"Raya!" sapa Bu Sofi begitu membuka pintu dan melihat Raya sudah berdiri sambil membawa tas. Dia sengaja lewat pintu belakang, janjian dengan Bu Sofi. Itu tidak lain karena mobil Arkian masih ada di depan gerbang. Sepertinya pria itu masih tertekan akibat kejadian ini.
"Kak Arki kayaknya khawatir banget sama Dika," komentar Raya sambil melangkah masuk ke dalam rumah Sofi.
"Mau enggak mau harus, Raya. Ini satu-satunya jalan. Kita melakukan ini karena sayang sama dia. Ibu yakin habis nikah dia enggak akan nyesel. Lagian Dika juga baik-baik saja. Dia malah semangat nungguin kamu datang. Katanya kalau di rumah, pasti Tante Raya enggak bisa nginep."
Raya terkekeh. "Terus, Dikanya di mana, Bu?"
Sofi dan Raya melewati dapur menuju ruang tengah. Rumah Sofi masih memiliki dekorasi zaman dulu. Bahkan lampu kuningnya masih dihias oleh rangka khas ukiran pewayangan. Di dinding rumah dilukis bentuk bunga dengan cat cokelat. Tak lupa sofanya yang terbuat dari kain rajutan.
"Dika! Ada Tante Raya!" panggil Sofi.
Raya duduk di sofa. Terdengar suara langkah kaki menghampiri keduanya. Dika datang memeluk sebuah boneka beruang. "Wah, dapat boneka dari mana itu?" tanya Raya.
Sofi sedikit menyiah gorden. Dari sana wanita itu mengintip untuk memastikan mobil Arkian tak ada lagi di sana. "Ini boneka Mama Laras. Ada di kamar sana. Bagus, ya?" tanya Dikara.
"Arkian kayaknya sudah pulang. Mobilnya enggak ada di depan gerbang," ungkap Sofi.
"Syukurlah. Lagian Kak Arki itu kalau sudah nekat memang susah. Harus extra sabar ngehadepinnya."
Dikara naik ke sofa dan duduk di samping Raya. Anak itu menyandarkan kepala di lengan Raya. Raya usap boneka beruang besar berwarna cokelat tua di tangan Dikara. "Bagus bonekanya. Kayaknya belinya mahal ini," komentar Raya.
"Mahal, Nek?" tanya Dikara pada Sofi.
"Enggak tahu. Laras beli itu sendiri. Dia itu sudah mau nikah masih saja koleksi boneka. Pas sudah nikah sampai nangis. Katanya gimana ini bonekanya kalau dibawa malu sama Arki, enggak dibawa kangen. Makanya setiap nginep dia tidur di kamar, bonekanya dibarisin dan dipelukin satu per satu. Arkian sih sampai sekarang enggak tahu gimana kelakukan istrinya." Meski tersenyum, kelihatan sekali Bu Sofi begitu merindukan sosok Laras.
Bagaimana pun Laras anak satu-satunya. Kehilangan satu dari beberapa saja sudah begitu menyakitkan. "Kak Laras juga suka banget sama kue ape. Apalagi kalau dikasih s**u kental manis sama meses. Itu setiap minggu pasti ajakin Raya ke pasar Minggu buat beli. Pernah sekali yang jualnya enggak ada. Di sana dia jongkok sambil sesegukan gitu. Kak Laras lucu," cerita Raya.
Raya dan Sofi bercerita tentang banyak hal. Hingga Dikara menarik ujung kemeja pendek Raya. "Ateu, salat dulu!" ajak Dikara.
Raya melihat ponsel. "Di sini azan enggak kedengeran, ya?"
"Iya, makanya Ibu nyalain alarm. Masjidnya memang jauh. Kadang kedengeran samar kalau di kamar. Kalau di depan gini kalah sama suara kendaraan," jelas Sofi.
"Kalau di rumah Raya sih karena tetanggaan, jelas banget kedengerannya. Makanya Raya enggak pernah kesiangan."
Dika turun dari sofa. Mereka wudu bergiliran. Hari ini Sofi yang menjadi imam. Selesai salat, Sofi duduk menghadap ke belakang. Dia tatap Raya yang tengah mengajarkan Dikara cara berdoa. Sofi tersenyum.
"Kamu ada rencana mau nikah kapan, Raya?" tanya Sofi.
"Enggak tahu. Raya masih khawatir sama Bapak dan Ibu. Apalagi keadaan Bapak sekarang ini," jawab Raya.
"Padahal kamu itu sudah cocok punya anak. Kamu baik dan lembut. Pasti suami kamu beruntung banget dapetin kamu. Memang belum ada pacar?"
Raya menunduk malu. "Beberapa kali Bapak suruh kenalan juga, enggak ada yang nyangkut," jawab Raya.
"Makanya jangan banyak gaul sama Arkian. Jadi kamu ikutan pilih-pilih juga. Cari lelaki itu yang penting tanggung jawab. Lelaki kalau punya tanggung jawab akan mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak istrinya. Cari juga yang perhatian dan mau berbagi banyak hal sama kamu. Kuncinya rumah tangga itu adalah suami dan istri yang mau sepakat dan sejalan," nasihat Sofi.
"Aamiin, Bu. Raya juga mau dapat laki-laki kayak gitu walau enggak tahu di mana," timpal Raya.
Dikara menguap. Raya buka peci anak itu. "Lipat dulu sarungnya, ya? Sama Papa sudah diajari lipat sarung?"
Dikara mengangguk. "Dika sudah bisa!" seru anak itu. Dia buka sarungnya dan dilipat sendiri lalu dimasukan ke dalam lemari yang ada di ruang salat. Raya hanya membantu mengawasi jika Dikara salah atau kurang rapi saat melipatnya.
"Dika mau tidur, Ateu," pinta anak itu.
"Sebelum tidur harus apa dulu?" pancing Raya.
"Cuci tangan dan kaki, gigi juga. Terus baca buku, ya?"
Raya mengangguk. "Anterin saja Dika ke kamarnya. Raya mau tidur di mana? Di kamar Dika apa di kamar tamu?" tanya Sofi.
"Aku mau temenin Dika saja, Bu. Takutnya malam dia bangun dan rewel," jawab Raya.
Sofi mengangguk. Raya antar Dika menuju kamar. Anak itu seperti biasa melakukan ritual tidurnya. Termasuk membaca buku dengan bimbingan Raya. "Kalau sama Papa biasanya baca berapa lembar?" tanya Raya.
"Sampai HP Papa bunyi. Lima menit," jawab Dikara.
Raya lekas memasang timer. Wanita itu mulai membacakan buku dan Dikara mendengarkan dengan saksama. Anak itu memperhatikan gambar yang ada. "Coba tunjukan di mana ada sikat gigi?" tanya Raya sesuai dengan instruksi buku.
Dikara mencari di setiap sudut gambar. "Ini!" tunjuk anak itu pada gambar sikat gigi di antara barisan mainan. "Kenapa sikat disimpen situ, ya? 'Kan jadi kotor," komentar Dikara.
"Betul. Harusnya sikat disimpan di mana?"
"Kamar mandi dekat wastafel. Masukin wadah sikat. Ada helmnya biar enggak kena bakteri. Ateu tahu bakteri?"
"Apa itu? Memang Dika tahu?"
"Itu hewan kecil sekali. Yang suka rusakin mulut, bikin perut sama badan sakit-sakit. Kalau sikat enggak pake helm banyak bakteri. Jadi gosok giginya enggak bersih," jelas Dikara.
"Wah, kamu pinter. Kata siapa itu memang?"
"Kata Papa Arki. 'Kan Papa Arki suka baca buku juga. Di buku Papa Arki ada gambar bakterinya. Banyak, Ateu. Tapi gambar bukunya sedikit-sedikit."
Selesai membaca buku, Raya memeluk Dikara dan menepuk lengannya. Dia nyanyikan lagu pengantar tidur. Mungkin begitu nyaman, Dikara terlelap. Hal itu dilihat Sofi dibalik pintu yang sedikit terbuka.
"Kalau saja Arkian sedikit peka. Ada wanita yang bisa gantikan Laras lebih baik dari wanita lain. Menantuku itu memang tidak peka. Pantas saja Laras bilang kalau Arkian itu kaku. Bahkan kenal perempuan baik dan secantik Raya saja dia cuman anggap adik," batin Sofi.
***
Arkian duduk di teras rumah Raya. Pria itu menelpon Bara meminta bertemu. Namun, Bara menyebut dia sedang menginap di rumah Raya. Jelas Arkian kaget. Bagaimana bisa temannya itu ada di rumah Raya tanpa diusir anak pemilik rumah.
"Ini kamu sama Raya sudah jadian apa gimana?" tanya Arkian begitu Bara datang membawa segelas kopi dan singkong goreng.
"Dia minta jagain Bapaknya yang sakit. Habis Raya ada urusan di rumah temannya. Temannya hari ini nikah dan dia jadi pagar ayu," dusta Bara.
"Tumben dia. Kenapa minta tolong kamu? Biasanya juga kalau enggak sama aku, dia enggak mau minta tolong." Nada bicara Arkian menyiratkan seakan dia curiga dengan sesuatu.
"Hati orang enggak selamanya membatu, Ar. Ada waktunya dia peka dengan keadaan. Mungkin ini waktunya dia kasih aku jalan," jawab Bara.
Arki mengambil ponsel. Dia cari kontak Aril di sana. "Ke mana ini laki? Tumben ditelpon lama banget angkat," keluh pria itu.
"Halo!" sapa Aril membuat Arkian kaget hampir menjatuhkan ponselnya. "Ada apa, Ar?"
"Kamu di mana, Ril? Aku sama Bara lagi di rumah Raya. Kamu ke sini, dong?" pinta Arkian.
"Ngapain?"
"Ada yang mau aku omongin. Ke sini dulu bentar. Lagian di rumah mulu kayak penganten sunat kamu!" ledek Arkian.
"Iya, tunggu!" jawab Aril lalu mematikan ponsel begitu saja. Arkian sampai terdiam sejenak.
"Lagi kenapa dia?" tanya Bara mengambil sepotong singkong dan memakannya.
"Enggak tahu, lagi sensitif kali. Baru senandung masa puber." Arkian simpan ponsel di atas meja.
Arkian menengok ke arah dalam rumah. "Bapak keadaannya gimana?"
"Ya gitu, sudah mendingan. Tadi aku bawa cek, darahnya sudah turun. Tinggal jangan makan makanan yang naikin tensi saja." Bara menaikan kedua kakinya ke kursi dan memeluk lutut. Terlihat nyaman Bara dengan posisi itu sambil makan singkong dan sesekali menyeruput kopi.
"Terus berjuang, biar Raya percaya kamu bisa diharapkan buat jadi menantu Bapak dan Ibu."
Bara tersenyum. "Kamu kenapa, Ar? Kayaknya lagi ada masalah. Cerita, lah!"
Arkian menatap lurus ke depan. Ada pohon jambu air berdiri tegak. Buahnya masih kecil-kecil berwarna merah muda. Sesekali tertiup angin dan rontok jantuh ke tanah. Wangi bunga kemuning tercium. Banyak tanaman di sana. Ibunya Raya memang rajin menanam.
"Bu Sofi ambil Dikara. Mana anaknya juga dukung," ungkap Arkian.
"Ambil gimana?" tanya Bara pura-pura bingung.
Arkian mengeluarkan suara helaan napas. "Katanya aku enggak boleh ketemu Dika sampai dapat calon istri baru. Ke mana carinya? Tahu sendiri circle kita, jangankan perempuan. Lakinya saja masih banyak yang ngebujang. Kalau aku tiba-tiba masuk nyari calon, pasti dikatain enggak kasih space buat lainnya."
"Ya cari saja, Ar. Kamu tuh ganteng. Waktu kuliah saja banyak yang mau sama kamu. Cuman kamu saja selalu tutup hati. Kalau aku sama Aril masih standar. Sedang kamu, sukses, ganteng, punya banyak hal."
"Masalahnya anak, Bara!"
"Iya, sih. Yang kamu cari bukan cuman calon istri, tapi juga ibu tiri anak kamu."
"Dan kenalan kita rata-rata lebih banyak fokus ke karir."
"Maunya kamu kayak gimana?"
Arkian terdiam. "Kayak Laras."
"Intinya masalah move on, 'kan? Enggak semua manusia sama, Arki. Kalau suatu hari kamu nemuin yang beda dari dia dengan Laras, pasti kamu kecewa. Cintai manusia itu harus dia apa adanya."
Arkian mengangguk. "Aku tahu. Aku juga ngerti. Karena itu dibanding menyiksa calon pasangan aku kelak, lebih baik aku sendiri."
"Tapi bukan artinya menyiksa diri kamu juga." Bara menepuk bahu Arkian.
"Minyak!" protes Arki. Dia sadar tangan yang Bara gunakan untuk menepuk bahunya pun digunakan untuk memegang goreng singkong.
Mereka terdiam cukup lama. Arkian menatap ke arah langit. Tak ada bintang malam itu, tetapi rembulan begitu terang bersinar, indah membentuk sabit. Dingin menusuk ke kulit. "Aku kangen sama Dikara. Padahal baru tadi siang pisahnya juga," keluh Arkian.
Bara hendak menjawab. Namun, terhenti akibat mendengar suara motor dari kejauhan. Lampunya tak lama menyorot ke arah mereka. Motor berhenti tepat di depan teras. Aril turunkan standar motornya.
"Ada apa?" tanya Aril. Dia tarik bangku yang ada di bawah pohon jambu ke dekat temannya akibat di sana hanya ada dua kursi.
"Katanya Arkian dilarang ketemu Dikara sampai punya calon istri," ungkap Bara.
"Rasain! Aku sudah bisa tebak masalah kayak gini kemungkinan bakalan terjadi. Bu Sofi sama Bu Liris enggak mungkin tinggal diem, Ar!" Aril hendak mengambil goreng singkong, tetapi ditahan oleh Bara.
"Cuci tangan dulu!"
"Iya!" Aril berdiri dan lari ke tempat wudu yang ada dekat rumah Raya. Di samping rumah memang masjid. Dan tempat wudunya berbatasan dengan pagar rumah Raya. Setelah itu, Aril kembali. Dia ambil singkong dan memakannya. "Beli di mana? Enak," puji Aril.
"Dapat manen, lah. Tadi siang sama Pak Hendar," jawab Bara.
"Di mana? Aku enggak inget Pak Hendar punya kebun singkong." Aril menaikan sebelah alis.
"Ada, kok. Itu di kuburan. Sampingnya ada lahan kosong."
Aril tertegun saat itu. Arkian tertawa. "Asli? Jangan bercanda, Bar!"
"Ngapain juga bohong. Makan saja! Lagian enak ini. Yang penting bukan di kuburannya, 'kan?" ucap Bara dengan santainya.
"Iya," timpal Arkian.
Aril menggelengkan kepala. "Kalian ini bener-bener sudah aneh saja! Mau di kuburannya, mau di sampingnya. Tetap saja itu deketan!" omel Aril.