“SELAMAT PAGI, VANESSA.”
Bumi, telan aku sekarang juga. Bawa aku menghilang dari sini. Kubur aku dalam-dalam, dan jangan pernah kembalikan aku lagi. Apa pun itu asalkan aku tidak harus berurusan dengan makhluk sialam ini. Di pagi hari pula! Kelas pertama pun belum juga mulai, tapi dia sudah harus muncul dan membuat resah hidupku. Di hari senin pula! Hari pertama sekolah, dan aku sudah bisa merasakan kesialan yang akan menghantui setiap langkah yang aku ambil di sekolah hari ini.
Aku tidak membalikkan badan, tidak juga membuat reaksi yang berarti. Aku membiarkan Tiberius Florakis berdiri di belakang tubuhku. Napasnya terdengar jelas dan lantang. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya, yang menandakan jarak kami hanya sebatas kertas yang tipis. Ingin rasanya aku mencibir dengki, atau mendorong tubuhnya jauh—yang ternyata, setelah percobaanku berkali-kali, dia tidak pernah bisa aku dorong. Beraninya dia melakukan ini di tengah lorong, dipenuhi dengan banyak murid dan mata yang memandang.
Jika harus kembali ke awal, dan menceritakan bagaimana bisa kami sampai ke titik ini, aku akan mati berdiri saking tensi darahku naik begitu cepat. Hipertensi dini bukanlah cara yang keren untuk meninggalkan dunia. Kisah kami berjalan jauh hingga tiga tahun lalu, tahun pertama kami berdua pertama kali masuk ke Ravenhall High, dan sama-sama menjadi anggota orientasi di grup yang sama pula.
Tahun pertama itu, aku sangat senang. Di hari pertama, aku bahkan mengeluarkan usaha yang cukup tinggi—terutama bagi aku yang super malas dan selalu menunda pekerjaan—untuk terlihat baik. Pakaian yang aku kenakan adalah pakaian terbaik yang aku punya—yah, walaupun hanya sekedar baju formal dan jeans termahal yang aku punya. Setelah itu, aku berangkat ke sekolah dengan senyum yang lebar. Bahkan sindiran dan gurauan dari Vincent pun tidak bisa membuat perasaanku menurun atau memburuk. Yang jelas, aku sudah menunggu lama untuk mencapai tingkat sekolah menengah atas. Terutama, karena rencanaku untuk menyingkirkan dua kakak yang kelewat protektif ini berhasil.
Sampai di sekolah, aku pun tidak merasa minder atau apa. Karena, manfaat memiliki kakak yang sudah lebih dulu bersekolah di sana, dan ternyata sangat populer juga disukai banyak orang, tidak ada yang berani macam-macam denganku. Lagi pula, semua orang juga sama, mereka terlihat bingung dan asing dengan sekolah yang baru. Well, kecuali mereka yang sudah berteman semenjak masih di sekolah mengenah pertama. In middle school, I was a loner. Kali ini, aku bersikeras untuk memiliki teman setidaknya satu saja!
Saat aku pikir hari pertamaku akan lancar—walau yah, aku masih belum mendapat teman—seseorang menabrak tubuhku dari belakang tanpa ampun. Rasanya seperti ditabrak oleh sesuatu yang keras dan berat. Aku terjerembap jatuh ke depan, tanganku lecet, bergesekan dengan lantai koridor sekolah. Aku mengumpat dengan halus, mataku tertutup sehingga aku belum bisa melihat siapa oknum yang sudah membuat aku jatuh hingga mencium lantai yang kotor dan penuh kuman sepatu murid sekolah.
Begitu aku mendongak, sambil berusaha membuat diriku kembali berdiri, rasanya aku akan jatuh lagi. Mendadak, lutut yang sebelumnya tidak pernah ada masalah, menjadi lemas dan terasa seperti jeli. Aku pikir, mungkin ini efek dari jatuh dan terhempas ke lantai seperti sampah yang dibuang. Tapi, belakangan ini, aku mulai mengkaui kalau saat itu, lututku lemas lantaran melihat wajah seseorang yang rasanya sangat tidak nyata.
Tiberius Florakis sedang berdiri dengan wajah yang datar, rahangnya terkatup seperti gayanya setiap hari, dua tangan dimasukkan ke saku celana, dan earphone yang masih menempel di telinganya. Dia melirik diriku yang terbilang jauh lebih pendek dibandingkan tubuhnya yang raksasa. Bisa dibilang, aku ini bagaikan kurcaci menyedihkan yang harus melawan troll tinggi dan raksasa. Tadinya aku ingin langsung menyemburnya dengan berbagai macam kata mengenaskan yang aku punya, tapi aku menahan diri.
Siapa tahu dia akan minta maaf?
Naas, permintaan maaf itu tidak pernah aku dapat hingga saat ini. Tidak pernah aku mendengar kata maaf keluar dari Tiberius. Bukan hanya kepada aku saja, tapi ke semua orang. Guru, murid, pekerja sekolah, siapa pun itu. Mereka tidak pantas mendapat kata maaf dari Tiberius. Ibarat tongkat Thor yang hanya bisa dipegang dan diangkat oleh orang yang terpilih saja, begitu juga dengan lontaran maaf yang keluar dari bibir Tiberius. Tidak semua orang bisa mendengarnya, dan hanya orang terpilih saja yang cukup beruntung bisa mendapat keistimewaan itu.
Setelah menunggu beberapa lama dan masih tidak mendapat jawaban, aku akhirnya memutar kedua bola mataku dengan kesal. Tadinya lagi, aku sempat menahan diri. Takutnya, dia ternyata kakak kelas. Aku tidak ingin mencari masalah dengan senior di hari pertama. Walaupun Vincent ada di sini, bagaimana jika dia lebih di atas Vincent? Bisa-bisa aku membuat perkelahian sengit di hari pertama. Namun, begitu aku melirik ikatan kain berwarna ungu di pergelangan tangannya, aku langsung mengenali hal itu. Ikatan kain berwarna ungu itu adalah identitas anak baru yang sedang di orientasi saat ini. Dan parahnya lagi, warna ungu juga grup yang aku dapat.
“Bukankah seharusnya kau mengatakan sesuatu?” tanyaku dengan nada yang aku buat menakutkan sebaik mungkin. Tapi, yah, aku tahu, bagi orang sebesar Tiberius, ancaman terbesar yang bisa aku buat mungkin terlihat sangat menyedihkan dari sudut pandang matanya. Bagaiamana pun juga, dari cara melihatnya yang seperti merendahkan aku, dia akan selalu terlihat lebih besar dan lebih unggul dari pada aku.
Lelaki di depanku itu tidak bergeming. Tidak mengatakan apa-apa, tidak juga bergerak dari posisinya. Matanya tertuju padaku. Hanya aku. Atensinya yang terlalu berlebihan itu membuat aku menjadi salah tingkah. Mendadak, rahangnya mengatup dan mata birunya menyala seperti baru saja disulut api. Aku menelan luda, mengantisipasi hal yang akan aku dapatkan dari seorang Tiberius. Tapi dia tetap tidak berusara, tidak mengatakan satu patah kata pun. Aku hampir saja melempar tinju yang sudah menjadi andalan bagiku akibat memiliki dua kakak laki-laki, tapi aku menahan diri lagi untuk yang kesekian kalinya. Melihat struktur wajahnya, sudah jelas tanganku yang mungil ini malah yang akan rusak dan lebam.
“Apa kau bisu?” tanyaku sok berani. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa saat itu aku masih berani melontarkan pertanyaan lagi padanya. Padahal, dari melihat matanya yang bisa membunuh itu, seharusnya aku sudah balik badan dan lari secepat kilat. Mungkin jika aku memiliki otak normal yang bekerja dengan baik, aku akan lari lebih cepat dari pada The Flash, atau mungkin Superman. Tapi tidak. Aku harus menjadi orang bodoh dan menantang lelaki raksasa di hadapanku. Tinggi dan menakutkan.
Aku menarik napas, mencoba bersabar. Lelaki itu masih saja terdiam seribu bahasa, namun anehnya, dua matanya itu tidak pernah meninggalkan aku yang berdiri dengan kesal dan jengkel. Mungkin jika ini adalah kartun komedi yang sering diputar untuk anak-anak, asap tebal akan keluar dari telingaku dan mengepul.
“Kau berhutang minta maaf padaku,” kataku lagi, masih tidak mau mundur dan menyerah. “Kau sudah menabrak aku hingga aku jatuh seperti tadi. Apa kau tidak lihat? Apa kau juga buta? Kau tidak lihat ini?” tanyaku sambil mengangkat tangan yang lecet dan luka.
Setelah beberapa lama, akhirnya Tiberius memperlihatkan reaksi. Dia mengedipkan matanya dengan malas dan pelan, tubuhnya seperti tidak ingin lama-lama lagi berdiri dan meladeni aku yang tidak penting di matanya. Dia membasahi bibirnya yang tebal dan, yah seksi, lalu dia membuka earphone yang dia kenakan.
Samar-samar, aku mendengar suara musik yang keluar dari alat pendengar itu. Ya ampun, apa telinganya baik-baik saja? Jika aku bisa mendengar suara musik yang keluar dari earphone dari jarak segini, apa kabar telinganya yang harus mendengar itu dari jarak sangat dekat?
“Apa yang kau katakan?”
Itu pertama kalinya aku mendengar suara Tiberius Florakis. Serak dan berat dan sangat dalam. Aku hampir saja tenggelam jika tidak mengingat kalau aku sedang naik pitam. Rasa amarahku mengalahkan rasa lemas yang mendadak karena suaranya yang terdengar seksi.
Aku berdeham, memasang tampang yang sangar. “Jadi maksudmu, sedari tadi kau tidak mendengar apa yang aku katakan?”
Tiberius hanya mengangkat kedua bahunya dengan malas dan tak peduli.
Aku mencibir. “Kau berhutang maaf padaku.”
Dia hanya menaikkan alisnya tinggi.
“Kau baru saja menabrak aku hingga aku terjatuh dan ini,” aku mengangkat tangan yang lecet itu lagi. “Kau membuat aku terluka.”
Tiberius menatap tangan lecetku dengan seksama. Sesuatu terpancarkan dari sorot matanya, namun semua itu hilang sebelum aku bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. Aku memajukan bibirku saat Tiberius tidak terlihat bersalah atau apa. Yang ada, dia malah melihatku dengan bosan dan sedikit tak sabar.
“Lalu?”
“Lalu? Lalu kau bilang?” aku mengulang perkataannya dengan tak percaya. Hampir saja aku menyerangnya dengan cakaran yang buas. “Kau seharusnya minta maaf!”
“Bukan salahku kau menghalangi jalanku.”
Aku membuka mulut, tak percaya dia baru saja mengatakan hal itu. Serius? Ada orang seperti ini di dunia? Ada orang sepertinya yang tidak tahu malu dan tidak bisa merasa bersalah? Ya ampun, dari semua tipe orang, semua jenis manusia yang harus aku temui di hari pertama aku bersekolah, aku harus bertemu dengan yang seperti ini? Walaupun dia tampan, seksi, dan tinggi, dan apa pun itu, tetap saja kalau perilakunya seperti ini, semua itu tidak ada artinya!
Aku berdecak, mencoba menjadi orang yang lebih baik. Sabar. Kau harus mengalah. Sebagai orang yang waras, kau harus bisa menahan diri dari orang yang tidak punya otak dan sudah jelas gila.
“Kau . . . kau menabrak aku yang jelas-jelas sedang berdiri di sini. Bukan di tengah lorong,” kataku sambil menunjuk koridor sekolah. “Tapi disini,” kali ini aku menunjuk posisi kita berdiri. “Di samping, di sebelah loker, jauh dari tengah koridor, tempat orang berjalan.”
Aku menekankan kata terakhirku dengan berani. Tiberius lagi-lagi hanya diam dan tidak menjawab. Satu matanya berkedut, membuatku mengerutkan keningku. Aku meliriknya tajam, melototi lelaki itu, berharap aku akan mendapat kekuatan berupa sinar laser yang keluar dari mata atau semacamnya.
Semoga lelak ini jatuh tersandung batu, dan hidungnye berdarah hingga terlihat seperti mimisan akut.
“Apa kau sudah selesai?” tanyanya masih dengan ekspresi yang sama, datar dan bosan. Tidak tertarik dan terlihat sangat apatis.
Tingkat kesabaranku mulai menipis, sehingga aku benar-benar berpikir untuk menjadi orang waras yang mengalah dan melepasnya pergi.
“Baiklah.” Ujarku pasrah. Aku menyingkir dari arah jalannya, lalu hanya menunduk sambil memberengut. Aku tahu, itu kekanak-kanakan. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin pulang dan mengumpati lelaki di depanku ini sambil menonjok-nonjok boneka beruang besar yang Vally—kakak pertamaku Valentino—berikan saat ulang tahunku yang ke lima belas.
Katanya dan aku kutip, “Ini untuk mengeluarkan emosi dari dirimu. Aku tahu kau sering memukul tempat tidur dengan kesal. Anggap saja kau siapa, temannya Nobita itu. Yang selalu memukul boneka kelincinya saat sedang kesal dan marah.”
Saat aku hanya tidak percaya jika dia ingin aku memukul boneka beruang besar yang terlihat lucu dan menggemaskan itu, tapi ternyata, apa yang dia katakan manjur juga. Setelah memukuli boneka itu, aku akan merasa puas dan tenang. Sadis memang, tapi kenyataannya, aku memang selalu menahan emosi dan memilih mengalah karena aku tidak suka memulai masalah atau membuat perkelahian terjadi.
“Aku harap kita tidak akan bertemu lagi.”
Gumamam itu aku tangkap ketika dia berjalan pergi, melengos dari tatapanku, dan meninggalkan aku berdiri dengan mulut terbuka lebar karena tak percaya bisa bertemu orang seburuk itu. Sudah tidak sopan, tidak tahu diri, tidak bisa minta maaf, tidak mau salah, dia juga sangat kasar. Beruntung aku tidak menendang kakinya dari belakang dan membuat lelaki itu jatuh menyedihkan seperti diriku.
Ingin rasanya aku berteriak, “Aku juga tidak ingin bertemu lagi denganmu! Aku berharap kita tidak akan pernah bertemu. Aku berharap aku menghilang saja dari sekolah ini. Aku berharap langkah kita tidak akan pernah bersatu lagi!” dan pergi dengan keren. Tapi aku menahan diri, dan membiarkan tubuh tinggi dan atletis itu berjalan di koridor sekolah seperti ini miliknya.
Nyatanya, semua yang aku inginkan tidak bisa terjadi begitu saja. Seperti yang aku bilang, setiap rencana yang aku buat pasti gagal. Pasti ada saja kekurangannya. Pasti ada lobang yang tak aku pikirkan. Pasti saja ada sebuah penghalang yang membuat rencanaku selama bertahun-tahun berakhir begitu saja tanpa bisa aku cegah dan aku hentikan. Rencana yang sudah aku buat selama aku masih di bangku sekolah dasar.
Dan faktanya, ini memang koridor sekolah milik Tiberius Florakis.
Hampir setiap saat, langkah kami selalu bertemu. Seperti kutukan itu berbalik arah atau semacamnya. Semesta rasanya sedang menertawakan diriku yang sial dan sangat tidak beruntung. Aku tidak ingin bertemu dengannya, tapi kelas pertama yang aku miliki ternyata bersama dengannya.
Hari demi hari, kami akhirnya terkenal menjadi Tom and Jerry orisinal dari Ravenhall High. Aku menjadi tikus menyedihkan yang selalu saja selamat dari amarah Tom—alias Tiberius. Aku mengetahui semua fakta tentangnya dari Theressa. Tessa selalu mengetahui gosip terkini, berita apa yang sedang tersebar, dan semua informasi murid yang bersekolah di Ravenhall High. Di saat itulah dia mengatakan kalau aku ini antara berani dan bodoh, karena setelah mengetahui kalau Tiberius adalah anak yang memiliki saham terbesar di sekolah pun, aku masih tidak ingin mundur. Aku masih terus maju dan tidak memilih untuk mengalah lagi pada sosok tinggi dan atletis—Tiberius Florakis.
Begitulah sejarah kami yang membuat kami berakhir di sini, aku yang berdiri dan membeku di depan loker, sementara Tiberius mengurung tubuhku dengan tubuhnya yang raksasa dari belakang.
Aku menelan ludah lagi saat merasakan napas Tiberius semakin dekat saja. “Apa yang kau lakukan?”
“Mengucapkan salam?” tanyanya. Itu pertanyaan retorikal. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, tapi aku tetap meladeni perkataannya. Menolak untuk menjawab.
“Aku tahu itu, tapi apa yang kau lakukan? Berdiri di belakangku seperti itu?”
“Kau tidak suka?”
Suka. TIDAK. entahlah.
Yang keluar dari bibirku hanya cibiran dengki. “Aku lebih baik mandi dengan serangga menjijikan.”
Tiberius tertawa pelan, tawanya serah dan napasnya lagi-lagi menelusuri tengkuk aku yang mendadak terasa dingin. “Benarkah? Jangan memberikanku ide.”
Sudah tidak rahasia lagi kalau selain sering adu mulut, kami juga selalu mengerjai satu sama lain. Dan aku yang selalu paling kreatif di antara kami. “Hm . . . menyedihkan sekali sampai harus mencuri ide dariku.”
Tiberius berdecak. “Itu tidak baik.”
“Tidak baik kenapa?”
“Aku hanya ingin menyapa, dan begini caramu membalas?”
“Begini bukan cara orang normal menyapa di pagi hari, bodoh.” Umpatku dengan kesal. Tiberius hanya tertawa pelan. Tapi, dia tidak mundur.
Jika aku balik badan, sudah jelas kami akan berada dalam posisi yang bahaya. Maka dari itu, aku tetap tidak bergeming. Sampai akhirnya aku mendengar seruan yang membuatku menyumpah serapah di dalam hati.
“Vanny, apa yang sedang terjadi?”