelah tangannya melingkar di pinggangku, dengan posesif. Tangannya yang satunya tahu-tahu berpindah ke daguku. Ibu jarinya mengusap-usap kulit bibirku, dengan matanya menatapku lekat. "Leo..." Desahku pelan, terlalu mabuk akan sentuhannya. Dan dengan satu tarikan, bibirnya maju melumat bibirku. Leonardo Gavinsky menciumku. Ciuman itu sangat menutut dan terburu-buru, membuatku kesusahan mengimbangi ciumannya. Jemarinya yang besar menangkup leherku, menarik wajahku memperdalam ciuman itu. Bibirnya melumat setiap senti bibirku dengan begitu buas, membuat tubuhku bergetar. Aku harus berpegangan pada bahunya agar tidak roboh. Satu desahan lolos begitu saja dari mulutku ketika ciuman itu berakhir. Keningku jatuh ke keningnya, karena pusing. Lelaki ini seperti menghirup energiku dengan ciumannya. Untuk beberapa saat aku hanya diam seperti itu dengan mata terpejam. Napasku dan napasnya memburu bersaut-satuan. Leo tertawa pelan dan singkat. Kali ini, tidak ada nada mengejek dalam tawanya. Itu tawa yang tulus dan terdengar seperti melodi di telingaku. Ketika aku membuka mata, pandangan kami bertemu. Mata hitamnya berbinar penuh cahaya. "Maaf." bisikku, menggigit bibirku yang berkedut akibat lumatannya. Leo menarik wajahnya, menjauh dariku. Ia melepaskan tangannya dari leherku. Setengah dariku, merasa sedikit lega karena kedekatan bersamanya membuat gugup. Tapi setengahnya terasa kosong, ketika dia tidak lagi menyantuhku. Leo melipat ke dua tangannya ke belakang kepala, menjadikannya sandaran. Sudut bibitnya tertarik ke atas, membentuk senyum tipis. "Kau pemula, ya?" Sebelah alisnya naik, seolah berusaha meramalku. Aku menggeleng cepat, "Tidak." "Lalu?" Aku bisa merasakan tanganku yang bergetar di dadanya. Aku sedikit meremas kemeja putihnya, "Kau... kau... membuatku gugup, Leo." Dan saat itu lah aku melihat mata hitamnya semakin menggelap, "Fuck." Leo mengangkat tubuhku dengan sekali tarikan. Sebelum aku sadar apa yang terjadi, aku sudah duduk di atas pangkuannya. Leo menegapkan tubuhnya dan detik berikutnya, bibirnya kembali melahap bibirku. Aku berusaha mengimbangi ciumannya, tapi bibirnya seperti tidak memberiku ampun. "Wait..." Desahku di sela-sela ciuman. Aku meremas kemejanya. Napasku berubah menjadi desahan-desahan kecil, "Wait..." "What?" Bisiknya serak di depan bibirku. "Aku... aku tidak bisa berpikir jika kau terus... menciumku seperti itu..." Leo menyandarkan kembali kepalanya ke belakang. Ia merapikan rambutku, yang berantakan akibat ulahnya. Senyumnya mengembang, "Sudah kubilang, kan, jangan terlalu banyak berpikir, Delilah." Ada nada geli dari suaranya. "Maksudku, biarkan aku yang memuaskanmu." Aku menunduk saat mengatakan itu, pipiku panas karena malu. Perlahan, aku membuka satu persatu kancing kemejanya, "Jika kau menciumku seperti tadi, aku jadi lupa diri dan memuatmu memuaskanku. Jika itu terjadi, akulah yang harus membayar 4000 dollar, bukan kau." Tawa Leo lolos begitu saja, kali ini cukup nyaring, hingga kedua matanya tertutup. "Delilah," Katanya, setelah reda tertawa. Ia menahan tanganku yang berusaha melepaskan kancing terakhir dari kemejanya, "Berbaringlah di sebelahku." Aku diam sesaat, mencerna kata-katanya. Lalu ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Jadi aku menurut dan menjatuhkan tubuhku ke sebelahnya. Leo perlahan melepaskan kemeja putihnya dan membuangnya ke samping. Otot-otot perut itu lebih indah dari khayalanku. Ada lekuk berbentuk V di bagian bawah perutnya, berlanjut hingga ke balik celana hitamnya. Ada tato salip kecil di sudut kiri perutnya dan itu membuatnya terlihat ratusan kali lebih panas. Aku ingin merabakan jariku pada tubuh sempurna itu. Tidak, aku bahkan ingin menjilatnya. Daguku di tarik oleh sang pemiliknya saat aku sedang memuji tubuhnya dalam hati. Matanya menatapku geli dan seketika pipi kembali memerah. "Suka dengan yang kau lihat?" Sial. "Aku... aku sudah sering melihat otot.. maksudku tubuh seperti itu." Ia menyeringai. Leo kemudian membaringkan tubuhnya di sebelahku. Ia menopang dagu dengan satu tangannya, menghadap ke arahku. "Kau lapar?" Bisiknya tersenyum. Leo memainkan rambutku, memandangiku lembut. "Aku lapar, mau makan mie rebus?" Aku cepat-cepat bangkit duduk, "Kenapa?" "Kenapa, apanya?" Ia bertanya seolah apa yang sebelumnya ia tanyakan adalah pertanyaan normal. Maksudku memang normal, tapi untuk gadis sepertiku, itu sama sekali tidak wajar. Dalam dua puluh empat tahun hidupku, tak pernah sekali pun seseorang memikirkan apakah aku lapar atau tidak. "Kenapa tiba-tiba ingin makan mie rebus?" Leo terkekeh, "Karena aku lapar." Astaga, kenapa pertanyaanku jadi semakin bodoh, sih?! "Maksudku... apa kau tidak ingin menyetubuhiku?" Aku bisa merasakan pipiku terasa panas saat menanyakan itu. Sialan kau, Delilah. Kau bukan gadis perawan. Leo tersenyum lembut, "Nanti saja, kau sepertinya belum siap. Jadi kau mau mie rebus atau..." Sebelum Leo menyelesaikan ucapannya, aku melepaskan atasanku. Hawa sejuk seketika meniupi kulit payudaraku. Tapi ketika mataku bertemu dengan mata hitamnya, sekujur tubuhku terbakar. Tapi kali ini, aku suka tatapan itu. Bagaimana matanya berubah sayu dan menggelap, hanya ke arahku. Dadanya kembang-kempis menghirup udara. Gelenjar aneh itu kembali menjalar ke selangkanganku, tapi kali ini membuatku membangunkan libidoku. Aku menanggalkan rok dan celana dalamku. Membuat tubuhku polos, tanpa sehelai benang pun. Dengan berani, aku mendekat pada Leo. Jari-jariku bergetar, berusaha melepaskan ikat pinggangnya. Melihatku kesusahan, Leo akhirnya membantuku. Dalam sekali terikan, celana bahan dan boxer-nya jatuh ke lantai. Oh, Tuhan. Kesempurnaan tubuh Leo adalah sebuah kejahatan. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas. Segala hal di tubuhnya adalah sesuatu yang tidak pernah kulihat. Perfect. Leo mengangkat tubuhku ke pangkuannya. Aku nyaris berteriak ketika mulutnya menghisap puncak payudaraku dengan kuat. Aku bisa merasakan cairan kenikmatan perlahan mengalir, ketika lidahnya menari di puncak payudaraku dengan lembut. "f**k, kau sangat basah, Delilah." Leo meremas kedua bokongku dengan kuat. Aku mengerang di atasnya, merasakan sesuatu di antara kakiku semakin basah dan berdenyut akibat sentuhannya. Aku lupa kapan terakhir kali aku pernah sebergairah ini. Tidak, aku tidak pernah sebergairah ini. Seakan tak cukup menyiksaku, Leo menggesek-gesekkan miliknya yang keras ke bibir bawahku. Sekujur tubuhku terbakar oleh sensasi panas yang membuatku semakin basah, semakin siap untuknya. "Fuck... f**k me, Leo..." Aku tidak bisa menahannya lagi, akal sehatku sudah tidak lagi menguasai diriku. Tubuhku bergetar hebat ketika Leo sedikit mengigit puncak payudaraku, menghantamkan rasa sakit dan nikmat dalam waktu bersamaan. "Beg for it, love." "Please... please!" Dan saat itu lah Leo memasukiku. Ia menusuk dengan kuat dan dalam. Aku bisa merasakan tubuhku terbang tiap kali dirinya bergesek denganku, di dalam sana. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membuatku meneriaki namanya, membuatku mencapai puncak kenikmatan berkali-kali. Kenikmatan yang asing, yang tidak pernah kurasakan dari siapa pun. Kenikmatan yang membakar tubuh dan jiwaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN