"Ibu pengen beli apa tuh yang roti pakai daging itu, Yas," pinta ibunya Yasmin saat menelpon malam itu. Yasmin baru selesai mandi dan telponnya tiba-tiba berdering. Melihat kontak di ponsel, Yasmin merasa malas menganggkat walau itu dari orang tuanya sendiri. Pasalnya mereka pasti menelpon jika menginginkan sesuatu. Bukannya Yasmin tak ingin balas budi, hidup di kota besar dia punya banyak keperluan.
"Bu, kemarin bukannya baru Yasmin kirimi uang. Masa sudah habis lagi," keluh Yasmin.
"Itu 'kan buat beli beras sama bayar hutang celana jeans ke tukang baju harian. Mana cukup, Yas. Kamu kasih cuman dua ratus ribu," keluh ibunya.
"Astaga, Bu. Dua ratus ribu buat hidup di kampung itu banyak. Lain sama Yasmin di sini. Semuanya pada mahal. Kalau Yasmin terus kirim uang ke Ibu, di sini Yasmin makan apa? Terus bayar kosan gimana?"
"Ya kamu cari lagi kerja tambahan, dong. Masa gajinya cuman dikit." Jawaban dari ibunya sukses membuat Yasmin kesal.
"Memang Ibu pikir cari kerjaan itu gampang? Kalau jual diri mungkin, nyari yang halal itu susah! Di sini Yasmin itu kerja dari pagi sampai sore. Kadang enggak sarapan. Ibu mikirin enggak? Yang Ini pikirin cuma Abang terus! Minta saja duit sama Abang!" Yasmin menutup telponnya. Dia lempar ponsel ke atas tempat tidur.
Kini Yasmin duduk di kursi kamarnya. Dia mengatur napas. Sebenarnya Yasmin tak tega berucap seperti itu pada ibunya. Hanya kalau terus begitu, sama sekali tak ada uang yang bisa Yasmin tabung ke depannya.
"Apa aku minta maaf sama Ibu, ya?" pikir Yasmin. Dia melihat ke arah fotonya dengan beberapa teman semasa SMA dulu. Dia masih bahagia dan hidup berkecukupan saat itu. Teman-temannya sekarang sudah sukses. Mereka tak perlu mengurusi ekonomi orang tua seperti Yasmin.
Mendadak Yasmin jadi ingat tentang salah satu temannya yang menikah dengan orang kaya. "Pak Aril manajer di kantor masih bujangan kalau enggak salah. Kenapa aku enggak deketin dia saja, ya?" pikir Yasmin. Dia pikir hidupnya akan terbalik 360 derajat jika menikahi seorang pria yang kaya raya.
Namun, mengambil hati seseorang tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Buktinya Aril sangat cuek pada dirinya. Pria itu sama sekali tak menunjukkan ketertarikan pada satu pun karyawan di kantor. Belum lagi sikap Aril yang galak. Yasmin bergidik ngeri. "Mendingan jangan sama dia, deh. Jadi atasan saja sudah bikin enggak nyaman, apalagi jadi pasangan."
Yasmin bangkit sejenak untuk mengambil ponsel. Ada seseorang yang mengetuk pintu kosan. Jadilah Yasmin melangkah ke pintu dan membukanya. Seorang perempuan dengan kawat gigi berdiri di sana mengasongkan dua botol soda. "Ngobrol, yuk!" ajak perempuan itu.
"Masuk!"
Namanya Hilda, sama-sama bekerja dengan Yasmin di ekspedisi. Pekerjaan mereka bisa dibilang mudah sekaligus sulit. Ketika pengirim datang, mereka akan mengisi formulir online yang berisi tentang data paket. Setelah itu sistem akan menghitung biaya pengiriman. Struk akan keluar dan barulah Yasmin berikan pada Hilda. Pembayaran ongkos kirim akan diatur oleh Hilda. Kadang kalau paket sedang banyak, mereka tak membagi tugas. Dari input data hingga pembayaran dilakukan oleh orang yang sama.
"Kenapa kamu?" Hilda penasaran melihat Yasmin terlihat lesu.
"Ibuku minta duit lagi. Katanya mau beli hamburger. Palingan juga itu Abangku yang minta," jawab Yasmin.
"Abang kamu itu bukannya anak angkat, ya? Kok dimanja?" tanya Hilda bingung.
"Dia itu kakakku satu ibu beda ayah. Tapi Ibuku manjain dia banget. Katanya anak laki-laki nanti kalau nikah yang akan tetap jagain Ibu."
Hilda mengeluarkan suara dengusan. "Otak Ibu kamu itu disimpan di mana, sih? Kok bisa mikir gitu. Emang anak laki-laki yang wajib urus orang tua. Tapi di zaman kayak sekarang, malah anak perempuan yang jagain orang tuanya. Anak lelaki habis nikah lupa sama segalanya," protes Hilda.
"Tiap orang beda-beda, Hil." Yasmin membuka botol soda dan meminum isinya.
"Sekarang saja Abang kamu sudah segala minta ini dan itu. Apalagi kalau nikah, yakin aku masih jadi beban orang tua."
"Kalaupun emang gitu, aku harap yang dia bebani mertuanya, bukan aku!" tegas Yasmin.
"Ouh iya, kamu bukannya baru ikutan reuni? Gimana hasilnya?" Hilda terlihat semangat mendengar cerita Yasmin.
"Ya gitu." Yasmin bercerita tentang apa yang dia alami selama di sana.
"Yang sabar, ya?" Hilda usap punggung Yasmin setelah mendengar kisah itu.
"Aku pengen nikah. Kalau bisa dapat calonnya yang kaya. Biar mereka berhenti mandang rendah aku. Kira-kira ke mana cari calon suami kaya, ya?" tanya Yasmin.
Hilda menggelengkan kepala. "Kalau ada juga sudah aku tandai, Yas. Ngapain aku bagi-bagi sama kamu."
***
Siang itu kantor ekspedisi seperti biasa ramai oleh pengunjung. Apalagi di tanggal yang kembar dengan bulannya karena ada pesta diskon. Yasmin menginput paket seperti biasa. Untuk toko dari aplikasi besar, biasanya mereka hanya mengantar paket dan baru membayar setelah semua paket selesai diinput.
"Sampai kapan beresnya ini? Kalau gini tiap hari, bisa tepar kita," protes Hilda.
"Untung ada kerjaan. Orang lain pandemi gini malah dipecat. Jangan banyak ngeluh. Nanti kedengeran Pak Aril baru tahu rasa," nasihat Yasmin.
Pukul dua belas siang Yasmin dan Hilda baru selesai menginput sedikit paket. Keduanya pergi ke luar untuk membeli makan siang. Aril terlihat keluar kantor juga. Pria itu menepukan tangan. "Jangan lupa yang Islam, Zuhur dulu!" ajak Aril.
"Siap, Pak!" timpal karyawannya. Aril terlihat masuk ke dalam mobil. Hilda dan Raya sempat menunggu sampai mobil pria itu pergi. Jika karyawan lain benar pergi ke masjid, Raya dan Hilda malah pergi ke warteg.
"Hei, kalau kita ketahuan enggak salat gimana?" tanya Hilda.
"Urusannya apa coba? Dia itu atasan di tempat kerja. Ngapain ngurusin kita ibadah. Emang dia yang ngasih pahala?" balas Yasmin.
"Aku takut saja kinerja turun karena alesannya kita enggak salat."
"Ya sudah, besok pas Zuhur kita salat. Pas Asar alasan saja kalau kita salat di rumah," saran Yasmin.
Tiba di warteg, mereka langsung memilih lauk untuk dimakan siang ini. Yasmin membeli telur dadar dan sayur kol yang dimasak dengan udang. "Nasinya setengah saja, Bu. Aku kekenyangan," pinta Yasmin yang langsung diiyakan oleh pemilik warteg.
Keduanya duduk menghadap meja kaca. Karyawan lain di ruko itu pun terlihat datang untuk makan di sana. Sesekali, Yasmin mencoba untuk mengecek media sosialnya. Tanpa sengaja dia melihat foto salah satu toko roti yang pernah dia kirimi paket. Mata wanita itu terbuka lebar.
"Dicari calon istri yang bisa menjadi ibu. Syarat, keibuan, pintar masak, mau jadi ibu rumah tangga. Pekerjaan rumah selain masak dikerjakan pembantu. Hanya butuh yang benar-benar bisa menyayangi anak." Yasmin membaca pengumuman itu. Sebelah alisnya naik.
"Pemilik toko roti nyari calon istri? Dia pasti kaya," batin Yasmin.
Hilda sempat melirik ke arah layar ponsel Yasmin, tetapi langsung Yasmin halangi. "Kamu lagi lihatin apa, sih?" tanya Hilda penasaran.
"Bukan apa-apa. Aku cuman lagi iseng saja lihat foto orang-orang. Enak banget mereka setiap hari update jalan-jalan. Kita mana punya duit," keluh Yasmin.
"Ya sudah." Hilda memotong telur dadar dan memakannya.
Sedang Yasmin menyimpan postingan itu untuk dia periksa lagi nanti. Tak tahu kenapa Yasmin sangat tertarik dengan iklan tersebut. Apalagi toko roti yang dia datangi itu termasuk besar.
"Apa dia beneran kaya, ya? Apa itu beneran punya dia. Ah, aku harus periksa dulu. Cuman mau gimana?" Bukannya fokus makan, Yasmin malah fokus berpikir.
Tak lama wanita itu ingat dengan Raya yang pernah dia temui di kampung yang sama. "Apa aku tanya sama dia saja, ya?" pikir Yasmin. Dia tak mau salah memilih calon suami kaya. Takutnya iklan ini menipu.
"Yasmin! Makan! Malah ngelamun kamu!" Hilda menepuk bahu Yasmin hingga wanita itu kaget.
***
"Raya!" panggil Arkian. Setiap kali pria itu memanggil, rasanya jantung Raya berdebar tak karuan. Dia takut ketahuan. Apalagi Raya selama ini memang tidak jago berbohong. Satu hal yang jago dari dirinya, menyembunyikan perasaan cinta pada Arkian.
"Ada apa, Kak?" tanya Raya.
Arkian terlihat berdiri di samping rak sambil melihat beberapa lembar kertas. Biasanya di sana tertulis ceklis roti yang berhasil terjual dan roti yang harus dikeluarkan dari rak karena sudh tak layak jual.
"Sini!" tegas Arkian sambil menggerakkan telunjuknya.
Raya menghampiri pria itu sambil menunduk. "Raya salah apa lagi Kak Arki. Padahal Raya perasaan sudah kerjain semuanya, kok. Terus tadi juga yang Kak Arki suruh anterin roti ke toko sebelah sudah dilakuin."
"Aku tahu kalau itu. Dari tadi kamu bolak-balik juga aku lihat. Yang aku mau omongin bukan itu," tegas Arkian.
"Terus apa?" Raya terlihat pucat.
"Dika apa kabarnya?" tanya Arkian.
"Mana aku tahu, Kak Arki. Ouh, jadi Kak Arki curiga gitu kalau Raya ikut-ikutan sama Bu Sofi dan Bu Liris? Raya enggak tahu apa-apa. Di sini kalau telpon Dika juga karena Dika yang mau telpon," jawab Raya sewot.
Arkian menyipitkan mata. "Kamu kenapa, sih? Kenapa marah-marah?" tanya Arkian bingung.
"Habis Kak Arki main curiga saja!"
"Siapa yang curiga. Aku cuman nanyain kabar Dikara karena aku yakin dia pasti nelpon kamu. Dia itu 'kan kalau sehari saja enggak nelpon kamu pasti marah-marah," jelas Arkian.
"Baik," jawab Raya galak lalu berjalan pergi. Arkian tarik lengan Raya. "Apa lagi?" protes Raya.
"Kakak nanyanya belum selesai, Dek!"
"Iya, mau nanya apa?"
"Waktu telpon kamu Dika ngomong apa saja? Dia nanyain aku, enggak? Soalnya dia enggak telpon aku sama sekali. Aku telpon ke rumah Ibu juga, dia bicaranya cuman sebentar. Mana dia bilang sibuk. Memang Dikara sibuk apa? Dia tahunya aku kasih uang sama main," protes Arkian.
"Tentu sibuk main. Dunia anak itu dunia main. Memang Kak Arki pikir dia di sana ikut bangun rumah?"
Terdengar suara pintu toko terbuka. Karyawan lain langsung menghampiri pembeli yang datang. Raya dan Arkian saling tatap. "Kayak kenal," ucap Raya.
"Itu kayak mirip Syifa, ya?" Arkian malah balik bertanya.
Pembeli itu langsung memalingkan pandangan pada Arkian dan tersenyum. "Arki!" panggil perempuan itu.
"Kayaknya memang Syifa, tuh!" ucap Raya menahan tawa.
"Ngapain dia ke sini?" bisik Arkian.
Raya hendak menjawab, tetapi Syifa sudah duluan mendatangi Arkian. "Arki, kamu apa kabar?" sapa Syifa.
"Baik, kok. Kamu gimana?" tanya Arki lagi.
Syifa ini mantan pacar Arkian dulu yang pernah membuat Arkian sulit move on sebelum dia bertemu dengan Laras. Sudah sangat lama Arkian tak bertemu dengan wanita itu. Terlihat Syifa memperhatikan sekitar. "Ini toko roti kamu?" tanya wanita itu.
"Iya, kenapa memang?" tanya Arkian bingung.
"Bagus. Ternyata sekarang kamu sukses, ya?" puji Syifa.
"Makasih banyak."
Syifa terdengar berpikir lama. "Aku baca iklan kamu di IG. Aku pikir mungkin bisa coba-coba. Apalagi kita pernah saling kenal, 'kan? Aku juga sudah punya anak, Ar. Jadi aku tahu gimana ngurus anak. Ya, gimana kalau kita ngobrol dulu."
Raya menahan tawa melihat wajah malas Arkian. Syifa sudah membuat trauma besar dalam hidup Arkian dan kini ngajak balikan. "Ouh. Aku dengar kamu sudah nikah sama yang dulu?" tanya Arkian.
"Aku enggak nikah. Sama Arif itu memang.... Kayaknya kamu tahu soal itu, deh."
Arif dulu jadi alasan Syifa meninggalkan Arkian. "Padahal dia itu anak pengusaha, ya? Memang enggak takut apa hamilin anak orang enggak tanggung jawab?" komentar Arkian.
"Enggak tahu, Ar. Sekarang saja aku yang biayain anakku sendiri. Aku pengen punya suami dan nikah sama laki-laki yang benar-benar sayang sama aku. Pas banget lihat iklan itu. Aku tahu kamu itu laki-laki yang baik, Ar. Jujur aku berharap banget bisa balikan sama kamu."
Arkian dan Raya saling tatap. Rasanya saat ini, Arkian ingin lari ke ujung dunia dibandingkan harus menghadapi Syifa.