Chapter 23. bukan jodohnya

1823 Kata
Raya turun dari mobil Aril. Tak ingin gadis itu jalan di gang sendirian, Aril antarkan sampai ke rumah. Saat itu Yasmin yang baru membeli nasi goreng berpapasan dengan keduanya. Yasmin menunduk di depan Aril. "Malam, Pak," sapa Yasmin. "Malam," jawab Aril sambil tersenyum. "Ouh. Jadi Teteh beneran bawahannya Kak Aril, ya?" tanya Raya penasaran. "Iya, Teh. Pak Aril ini manajer di kantor ekspedisi tempat aku kerja. Ternyata benar temannya Teteh," jelas Yasmin. "Ternyata kalian saling kenal?" Aril menunjuk keduanya bergiliran. "Iya, kebetulan aku waktu itu anter paket ke toko roti tempat Teh Raya kerja, Pak. Karena memang satu jalur ke tempat kerja, sekalian saja," jelas Yasmin. "Kamu ternyata rajin, ya. Makasih," puji Aril. "Sama-sama, Pak." Yasmin jalan lebih dulu karena merasa tak enak takut mengganggu kedua orang itu. Sedang Raya masih berjalan di samping Aril. "Omongan yang aku tadi bilang, enggak usah banyak dipikirin. Kayak aku bilang, aku ini pintar jaga rahasia. Buktinya dari SMA aku enggak bocorin sama siapa-siapa, 'kan?" Aril mengusap bahu Raya. Kepala Raya mengangguk walau gadis itu masih terlihat sedih. "Kak Aril jam berapa besok mau ke rumah Bu Sofi? Dikara kemarin nanyain Papanya. Aku bilang juga apa, dia enggak mungkin bisa lama jauh dari Kak Arkian." Yasmin belok ke arah kanan. Dia kesal karena tak bisa lagi menguping pembicaraan kedua orang itu. "Mau nanyain juga takut kena marah. Kenapa juga Pak Aril harus ada tadi? Kalau enggak, aku bisa korek informasi dari perempuan tadi," batin Yasmin. Raya dan Aril masih berjalan santai. "Besok kamu nginep lagi saja di sana. Pokoknya kita harus tahan Dikara sampai Arki benar-benar dapetin calon istri. Memang kamu enggak mau daftar apa?" Raya menggelengkan kepala. "Aku takut dan enggak enak. Aku ini siapa, Kak? Cuman anak sopir sama pembantunya." "Emang anak sopir dan pembantu akhlaknya buruk semua? Setahu aku, ya. Pernikahan itu akan indah kalau akhlak pasangan kita baik. Kamu orang baik." Aril berhenti sejenak. Dia melihat ada pohon binahong tumbuh merambat di pagar tembok sebuah rumah. Pria itu memetiknya. "Kak Aril lagi ngapain?" "Metik daun buat ibuku. Katanya ini obat buat nurunin tekanan darah. Kebetulan saja lihat," jawab Aril. "Memang bener?" Raya rasanya tak percaya. "Aku sering metikin ini di pagar rumah orang. Cuman kayaknya tetanggaku kesal, dia tebang pohonnya. Jadi sekarang aku cari-cari," jawab Aril. "Kalau gitu, Raya juga mau petik buat Bapak." Bukannya pulang, mereka malah memanen tanaman milik orang lain. Raya mengumpulkan daun tanaman itu di tasnya. Aril pun sama. Katanya nitip buat nanti dibagi dua. Saat itu ponsel Aril berdering. Pria itu lekas mengambil ponsel dari saku celananya. "Bara? Kenapa?" tanya Aril. "Raya sudah dijemput?" tanya pria itu. "Ini lagi pacaran sama aku. Jangan cemburu," canda Aril. "Heh! Kamu tahu dia itu sudah aku incer dari masih ingusan! Jangan macem-macem!" ancam Aril. "Iya, Mas. Aku tahu aku ini bukan apa pun lagi untukmu. Jika kamu sayang dia, pergilah dengan dia. Hanya perlu kamu ingat, aku tak akan kembali ke kamu lagi. Aku harap kamu tak menyesal, Mas!" Aril malah semakin kelewatan bercandanya. Bara langsung menutup telpon saat itu juga. Baik Aril dan Raya langsung tertawa terbahak-bahak. "Kak Aril tuh kalau bercanda bisa saja." "Punya temen laknat jangan diseriusin, Ra. Dia gila, kita bales gila. Kalau enggak, kita abis dibully sama dia." "Iya, deh. Nanti Raya belajar dari Kak Aril, ah!" "Mau sekalian belajar nyatain cinta, enggak?" tawar Bara. Raya menggelengkan kepala. "Raya enggak berani, Kak. Kalau ditolak, yang hilang bukan cuma harga diri, tapi juga kerjaan." "Arkian mana mungkin mecat kamu." "Memang nyaman kerja di tempat orang yang jelas sudah pernah nolak kita, Kak? Jangankan kerja, ketemu papasan saja jelas enggak nyaman." *** "Ini? Semua?" Baik Bara dan Aril sama-sama bingung melihat banyaknya foto yang Arkian bariskan di atas meja. "Kok banyak banget yang daftar, sih?" Aril sampai menggaruk kepalanya. Arkian menggeleng. Dia merebahkan tubuh di sofa. Pria itu mengeluarkan suara lenguhan. Beberapa kali pipinya mengembung. "Malah nambah pusing pikiran." "Ternyata banyak jomlo di dunia ini, ya?" komentar Bara. "Dan kita berdua masih bujangan. Asli, ternyata emang kita menyedihkan," timpal Aril sambil menggeser satu per satu foto. Semuanya bahkan cantik-cantik menurut foto di media sosial. Tentu banyak juga yang hasil filter ganas. Memilihnya akan semakin sulit bagi seorang awam untuk memastikan mana wajah natural seperti dauh sirih. "Terus kamu mau milih yang mana?" tanya Aril. "Kalau bisa sih cariin. Aku pusing malah. Ouh, di belakangnya aku sekalian print DM dia. Kalian nilai sendiri dari chatnya. Semua ini terlalu bikin aku sakit kepala. Mana di rumah enggak ada anak. Biasa kalau ada Dika, ada saja kelakukan dia yang bikin ketawa. Aku takut dia sakit. Lebih dari itu, takutnya jajan sembarangan." "Ar, Bu Sofi juga tahu kali cara ngurus anak. Kalau enggak tahu, mana mungkin kamu bisa nikahin anaknya. Pasti anaknya belum apa-apa sudah dikubur. Ada-ada saja kamu!" Bara omeli Arkian. Kaki Arkian menendang pelan ke sandaran tangan sofa. "Yang kalian pilih bakalan aku ajak ketemu lusa. Pokoknya kalau bisa cepat. Soalnya aku mau cepat-cepat ketemu sama Dikara," tegas Arkian. "Please, Ar. Jangan kayak anak balita ngamuk kenapa. Emang milih perempuan kayak milih baju apa?" Bara mengambil salah satu foto. Dia perhatikan wajah perempuan itu. "Ini kayaknya keibuan, nih!" Bara balikan foto. Di bagian belakangnya ada print chat dari pemilik akun. Foto-foto itu Arkian print di kertas A4 dan satu lembar berisi dua foto. "Mas Arkian, kita pernah satu kampus, loh. Jujur aku dulu suka sama Mas Arki. Tapi Mas Arki malah milih nikahin Laras. Jujur aku kecewa dan cemburu. Aku harap ini memang sudah jodoh kita untuk bersama." Bara membaca isi chat itu. Dia langsung menyimpan kembali di meja dan menggeser ke samping kanan. "Yang ini jangan dipilih. Belum apa-apa sudah kepedean. Mana punya dendam pribadi sama Laras. Bisa-bisa ke anaknya juga." "Yang ini coba, wanita muslimah, nih!" Giliran Aril yang membaca chat pemilik foto itu. "Assalamualaikum, Mas Arkian." "Wa'alaikusalam," jawab Arkian dan Bara bersamaan. "Saya Salma. Bismillah. Dengan chat ini saya berharap bisa menjadi pilihan Mas Arkian. Insyaallah Mas Arkian akan menerima lamaran aku ini. Kalau bisa Mas Arkian datang untuk menemui Abiku. Semoga kita jadi pasangan yang dirahmati Allah S.W.T. Aamiinin enggak, nih?" tanya Aril. "Lihat fotonya?" pinta Arkian. Wanita itu terlihat manis dengan kerudung merah mudanya. "Wah, ini mah sudah pas, Ar! Nikahin saja!" tegas Bara. "Langsung DM saja, Ar," saran Aril. Arkian lekas mengambil ponsel dan memasukan akun perempuan itu di pencarian. Tak lama akunya langsung terbuka. "Aku ajakin ketemuan saja, nih?" tanya Arki. Pria itu lekas mengirimkan pesan singkat. "Assalamualaikum, Mbak Salma. Saya Arkian. Di sini saya ingin mengajak Mbak Salma bertemu. Siapa tahu kita jodoh." Siapa sangka pesan Arki itu langsung dibaca yang bersangkutan. Tak lama perempuan itu mengirim pesan. "Mas, kalau bisa ketemuannya di rumah Salma saja. Biar Mas Arki langsung bicara dengan Abinya Salma," pinta Salma. "Ini bener-bener perempuan soleha ini. Sudah pepet saja, Ar. Kurang apa coba!" Bara semakin memanasi. "Kalian mau nemenin enggak?" pinta Arki. "Kapan?" "Lusa saja. Biar cepat ada keputusan. Siapa tahu Bu Sofi langsung izinin aku bawa Dikara. Apalagi calon ibu barunya perempuan baik kayak gini," jawab Arkian. Bara tersenyum puas. "Hebat kamu, Ar. Sekali dapat malah yang benar-benar istri idaman para lelaki. Cantik, manis, soleha. Wah, pokoknya ini bikin bahagia dunia dan akhirat, Ar." Bara langsung memberikan jempol pada sahabatnya. Dan sesuai dengan perjanjian. Lusanya Arkian benar datang ke rumah Salma. Rumah itu berada di sebuah kompleks perumahan yang biasa saja. Mobil Arkian menepi. Pria itu dan kedua sahabat bagai ulat keketnya turun. Mereka sama-sama merapikan kemeja. Berjalan ke gerbang, Arkian tekan bel rumah. Tak lama seorang pembantu keluar dari pintu dan membuka gerbang. "Maaf, siapa, ya?" "Saya Arkian dan datang ke sini sudah janjian dengan Teh Salma," jawab Arki. "Silakan, Pak." Pembantu itu mengantar ketiga pria itu masuk. Mereka kini duduk di sofa ruang tamu. "Saya buatkan dulu minum. Sekalian manggil, Tuan." "Terima kasih, Bi." Mereka langsung ditinggalkan di sana. Arkian menengok ke arah dinding yang polos berwarna putih. Tak ada pajangan apa pun di atas meja. Terlihat sekali mereka sangat menjaga keimanan. Tak lama datang seorang pria dengan celana panjang dan baju koko. "Jadi yang mana Nak Arkian?" tanya pria itu. "Saya, Pak. Saya Arkian yang ke sini berniat untuk ta'aruf dengan Salma," jawab Arkian. "Saya Arif, ayahnya Salma. Kira-kira Nak Arkian ini sudah bekerja?" "Alhamdulillah saya punya toko roti, Pak," jawab Arkian. "Dulu mondok di mana?" Pertanyaan itu langsung membuat Arkian skakmat. Dari dulu pun bukan dia tak ingin wanita muslimah. Dia selalu kalah setiap kali ditanya masalah mondok. "Saya enggak mondok, Pak. Dari SD sudah masuk sekolah negeri," jawab Arkian. "Tapi belajar agama, 'kan?" "Insyaallah. Kalau belajar ngaji sampai SMA terus masih suka dengerin ceramah." Pak Arif mengangguk-angguk. Terlihat dari raut wajahnya agak kecewa dengan jawaban Arkian. "Ayahnya tidak diajak ke sini?" "Saya yatim, Pak." Arkian menjawab sambil menunduk. "Ya Allah. Pria yang tegar." Sedikitnya kini Arkian mendapat angin segar. "Usianya sudah berapa tahun?" tanya Pak Arif lagi. "Dua puluh tujuh tahun, Pak." "Dan belum menikah? Kenapa?" Arkian melirik satu per satu temannya. "Saya duda, Pak. Punya anak satu. Istri saya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Jadi sekarang saya sedang mencari penggantinya. Insyaallah jika Bapak berkenan. Saya ingin kenal dengan Salma terlebih dahulu." Pak Arif menarik napas panjang. "Maaf, Nak. Salma usianya masih dua puluh tahun. Dia anak perempuan di rumah ini satu-satunya. Jadi saya berharap banyak dia bisa mendapat pria yang masih sendiri. Dan tentu yang bisa membimbingnya," tolak Pak Arif. "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Saya juga punya anak dan tentu ingin yang terbaik untuk anak saya." Arkian sangat dewasa dalam menyikapi. "Mungkin teman Nak Arkian di sini ada yang masih sendiri?" Arkian melirik ke dua sahabatnya. "Ouh, teman saya belum ...." "Anak saya sudah tiga, Pak!" dusta Bara. Arkian menaikan sebelah alis. "Saya apalagi, Pak. Salat saja kalau ingat," timpal Aril. "Astaghfirullah." Arkian menunduk malu dengan kelakukan kedua temannya. "Maaf, Pak. Kalau memang teman saya ini tidak masuk kriteria calon menantu Bapak. Kami undur diri dulu. Soalnya anak saya sama ibunya lagi ke puskesmas tadi." Bara menarik lengan Arki. Tak lama muncul seorang wanita dengan kerudung merah muda membawa nampan air minum. Hampir persis seperti di foto. Hanya wajah aslinya jauh lebih cantik. Wanita itu duduk di samping Pak Arif sambil menunduk malu. "Pak, saya itu memang sekolah negeri. Tapi pulangnya mondok di Cigending. Kalau mau tahu, pesantrennya itu punya kepala sekolah saya. Saya sudah belajar banyak kitab dan sudah hafal empat juz Al-qur'an," aku Aril. Pria itu tak berdusta. Selama ini memang dia yang pengetahuan agamanya paling tinggi. Hanya saja karena mondok dipaksa, jadilah dalam keseharian jarang diamalkan. Tapi Aril rajin salat dan puasa, kok. Cuman kelakuannya saja bikin geleng-geleng kepala. "Tadi katanya salat saja kalau ingat?" Pak Arif bingung. "Iya inget terus 'kan. Diingetin sama azan, Pak. Insyaallah kalau untuk bimbing anaknya Bapak, saya siap lahir dan batin. Saya ini belum pernah pacaran. Karena saya tahu pacaran itu tidak baik dan tidak sesuai dengan ajaran agama." "Sufi gimana?" bisik Arkian. "Kalau jodoh sudah di depan mata, jangan menjauh hanya karena mengejar yang belum pasti," jawab Aril.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN